Menuju konten utama

Beda Perlakuan UI terhadap Verrel dan Bahlil dalam Kasus Plagiat

Pencopotan Ketua BEM UI atas kasus plagiasi menunjukkan mahasiswa lebih mampu menegakkan marwah akademik ketimbang pimpinan UI.

Beda Perlakuan UI terhadap Verrel dan Bahlil dalam Kasus Plagiat
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia (kiri) menyampaikan disertasinya yang berjudul “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia” dalam Sidang Promosi Doktor di Bidang Kajian Stratejik dan Global, di Gedung Makara Art Center, Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (16/10/2024). Bahlil meraih gelar doktor pada Program Studi Doktor Kajian Stratejik Global, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI dengan predikat Cumlaude. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nym.

tirto.id - Universitas Indonesia (UI) kembali diwarnai kasus dugaan plagiarisme yang kali ini berpusat di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI. Jajaran BEM dari Kampus Kuning – julukan UI – resmi mencopot Verrel Uziel dari posisi Ketua BEM UI periode 2024 secara tidak hormat. Langkah ini diambil usai Verrel terbukti melakukan plagiarisme dalam aktivitasnya.

Mahkamah Mahasiswa UI dalam putusannya menyatakan bahwa Verrel terbukti melakukan plagiasi. Dugaan pelanggaran Ketua BEM Periode 2024 tersebut merujuk mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Ikatan Keluarga Mahasiswa UI (UUD IKM UI). Putusan ini terbit 4 Januari 2025, dengan Nomor 004/Per.KBEM-IKM.UI/XII/2024/MM.UI. Salah satu amar putusan menyebut Verrel terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan plagiarisme.

Kongres Mahasiswa UI selanjutnya mengadakan Sidang Paripurna pada 11 Januari 2025 untuk menindaklanjuti usulan pemberhentian Ketua BEM UI Periode 2024. Maka tepat pada pukul 16.55 WIB hari itu, dinyatakan pemberhentian tidak hormat kepada Verrel sebagai Ketua BEM UI Periode 2024. Keputusan ini dilandasi TAP Kongres Mahasiswa UI Nomor 018/TAP/KMUI/I/2025.

Narahubung BEM UI, Defani Shafa, mengonfirmasi bahwa Verrel Uziel sudah tidak menjadi Ketua BEM UI sejak 11 Januari 2025.

"11 Januari 2025 ya [resmi diberhentikan], berdasarkan ketetapan Kongres Mahasiswa UI yang seperti dipublikasi di Instagram BEM UI," kata Defani kepada wartawan Tirto, Minggu (20/1/2025).

Dihubungi terpisah, Verrel Uziel mengaku menerima putusan tersebut meskipun berat hati. Ia merasa hal itu bagian dari ketaatannya terhadap konstitusi kampus. Ia menyatakan akan bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan. Namun Verrel mengeklaim tidak pernah secara sadar memberikan arahan melakukan plagiarisme kepada kawan-kawannya.

"Bicara menerima atau tidak menerima tentu berat hati ya saya menerima sebagai IKM UI yang taat pada konstitusi yang ada di Universitas Indonesia," kata Verrel kepada wartawan Tirto.

Dalam surat Salinan Putusan 004/Per.KBEM-IKM.UI/XII/2024/MM.UI tertanggal 4 Januari 2025 yang diperoleh Tirto, Verrel dinyatakan sudah terbukti melakukan plagiarisme. Dalam dokumen putusan tertera bahwa Verrel menggunakan kajian milik aliansi Net Zero Society saat beraudiensi dengan DPR RI pada 17 Oktober 2024 silam. Verrel dinilai tidak izin dan berkoordinasi menggunakan kajian tersebut. Selain itu, tidak terdapat referensi dalam kajian yang dibawa Verrel.

Audiensi itu dilakukan oleh beberapa kampus, yakni BEM UI, BEM ITB, BEM IPB, dan BEM Trisakti untuk menyampaikan beberapa sektor isu di masyarakat. Mereka diterima pimpinan DPR, yakni Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Cucun Syamsurijal.

Pemberhentian Verrel sebagai Ketua BEM UI mengingatkan publik dengan kasus dugaan plagiarisme lain di lingkungan sivitas akademika UI, yakni kasus Bahlil Lahadalia. Bedanya, jika kasus Verrel menemukan muara yang jelas karena terbukti melanggar ketentuan ikatan mahasiswa UI, kasus Bahlil Lahadalia seakan masih tanda tanya. Verrel berakhir menerima sanksi dengan pencopotan jabatan di BEM UI, sementara Bahlil masih wara-wiri menjabat di Kabinet Merah Putih sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Padahal, UI memutuskan menangguhkan gelar doktor Bahlil yang mengundang polemik di internal kampus dan lingkungan akademisi di Indonesia. Putusan ini diambil dari hasil rapat koordinasi empat Organ UI, yakni Majelis Wali Amanat (MWA), Rektorat, Dewan Guru besar (DGB), dan Senat Akademika (SA), pada Selasa 12 November 2024 di UI Salemba, Jakarta Pusat. Selain menangguhkan gelar doktor Bahlil, UI juga akan menggelar sidang etik untuk membahas lebih lanjut masalah ini. Bahkan, UI menyebut menunda sementara (moratorium) penerimaan mahasiswa baru di Program Doktor (S3) Sekolah Kajian Stratejik dan Global hingga ada audit yang komprehensif terhadap tata kelola dan proses akademik di program tersebut.

Program doktoral di SKSG UI itulah yang dilakoni Bahlil dengan menelurkan banyak tanda tanya. Pasalnya, Bahlil masuk UI pada 13 Februari 2023 di Program SKSG tersebut. Namun sudah mendapatkan promosi gelar doktor pada 16 Oktober 2024. Artinya, Bahlil cuma butuh waktu kurang dari dua tahun untuk merampungkan disertasinya yang bertajuk, “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia”.

Capaian yang tersebut dipandang para akademisi sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Belakangan, warganet menemukan ada banyak kejanggalan dari hasil disertasi Bahlil. Muncul dugaan plagiarisme hingga dugaan praktik joki di balik disertasi milik Bahlil. JATAM turut melayangkan protes sebab menilai Bahlil mencatut organisasi non-pemerintah tersebut secara sepihak sebagai sumber informasi dalam disertasi.

Namun, hingga kini kasus dugaan pelanggaran etik akademik Bahlil Lahadalia seolah-olah menguap begitu saja. Ia sendiri bahkan merasa tidak melanggar apapun dalam meraih gelar doktoralnya. Ditambah, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro ogah turun tangan terhadap persoalan ini karena dianggap sebagai urusan internal Kampus UI.

Pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, menyatakan kasus pencopotan Ketua BEM UI periode 2024 seakan-akan menunjukkan mahasiswa lebih mampu menegakkan marwah akademik ketimbang pimpinan universitas UI. Ketidakjelasan kasus Bahlil sekarang patut dipertanyakan terkait keseriusan proses peninjauan ulang studi doktoral Menteri ESDM itu.

“Harusnya UI bisa lebih terbuka untuk meng-update proses dan hasil dari investigasi terhadap kasus Bahlil kemarin,” kata Edi kepada wartawan Tirto, Senin (20/1/2025).

Edi menekankan bahwa plagiasi memang masih menjadi masalah besar di kampus-kampus di Indonesia. Terlebih, saat ini sudah ada penggunaan AI di kampus, tantangan pencegahan dan penanganan kasus plagiasi kian besar. Yang diperlukan sebenarnya, Kata Edi, adalah ketegasan oleh kampus-kampus Indonesia.

Apabila mahasiswa di perkuliahan tidak tahu soal bahaya plagiasi, maka perlu pembelajaran terkait hal ini. Di awal mahasiswa masuk harus ada sesi khusus terkait pencegahan plagiasi.

Edi mencontohkan, seperti penggunaan AI secara bijak dan nilai etika akademik. Baru ketika mahasiswa sengaja melanggar, harus ada sanksi dari pengampu. Misalnya tidak lulus mata kuliah. Sementara jika terbukti dosen melakukan plagiarisme, kampus bisa menunda proses kenaikan pangkatnya.

Selain itu, bisa juga menerapkan sanksi lain seperti tidak boleh mengajukan hibah riset, atau menunda pembayaran sertifikasi dosen. Namun, Edi mengingatkan, yang harus dipikirkan juga adalah beban kerja dosen. Pasalnya, beban kerja terkait publikasi yang terlalu banyak potensial mendorong dosen menerabas etika akademik dengan melakukan plagiasi.

“Seharusnya para pelaku kecurangan akademik yang dengan sengaja melakukan, perlu dicatat dan tidak diberi kesempatan untuk memiliki jabatan strategis, terutama yang membutuhkan integritas moral tinggi,” ucap Edi.

Plagiarisme Merusak Integritas

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menyatakan sebetulnya agak kurang apple to apple membandingkan kasus Verrel sebagai Ketua BEM UI dengan Bahlil yang notabenenya merupakan seorang pejabat publik. Namun, dari sisi dugaan kasus plagiarisme dan pelanggaran etika akademik, memang tidak boleh ada toleransi seharusnya bagi pelanggaran prinsip akademik.

Namun, Satria menilai dua kasus ini menunjukkan adanya persoalan integritas akademik yang memang harus dibenahi UI. Kampus UI, kata Satria, merupakan barometer perguruan tinggi di Indonesia. Sehingga, keputusan tegas mereka dalam kasus Bahlil amat dinanti. Ia menilai apa yang dilakukan mahasiswa BEM UI patut diapresiasi sebagai upaya menjaga integritas akademik.

In the worst situation, tentu kasus Bahlil ini [sanksi] efeknya lebih berat. Karena ini adalah karya akademik yang ditujukan untuk mendapatkan gelar doktor, apalagi dengan cara-cara atau dengan jalan yang cukup cepat,” ucap Satria kepada wartawan Tirto, Senin.

Integritas akademik adalah prinsip yang harus dijaga kampus agar kepercayaan publik terus terjaga. Maka dari itu, tokoh-tokoh pejabat publik yang mencederai marwah akademik sudah sewajarnya dipertanyakan masyarakat keabsahan gelar akademis atau kehormatannya.

Satria meminta Dewan Kehormatan dan Dewan Guru Besar UI mendorong sanksi etik yang pantas bagi Bahlil jika terbukti melanggar integritas akademik. Sanksi ini diharapkan dapat menjadi efek jera bagi pejabat publik yang menggunakan kampus hanya untuk kepentingan pribadi.

Sementara itu, anggota Dewan Pengarah KIKA cum dosen Universitas Persada Indonesia, Idhamsyah Eka Putra, memandang memang sejak lama mahasiswa lebih berani mengambil tindakan dan posisi yang tegas. Maka demi mengurangi unsur politis, yang dilakukan oleh BEM UI bisa dijadikan contoh dan diterapkan pada kasus plagiarisme lainnya.

Menurut Eka, dalam kasus Bahlil, urusan tudingan plagiarismenya sepertinya sudah selesai. Sebab, indikasi keserupaan dengan dokumen atau karya ilmiah lainnya sebesar 90 persen, diduga muncul karena kekeliruan dari pihak yang mengecek lewat scanning mesin plagiasi. Namun, Eka menegaskan, bukan berarti Bahlil lolos dari masalah etika akademik lainnya.

“Yang perlu dipahami adalah, de jure sanksi yang dibuat mengenai plagiarisme di Indonesia sangat keras. Namun aturan hanyalah aturan, dan kita memiliki deretan panjang mengenai plagiarisme,” kata Eka kepada wartawan Tirto, Senin.

Dari rentetan kasus plagiarisme di lingkup kampus, kata dia, memang sering kali disuarakan sebagai masalah luar biasa. Namun dalam prakteknya, sanksi berat sulit sekali diterapkan. Umumnya, sanksi berat hanya diterapkan pada sosok yang dianggap ‘lemah’ atau tidak ada pengaruh.

Eka menilai, urusan plagiarisme di kampus memang berkaitan dengan perkara relasi kuasa. Figur yang punya power atau dekat dengan kekuasaan, dapat menghindari sanksi bahkan tuduhan plagiarisme itu sendiri.

Dalam studi besutan Eka dan rekan-rekannya yang dimuat dalam jurnal Higher Education menunjukkan, walaupun sudah ditemukan dokumen sama persis dalam kasus plagiarisme, tertuduh masih sering berdalih bahwa isu yang diangkat bukan plagiasi namun pembunuhan karakter.

Banyaknya kasus plagiarisme yang dibiarkan, akan dianggap bahwa plagiasi sebagai kasus biasa. Akibatnya pelaku plagiasi belajar cara bagaimana menghindari tuduhan ini. Padahal, Undang‐Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 25 ayat 2 menyatakan bahwa lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi yang terbukti merupakan jiplakan, dicabut gelarnya.

Selain itu, dikenakan pidana penjara paling lama dua tahun. Dan atau, denda paling banyak sebesar Rp200 juta rupiah.

“Jika melihat ini, artinya kasus-kasus academic misconduct dianggap hal biasa saja. Kenapa demikian, ketika penguasa merasa kenal dengan seseorang maka urusan kemampuan tidak dipedulikan rekam jejak ilmiahnya, namun hanya berdasarkan feeling atau kekaguman,” ujar Eka ketika ditanya mengapa figur yang melakukan plagiarisme masih berkarir bagus.

Sementara itu, Kepala Biro Humas dan KIP UI, Amelita Lusia, membenarkan bahwa hingga kini memang belum ada informasi atau perkembangan terbaru soal keputusan kasus Bahlil. Terakhir, memang masih dilakukan investigasi dan audit terhadap hasil disertasi Bahlil. Maka gelar doktor Bahlil statusnya masih ditangguhkan.

“Baik, Mas. Untuk saat ini belum ada [perkembangan], Mas. Jika ada info terbaru akan saya sampaikan, ya,” kata Amelita kepada wartawan Tirto.

Baca juga artikel terkait PLAGIARISME atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang