tirto.id - Kondisi geopolitik di kawasan Timur Tengah kembali memanas. Ini setelah Iran melancarkan serangan balasan ke Israel dengan meluncurkan roket serta ratusan pesawat nirawak (drone) ke pangkalan militer Israel pada Minggu (14/4/2024) dini hari.
Serangan itu sebagai balasan sah atas tindakan sewenang-wenang Israel menyerang Kantor Konsulat Iran di Damaskus, Suriah, pada hari pertama April 2024. Ketegangan ini tentu saja memunculkan kekhawatiran bagi sejumlah negara. Sebab, akan memberikan dampak nyata terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, melihat ketegangan yang sedang berlangsung antara Iran dan Israel memang berpotensi berdampak signifikan pada ekonomi global, terutama di pasar-pasar negara berkembang seperti Indonesia. Keprihatinan utamanya adalah gangguan pasokan minyak, yang bisa menyebabkan lonjakan harga minyak dunia.
“Hal ini dapat berdampak merambat pada ekonomi global, termasuk Indonesia, yang sangat bergantung pada impor minyak,” ujar Yusuf kepada reporter Tirto, Rabu (17/4/2024).
Dalam seminggu terakhir pergerakan dari nilai harga minyak berada pada kisaran 85 dolar AS per barel. Kondisi ini relatif berada di atas asumsi makro untuk harga minyak yang ditetapkan oleh pemerintah yang berada di kisaran 82 dolar AS per barel.
Jika sentimen ataupun perang ini berlangsung dalam periode yang tidak sebentar, maka periode harga minyak yang tinggi tentu akan terjadi. Terlebih, kata Yusuf, Iran sendiri merupakan salah satu produsen minyak terbesar secara global.
Pada 2023, rata-rata Iran mampu memproduksi minyak mencapai 2,99 juta barel per hari. Negara ini bahkan mampu mengekspor 1,3 juta barel per hari minyak mentah dan kondensat, sebagian besar ke Asia.
Selain itu, Iran juga memiliki cadangan minyak konvensional sebesar 209 miliar barel. Posisi ini menjadikannya sebagai negara dengan cadangan minyak terbesar ketiga di dunia setelah Venezuela dan Arab Saudi.
“Hal ini tentu menjadi perhatian negara-negara dan importir minyak seperti Indonesia di mana dalam kondisi tertentu penyesuaian kebijakan terutama kebijakan fiskal tentu perlu dilakukan untuk merespons kenaikan harga minyak tersebut,” ujar dia.
Karena menurut Yusuf, kenaikan harga minyak bisa berimbas terhadap potensi disesuaikannya harga BBM di dalam negeri. Penyesuaian harga BBM itu umumnya bisa berpeluang mendorong perubahan harga secara umum. Perubahan harga secara umum inilah yang kemudian bisa tercatat sebagai inflasi ataupun perubahan kenaikan harga.
“Kondisi ini relatif mirip sebenarnya pernah terjadi ketika terjadi konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang menggerek kenaikan harga komoditas relatif tinggi ketika itu. Dan akhirnya berdampak terhadap kenaikan harga minyak atau komunitas secara umum ketika itu,” ujar dia.
Sementara itu, ekonom senior dari Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, memperkirakan dalam skenario seperti ini, harga minyak global bisa melonjak di atas 100 dolar AS per barel. Mengingat Iran sendiri termasuk di antara sepuluh negara penghasil minyak terbesar dan terletak di Timur Tengah yang kaya minyak.
Meski begitu, kenaikan harga kemungkinan besar bukan disebabkan oleh berkurangnya pasokan akibat konflik, namun karena terganggunya jalur perdagangan. Selat Hormuz, yang terletak di selatan Iran, merupakan jalur perdagangan minyak yang penting, menangani sekitar seperlima produksi minyak global setiap hari.
Menurut Administrasi Informasi Energi AS, pada 2018, distribusi minyak melalui Selat Hormuz berjumlah sekitar 21 juta barel per hari, sekitar 21 persen dari konsumsi minyak global. Jika skenario ini terjadi, Indonesia sebagai negara pengimpor minyak, akan menghadapi meroketnya harga bahan bakar yang akan menyebabkan kenaikan harga komoditas lainnya secara umum.
“Jika pemerintah Indonesia berusaha mempertahankan harga bahan bakar saat ini, beban subsidi bahan bakar akan sangat besar, dan berpotensi mencapai antara Rp70 hingga Rp120 triliun,” ujar dia dalam analisanya kepada Tirto, Rabu (17/4/2024).
Situasi ini, lanjut Fithra, dapat menyebabkan defisit fiskal sebesar 2,8 persen hingga 2,9 persen pada APBN 2024. Sehingga menyebabkan investor lari karena kekhawatiran terhadap pengelolaan fiskal Indonesia sehingga berdampak pada pasar obligasi dan nilai rupiah.
Berdampak Terhadap Anjloknya Rupiah
Lebih lanjut, Yusuf Rendy menambahkan, konflik antara Iran dan Israel memang dapat memengaruhi nilai tukar mata uang di Indonesia. Ini terjadi karena investor mungkin mencari aset yang lebih aman, yang potensialnya dapat menyebabkan penurunan nilai rupiah Indonesia.
Pada pembukaan perdagangan Rabu (17/4/2024) pagi, mata uang Garuda dibuka berada di posisi Rp16.250 dolar AS. Rupiah melemah 74,3 poin atau minus 0,46 persen dari posisi sebelumnya.
“Tingkat volatilitas rupiah itu akan lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu dan kondisi depresiasi yang dialami oleh nilai tukar rupiah per peluang akan terjadi lebih lama,” ujar dia.
Dalam jangka pendek perubahan nilai tukar juga akan terjadi mengingat konflik ataupun serangan Iran ke Israel ini berdampak terhadap psikologis di sektor keuangan. Jika diperhatikan negara-negara yang terjebak, tentu dia akan berdampak terhadap keluarnya aliran modal untuk sementara waktu dan dalam jangka pendek.
“Keluarnya aliran modal ini tentu akan memengaruhi depresiasi nilai tukar dalam konteks Indonesia perubahan atau depresiasi nilai tukar rupiah. Tentu masih akan terjadi setidaknya dalam jangka pendek ini,” ujar dia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengamini bahwa keluarnya aliran investasi asing dari negara berkembang karena meningkatnya risiko geopolitik. Investor dalam hal ini mencari aset yang aman baik emas dan dolar AS.
"Sehingga rupiah bisa saja melemah hingga Rp17.000 per dolar per AS," ujar Bhima kepada Tirto, Rabu (17/4/2024).
Jika sudah demikian, lanjut Yusuf Rendy, maka pemerintah dan otoritas terkait perlu melakukan intervensi kebijakan dari sisi moneter. Bank Indonesia bisa lebih aktif dalam menggunakan instrumen kebijakan seperti SVBI dan SRBI untuk mengguyur pasar valuta.
“Sehingga harapannya ini sedikit bisa meredam nilai depresiasi untuk tidak terjungkal lebih dalam lagi,” ujar dia.
Kinerja Neraca Perdagangan Indonesia Terganggu
Di luar harga minyak dan pelemahan rupiah, konflik antara Iran dan Israel, kata Bhima, juga akan mengganggu kondisi neraca perdagangan Indonesia. Bhima memperkirakan kondisi neraca perdagangan RI akan semakin terkikis, imbas serangan Iran terhadap Israel.
Sebelum ada ketegangan Iran-Israel, surplus neraca perdagangan Indonesia memang makin lama semakin menipis, dan sudah ada di bawah 1 miliar dolar AS. Terakhir data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2024 hanya sebesar 0,87 miliar.
Kondisi neraca perdagangan Indonesia selanjutnya, diperkirakan akan semakin turun akibat adanya ketegangan Iran dan Israel. Ia khawatir Indonesia tidak akan bisa melanjutkan tren surplus neraca perdagangan yang sudah berlangsung 23 bulan berturut-turut.
Penurunan kinerja neraca perdagangan Indonesia, terutama disebabkan oleh penurunan ekspor Indonesia. Terutama pada kawasan negara Timur Tengah, Afrika, dan Eropa yang akan terganggu akibat konflik tersebut.
“Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan melambat di kisaran 4,6-4,8 persen tahun ini,” ujar Bhima.
Mitigasi Pemerintah
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan, pemerintah terus memonitor setiap perkembangan yang ada serta menyiapkan berbagai upaya untuk memitigasi segala potensi risiko dampak yang akan muncul.
“Dari sisi perekonomian, tentu kita melihat terjadi lonjakan harga minyak akibat serangan Israel ke kedutaan Iran di Damaskus dan juga terhadap retaliasi yang dilakukan oleh Iran,” tutur Airlangga saat konferensi pers usai Rapat Terbatas terkait Perkembangan Situasi Global di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/4/2024).
Airlangga menyebut Indonesia akan mengambil beberapa kebijakan. Di antaranya bauran kebijakan fiskal dan moneter, menjaga stabilitas nilai tukar, menjaga APBN, hingga memonitor kenaikan logistik dan kenaikan harga minyak.
“Bagi sektor riil, dampak depresiasi nilai tukar dan kenaikan ini salah satu yang dilihat yang tentu sangat berpengaruh terhadap impor. Namun tentu efek juga terhadap eksportir mendapatkan devisa lebih banyak. Tentu ini plus minusnya kita harus jaga,” jelas Airlangga.
Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengatakan jika situasi di Timur Tengah semakin memanas pasca-serangan Iran terhadap Israel, akan berpengaruh terhadap harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Namun potensi kenaikan harga jual BBM, untuk saat ini terus ditahan oleh pemerintah.
“Sekarang kita tahan, sementara stok aman,” kata Arifin, Selasa (16/4/2024).
Hanya saja, menurut Arifin, pemerintah juga terus melihat perkembangan situasi global setelah adanya serangan Iran ke Israel. Pemerintah pun berharap tidak ada kelanjutan kenaikan eskalasi setelah ini agar pasokan maupun harga minyak dunia tetap stabil.
Karena menurut Arifin, setiap kenaikan harga minyak per satu dolar AS ada pula kenaikan nilai subsidi dan kompensasi BBM di dalam negeri. Untuk kenaikan satu dolar AS, kenaikan nilai subsidi dan kompensasi bisa mencapai hingga Rp4 triliun.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz