Menuju konten utama

Kisah Hartanto Berdaya Melalui Karya Seni Tembaga & Batu Alam

Hartanto alias Gundala Seta merintis bisnis kriya di masa pandemi hingga sukses melalui Solo Market Art.

Kisah Hartanto Berdaya Melalui Karya Seni Tembaga & Batu Alam
Eko Gundala, Melalui Karya Seni Perpaduan Tembaga dan Batu Alam saat menjual hasil karya seninya di pasar seni (market art) di malam hari yakni Solo Market Art yang diinisiasi oleh yayasan SoloisSolo. (FOTO/(Febri Nugroho))

tirto.id - Di salah satu sudut Kota Surakarta, berdiri Solo Market Art yang diinisiasi oleh Yayasan Solo is Solo. Semula, ia hanya hadir di akhir pekan atau tepatnya pada hari Jumat dan Sabtu malam. Kini, ia bertransformasi jadi naungan ratusan pelaku seni kriya di Surakarta dan sekitarnya.

Salah satunya pelaku seni kriya yang menjajal peruntungan di Solo Market Art adalah Hartanto. Pria yang lebih dikenal dengan sapaan Gundala Seta ini adalah perajin perhiasan berbahan dasar tembaga dan batu alam.

Pria asal Sleman, DI Yogyakarta, itu adalah juga pendiri studio Hartanto Art. Studio seni kriya tersebut dibangunnya kala Pandemi COVID-19 merebak, sekira 2021 silam.

Hartanto berkarya dengan memadukan lilitan tembaga dan batu alam menjadi perhiasan yang indah dan bernilai seni tinggi.

Ide Muncul saat Terhimpit

Hartanto masih ingat betul awal mula dirinya merintis studio produksi perhiasan tembaga dan batu alam. Hartanto awalnya berprofesi sebagai penari. Namun, saat pandemi menerjang, dia mesti menghentikan kegiatannya. Hal itu tentu saja berimbas pada perekonomiannya.

Meski sulit, Hartanto tak ingin menyerah pada keadaan. Dia pun memutar otak mencari cara bertahan hidup selama pandemi.

"Saat pandemi, daripada menganggur, saya sempat melukis. Tapi karena [butuh] cari uang cepat, akhirnya cari-cari ide dan ketemu kayak gini," kisah Hartarto saat ditemui Tirto, Sabtu (13/4/2024).

Hartanto sempat menjajal banting setir menjadi pelukis dua dimensi. Namun, melukis ternyata bukan jalan kesuksesannya. Dia lantas kembali mencari ide hingga menemukan “harta karun” di gudang rumahnya yang berada di kawasan Solo Baru, Kabupaten Sukoharjo. Harta Karun tersebut adalah tumpukan batu alam yang telah dia simpan sejak lama.

"Saat itu, saya mikir kalau cuma batu-batu kayak gini untuk cincin atau kalung sudah biasa. Saya pun putar otak dan mencoba menggunakan kawat yang ada di toko besi," lanjutnya.

Meski telah menemukan secercah harapan, Hartanto merasa hasil paduan batu alam dan kawat masih kurang menarik dari sisi estetik. Dia pun mencoba mencari inspirasi melalui internet.

Hingga sebuah unggahan menginspirasi Hartanto untuk membuat perhiasan dengan bahan batu akik dan tembaga.

"Ternyata ada yang memakai tembaga dan lebih bagus. Saya pun mencari tembaga baik dari kabel maupun membeli langsung. Tanpa waktu lama, saya proses jadi produk kerajinan," kata dia.

Kisah Eko Gundala

Eko Gundala, Melalui Karya Seni Perpaduan Tembaga dan Batu Alam saat menjual hasil karya seninya di pasar seni (market art) di malam hari yakni Solo Market Art yang diinisiasi oleh yayasan SoloisSolo. (FOTO/(Febri Nugroho))

Kualitas adalah Kunci

Seiring waktu, Hartanti mampu memproduksi perhisan dalam skala cukup besar. Namun, ada satu kendala terkait bagaimana memperkenalkan hasil karyanya ke publik dan meraup untung darinya.

Hartanto lalu mencoba memperkenalkan hasil karyanya di media sosial sekaligus ikut dalam komunitas perajin yang ada di Kota Bengawan. Saat itulah, dia bersentuhan dengan Yayasan Solo is Solo yang menginisiasi Solo Market Art di Koridor Gatot Subroto (Gatsu) tiap akhir pekan.

Cara tersebut terbukti jitu hingga karya seni buatan Hartanto pun mulai dikenal masyarakat luas.

"Dan ternyata berkembang sampai bergabung di Solo is Solo dan saya merupakan anggota awal di sini di bulan Januari 2023 saat masih 10 anggota," tutur Hartanto.

Usai karyanya dikenal luas dan menghasilkan rupiah, Hartanto menemukan tantangan baru. Dia mesti memilih antara mempertahankan kualitas atau memperbesar bisnis dengan produksi massal.

Dalam menentukan pilihan, Hartanto sadar belaka bahwa karya seni bukanlah barang konsumsi primer. Karenanya, dia memilih untuk menjadikan karyanya sebagai produk eksklusif.

Pilihan tersebut berbuah manis. Dengan tidak mengejar kuantitas, Hartanto bisa fokus menghasilkan karya seni dengan kualitas prima.

"Saya jual online, tapi pesanan khusus. Nilai kerajinan saya itu grade-nya menengah. Jadi, kalau dijual di e-commerce nanti bisa turun harga dan jadi harga pasaran," katanya.

Kisah Eko Gundala

Eko Gundala, Melalui Karya Seni Perpaduan Tembaga dan Batu Alam saat menjual hasil karya seninya di pasar seni (market art) di malam hari yakni Solo Market Art yang diinisiasi oleh yayasan SoloisSolo. (FOTO/(Febri Nugroho))

Melalui metode pemesanan, Hartanto bisa mengontrol harga perhiasannya karena berpatokan pada kualitas. Produk cincin grade biasa, misalnya, bisa dia hargai Rp25 ribu sampai Rp30 ribu. Untuk grade lebih tinggi, dia bisa hargai sekitar Rp50 ribu sampai Rp60 ribu. Lalu, cincin dengan batu yang unik bisa sampai Rp100 ribu.

Ada pula produk gelang yang dipatok seharga Rp45 ribu hingga Rp100 ribu. Untuk kalung, harganya tergantung batu dan keunikannya. Kisaran harganya antara Rp350 ribu sampai Rp1 juta.

"Itu semua tergantung tingkat kesulitan dan keunikan batu karena mencari batu yang unik itu susah," tambahnya.

Kini, Hartanto bisa berbangga karena produk-produk kerajinannya bisa menghasilkan pemasukkan yang terbilang menjanjikkan.

Ketika membuka studio pameran di Solo Market Art setiap akhir pekan, dia mampu mengantongi penghasilan Rp1 juta per hari. Di momen khusus seperti libur lebaran, Hartanto malah bisa meraup hingga Rp2 juta per hari.

"Jadi, sebulan rata-rata saya bisa dapat Rp 8 jutaan,” ungkapnya.

Mendirikan bisnis berbasis seni diakui Hartanto banyak momen jatuh-bangunnya. Meski demikian, dia sangat disyukurinya.

Dia pun berpesan kepada rekan sejawatnya yang kini tengah meniti mimpi menjadi seniman sukses untuk bisa bersikap tegas pada diri masing-masing. Juga, jangan ragu dengan hasil karya seni sendiri.

"Yang terpenting harus menghilangkan mental block. Mental block itu keragu-raguan di alam bawah sadar. Kalau kamu orang seni, harus percaya diri bahwa senimu itu akan dihargai orang lain," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PERAJIN KRIYA atau tulisan lainnya dari Febri Nugroho

tirto.id - Ekonomi
Kontributor: Febri Nugroho
Penulis: Febri Nugroho
Editor: Fadrik Aziz Firdausi