tirto.id - Lagu "Ayo Kobarkan Semangat Jakarta Anies-Sandi" yang merupakan lagu kampanye pasangan Calon Gubernur DKI Anies Baswedan-Sandiaga Uno mendadak hilir mudik di berbagai percakapan media sosial. Sayang, bukan karena hal baik macam musik futuristik, atau lirik menggugah, melainkan tudingan plagiasi.
Lagu itu dianggap mirip dengan "Hashem Meleh" milik penyanyi Israel Gad Elbaz. Sejatinya lagu "Ayo Kobarkan Semangat" itu diambil dari lagu "Kobarkan Semangat Indonesia" yang selalu dipakai untuk kampanye Partai Keadilan Sejahtera di ajang Pemilihan Legislatif 2014.
Di situs Jakartamajubersama, dijelaskan bahwa aransemen lagu itu memang bukan dibuat oleh PKS, melainkan dibeli dari pencipta lagu "C'es la Vie" yang dipopulerkan oleh Cheb Khaled. Lagu itu memang populer. Di Youtube, sejak diunggah pada 12 September 2012, video lagu ini sudah ditonton sekitar 76 juta kali.
"Lagu 'C’est la vie juga diadopsi musisi Israel Gad Elbaz menjadi lagu 'Hashem Melech' yang dirilis pada 27 Januari 2013. Lalu pada tahun 2016, diluncurkan lagi dengan judul 'Hashem Melech 2.0' bersama rapper Nissim. Jadi kesimpulanya 'Lagu Kobarkan Semangat Indonesia' bukan mencontek lagu musisi Israel," ujar keterangan di situs Jakartamajubersama.
Perkara ini kemudian jadi ramai karena Gad Elbaz memberikan keterangan di akun Instagramnya. Penyanyi yang pernah melakukan tur Hashem Melech pada 2009 ini mengatakan bahwa, "Di Indonesia, lagu terbesar di komunitas Yahudi yang aku nyanyikan ini dipakai untuk tujuan politik. Politisinya anti Israel dan mereka adalah ekstrimis muslim. Mereka bilang aku yang meniru mereka. Padahal lagu ini dirilis sebelum artis seperti Mark Anthony merilisnya. Aku mengkover lagu milik Cheb Khaled."
Pesan itu jelas, bahwa lagu "Hashem Melech" adalah lagu daur ulang dari karya Khaled. Dan seandainya PKS memang membeli aransemen lagu itu dari penciptanya, maka itu legal, amat jamak dilakukan di dunia musik, dan bukan plagiasi.
Plagiasi Musik Sudah Berusia Ratusan Tahun
Pembicaraan tentang lagu kampanye Anies-Sandi ini menghasilkan lagi diskusi tentang plagiasi musik. Tidak seperti industri musik modern yang belum mencapai 1 abad, sejarah plagiasi musik berumur lebih tua.
Dalam data yang dimiliki oleh departemen Music Copyright Infringement Resource (MCIR) bentukan Columbia Law School dan USC Gould School of Law, catatan tertua plagiasi musik terjadi pada 1844. Saat itu pemilik lagu "The Cot Beneath the Hill" yang liriknya ditulis oleh James F. Otis dan musik dibuat oleh William Wetmore, menuntut majalah The Ladies Companion. Rupanya Ladies Companion menaruh lirik lagu itu di salah satu halamannya. Yang dituntut merasa tak tahu kalau lirik itu adalah lagu milik Otis, dan mereka mengopinya dari majalah lain. Tapi juri memutuskan berbeda. The Ladies Companion diharuskan membayar 625 dolar, atau sekitar 14.000 dolar di era sekarang.
Setelah kasus itu, MCIR mencatat ada lebih dari 100 kasus terkait plagiasi. Nama-nama yang terlibat pun merupakan nama besar. Mulai dari Jani Lane, Jay Z, Michael Jackson, ZZ Top, Bob Dylan, Run DMC, Mariah Carey, hingga John Fogerty.
Di luar kasus yang dicatat oleh MCIR, ada banyak kasus lain yang menarik perhatian besar. Salah satu yang paling terkenal adalah yang menimpa Led Zeppelin. Pembuka "Stairway to Heaven" yang sering didapuk sebagai lagu rock terbesar sepanjang masa, dianggap mencontek lagu "Taurus" milik grup Spirit yang dirilis pada 1968.
Led Zeppelin memang lumayan banyak tersandung dugaan plagiasi. Terhitung lagu "Bring It On Home", "The Lemon Song", "Whole Lotta Love", dan "Boogie with Stu" pernah dibawa ke meja hijau karena dianggap plagiat. Tapi memang yang paling menarik perhatian adalah kasus "Stairway to Heaven".
Kasus ini dimulai pada 2014. Saat itu Michael Skidmore, ahli waris mantan gitaris Spirit, Randy California, memasukkan tuntutan plagiasi. Personel Led Zeppelin menyangkal tuduhan ini. Mereka bilang tak pernah mendengar "Taurus" sebelum menulis "Stairway to Heaven". Setelah 2 tahun berjalan, pengadilan memutuskan Led Zeppelin menang, mereka tak meniru lagu milik Spirit.
Tuntutan kasus plagiasi memang butuh waktu panjang. Melelahkan dan menelan banyak biaya. Dalam makalah An Improved Framework for Music Plagiarism Litigation yang dimuat dalam California Law Review, Aaron Keyt mengatakan bahwa biaya pengacara untuk kasus plagiasi bisa mencapai 100 ribu dolar, bahkan lebih. Hal ini dikarenakan kasus plagiasi karya memang rumit, dan bahkan kerap abstrak.
"Dari semua jenis hukum yang aku praktikkan bertahun-tahun, hukum hak cipta memang yang paling metafisik," ujar Paul Fakler, pengacara spesialis hukum musik. "Perkara itu bisa berkembang jadi amat sinting dan ganjil," ujarnya pada Buzzfeed.
Dalam berbagai diskusi soal plagiasi musik, biasanya musik diartikan sebagai sesuatu yang memiliki tiga elemen: melodi, harmoni, dan ritme. Namun, juri di pengadilan memiliki pendapat yang berbeda.
"Keaslian, jika memang masih ada, pasti bisa ditemukan di salah satu dari tiga elemen itu. Ritme, secara sederhana, adalah tempo di komposisi lagu. Ia adalah latar belakang melodi. Jumlah tempo amat terbatas. Keaslian dari ritme itu amat jarang, kalau bukan malah mustahil," tulis Keyt, mengutip omongan juri dalam kasus Northern Music Corp. melawan King Record Distributing Co.
Lalu bagaimana kita bisa menentukan, misal, lagu B adalah tiruan dari lagu A? Menurut Keyt, salah satu caranya adalah dengan menentukan identitas dari melodi, harmoni, dan ritme; kemudian mengukur kesamaannya. Sayangnya, itu bukan pekerjaan mudah. Belum lagi ada faktor-faktor penting lain dalam musik selain tiga hal tersebut.
"Kemungkinan ritmik itu berkembang amat luas pada abad belakangan ini," tulis Keyt, mengutip artikel berjudul New Musical Resources.
Karena rumitnya perkara plagiasi ini, banyak pihak yang memutuskan tak pergi ke pengadilan. Ini terjadi pada kasus Vanilla Ice. Pola bass di lagu Ice Ice Baby" dianggap menjiplak lagu "Under Pressure" yang ditulis oleh Queen dan David Bowie. Meski awalnya Vanilla Ice tak mengakui jiplakan itu, akhirnya dia mengatakan kalau lagu itu memang terinspirasi oleh "Under Pressure". Buntutnya, dia harus membayar royalti sebesar 4 juta dolar pada Queen dan Bowie, ditambah dengan memasukkan nama mereka dalam daftar pencipta lagu.
Hal yang sama juga terjadi pada Tom Petty dan Sam Smith. Lagu "Stay With Me" milik Smith dianggap sama dengan lagu "I Won't Back Down" milik Petty. Masalah itu kemudian diselesaikan di luar pengadilan.
Paul Fakler, pengacara spesialis hukum musik, dalam wawancara bersama Buzzfeed, mengatakan bahwa Petty dan Smith memang memutuskan tak pergi ke pengadilan. Alasan pertama adalah kasus seperti ini berbiaya amat mahal. Kedua, karena juri di kasus ini bisa amat tak terduga. Ketiga: ada stigma yang pasti melekat, baik pada penuntut maupun terdakwa. Bagi terdakwa, mereka akan dicap sebagai peniru dan tak orisinal. Sedangkan bagi penuntut, mereka akan mendapat cap sebagai orang serakah.
Tapi kerumitan ini tak menghalangi orang untuk berpekara di kasus plagiasi musik. Ada penuntut yang berhasil. Misalkan saat DJ Lynn Tollliver menuntut The Black Eyed Peas karena dianggap mengambil tanpa izin sebagian lagu "I Need a Freak" miliknya untuk lagu "My Humps". Pengadilan memenangkan Tolliver, memerintahkan Black Eyed Peas membayar 1,2 juta dolar.
Kasus lain yang berhasil adalah saat ahli waris Marvin Gaye menuntut dua musisi, Robin Thicke dan Pharrel Williams. Lagu "Blurred Lines" dan "Love After War" dianggap menjiplak "Got to Give It Up" dan "After The Dance". Juri memenangkan ahli waris Gaye. Thicke dan Williams diharuskan membayar 7,4 juta dolar
Tapi ada pula tuntutan yang kandas karena berbagai sebab. Selain kasus "Stairway to Heaven", ada pula kasus pada 1993 saat band Killing Joke menuntut Nirvana. Lagu "Come As You Are" dianggap menjiplak lagu "Eighties" milik Killing Joke. Tuntutan ini dibatalkan karena tewasnya Kurt Cobain. Ada juga kasus saat penyanyi Jesse Braham menuntut Taylor Swift sebesar 42 juta dolar. Tuntutan ini dibatalkan karena penuntut dianggap gagal menyediakan bukti yang cukup. Ada pula beberapa kasus yang sempat naik ke pengadilan, tapi berakhir dengan penyelesaian di luar pengadilan.
Perkara plagiasi musik ini memang rumit. Jadi kalau kamu mendengar satu lagu yang sama dengan lagu lain, percayalah: kamu tak sendirian. Apa boleh buat, tangga nada cuma 7 dan ada jutaan lagu yang sudah lahir. Keaslian, orisinalitas di dunia musik, adalah dongeng masa lalu. Perkara ini disadari betul oleh Paul Fakler.
"Tak ada hal yang benar-benar asli. Kita semua berdiri di atas bahu para pendahulu."
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti