tirto.id - Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Kontribusinya terhadap perekonomian kita terbilang cukup besar.
Alhasil, wajar saja jika pemerintah ngotot ingin mendongkrak sektor ini untuk naik kelas menjadi menengah dan besar. Bahkan ingin menjadikannya berorientasi ekspor dan menjadi bagian proyek hilirisasi.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM), jumlah UMKM mencapai 65,5 juta dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,07 persen. Angka ini setara dengan Rp9.580 triliun.
Serapan tenaga kerja sektor wong cilik satu ini juga cukup besar yakni 97 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Selain itu, sektor UMKM tercatat dapat menghimpun sampai dengan 61 persen dari total investasi di Indonesia.
Sayangnya kontribusi UMKM tersebut, belum diikuti dengan besarnya penyaluran kredit lembaga keuangan untuk sektor ini yang masih berkutat di angka 20 persen. Faktor penyebabnya, antara lain karena sulitnya persyaratan pengajuan kredit dan usaha yang tidak memenuhi ketentuan layak untuk mendapatkan kredit perbankan.
Di satu sisi, realisasi bantuan pembiayaan khusus UMKM, yakni melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), juga hampir tidak pernah tersalurkan sepenuhnya dari anggaran yang disediakan.
Menurut data Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) Kementerian Keuangan, realisasi KUR hanya mampu finish di Rp265 triliun atau 90 persen dari target plafon Rp294 sebesar triliun.
Padahal target penyaluran tersebut sudah direvisi turun, setelah mempertimbangkan minimnya penyerapan KUR pada paruh pertama 2023. Diketahui pemerintah sebelumnya menetapkan plafon KUR 2023 di level Rp450 triliun.
Hal lain yang juga patut disayangkan dari penyerapan KUR tahun lalu, adalah nilainya yang turun dibandingkan dengan capaian tahun 2021 dan 2022.
Lebih lanjut, aktor yang berkontribusi besar dalam menyalurkan skema pembiayaan UMKM adalah bank-bank besar pelat merah. PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) menjadi bank pelat merah yang memberikan sumbangsih terbesar dengan nilai penyaluran akad di angka Rp163,3 triliun kepada 3,5 juta debitur.
Kemudian ada juga Bank Mandiri yang telah menyalurkan KUR sebanyak Rp34,24 triliun. KUR itu disalurkan ke 320.675 debitur di seluruh Indonesia. Lalu ada juga Bank BTN yang berhasil mencatatkan penyaluran KUR sekitar Rp2 triliun atau melesat 195 persen yoy dari Rp682 miliar pada Desember 2022.
Pinjol jadi Alternatif
Tidak optimalnya penyaluran KUR tahun lalu, sebenarnya tidak lepas dari ketatnya proses seleksi perbankan terhadap UMKM. Bank penyalur umumnya enggan membuka akses kredit kepada UMKM karena beberapa pertimbangan.
Pertama, tingginya biaya administrasi untuk menyeleksi, menyalurkan, memonitor dan mengumpulkan pembayaran kredit skala kecil kepada UMKM.
Kedua, tingginya risiko kredit macet mengingat pelaku usaha UMKM umumnya belum memiliki kemampuan mengelola keuangan dan kredit yang baik. Alhasil, bank kesulitan untuk mengevaluasi performa usaha UMKM bersangkutan.
Kemudian ketiga, Indonesia belum memiliki sistem yang dapat menjamin kredit skala kecil. Imbasnya, bank harus menilai ketersediaan agunan yang ditawarkan UMKM. Apakah sesuai dan layak dengan risiko usahanya.
Terakhir, adanya keterbatasan sumber daya operasional untuk melayani permintaan kredit UMKM yang tergolong tinggi. Belum lagi terdapat berbagai ketentuan-ketentuan yang harus diikuti sebelum akhirnya dapat menyalurkan pembiayaan tersebut.
Berbagai pertimbangan perbankan disertai dengan proses yang berbelit akhirnya berujung pada fenomena UMKM yang lebih memilih memodali usaha mereka melalui skema pinjaman online (pinjol) ketimbang KUR.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, mengatakan UMKM lebih memilih untuk menggunakan pinjol karena proses yang cepat. Pasalnya, prioritas UMKM bukanlah tingkat bunga yang rendah, melainkan melainkan percepatan ketersediaan modal.
“Harusnya pemerintah kan memandang itu. Pinjol aja yang ilegal bisa dengan mudah memberi akses pinjaman kenapa pemerintah tidak pro terhadap rakyatnya sendiri? Gitu loh,” ujar Hermawati kepada Tirto.
Hermawati memahami, sulitnya anggota mengakses KUR karena ada beberapa faktor. Pertama karena mereka memiliki riwayat kredit macet sebelumnya sehingga tidak mendapatkan akses KUR. Sebab umumnya pelaku usaha yang terdaftar sebagai kredit macet otomatis masuk ke dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Belum kriteria kedua dia harus lolos SKIP itu dia punya kredit program pemerintah atau tidak? Kadang negara ini kayak kemarin Pemilu, kadang-kadang UMKM dikasih BLT, atau PNM, itu mereka KTP dicatat sebagai penerima program kredit, sehingga mereka akan di-reject dari program KUR,” ujar dia.
Atas dasar itu, dia berharap pemerintah bisa memberikan pemutihan bagi pelaku KUR yang macet untuk bisa mengakses modal kembali. Jika cara itu tidak bisa dilakukan, paling tidak tetap diberikan akses KUR dengan catatan ada pengawasan dari perbankan.
“Kalau misalnya pemutihan tidak, di top up saja. Jadi misalnya mereka macet kenapa? Oh ternyata usaha masih ada tuh, yaudah mereka dipinjami lagi tapi dalam pengawasan perbankan. Itu kan harus bisa negara hadir disitu. Tapi tidak dilakukan,” ujar dia.
Keluhan UMKM ini, diperkuat dengan temuan Ombudsman RI melalui data pengaduan masyarakat pada Posko Pengaduan KUR. Posko pengaduan yang dibuka dari 31 Agustus hingga 20 September 2023 tersebut merupakan hasil kerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM.
Pada rentang waktu ini, Ombudsman RI menerima 80 permintaan informasi atau konsultasi masyarakat dan 19 pengaduan. Ditemukan menemukan SLIK OJK dan agunan menjadi kendala dominan yang dihadapi masyarakat dalam mengakses KUR.
Pengaduan oleh masyarakat didominasi masalah agunan sebanyak 53 persen, tidak ada kepastian atas tindak lanjut permohonan KUR sebesar 37 persen, dan masyarakat merasa dipersulit dalam pengajuan KUR sebesar 10 persen.
Atas data pengaduan tersebut, pihak Ombudsman RI mengeluarkan sejumlah usulan kebijakan atas Program KUR bagi UMKM. Usulan beleid ini mencakup aspek terkait pengembalian agunan, standar waktu maksimum proses administrasi KUR, hingga skema alternatif yang memungkinan penerimaan KUR meski tidak lolos SLIK.
Selain itu, pemerintah melalui pemda dan lembaga penyalur disarankan untuk melakukan sosialisasi yang lebih intensif terkait keterseduaan KUR didukung dengan peningkatan tata kelola manajemen yang memihak pada UMKM.
Celah Korupsi
Lebih lanjut, permasalahan KUR lainnya tidak hanya sebatas itu saja. Program yang digagas era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007 itu, juga masih sangat rentan untuk disalahgunakan.
Ditemukan beberapa faktor yang menciptakan celah bagi karyawan/oknum internal untuk melakukan kecurangan. Diantaranya adalah pemalsuan data (calon) debitur, penyelewengan dana (untuk kepentingan pribadi), dan penyalahgunaan kredit (diberikan kepada yang tidak memenuhi syarat).
Pada awal tahun ini, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Sumatera Selatan menetapkan seorang pimpinan kantor cabang pembantu bank pelat merah di Muaradua sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana KUR 2021-2022.
Dalam kasus ini tersangka terbukti melakukan tindak pidana penyimpangan penyaluran dana KUR yang diperuntukan untuk nasabah kelompok usaha tertentu sektor pertanian dengan kerugian negara mencapai Rp1,6 miliar.
Kasus lainnya, juga menjerat dua orang pelaku tindak pidana korupsi pada salah satu bank pelat merah raksasa. Pada kasus kali ini kedua tersangka membuat kredit fiktif yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 46 miliar.
Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran, Arianto Muditomo, mengatakan penyelewengan dana KUR tersebut setidaknya disebabkan karena dua hal. Pertama lemahnya sistem pengendalian internal dan kedua kurangnya integritas karyawan.
“Celah inilah yang harus diantisipasi untuk ditutup melalui proses distribusi dan proses penetapan target,” ujar dia kepada Tirto.
Proses distribusi bisa dilakukan melalui pengendalian internal dengan peningkatan integritas karyawan. Kemudian pemberdayaan kerjasama dengan pihak ketiga agar akses data calon debitur menjadi lebih akurat.
Selain itu proses penetapan target harus realistis. Pencapaian target harus diawasi dan dievaluasi secara berkesinambungan dan diterapkan sisem insentif pencapaian target yang tepat dengan tetap memperhatikan kualitas.
“Dari segala upaya diatas, hal yang perlu digaris bawahi adalah pemastian integritas karyawan dan keterbukaan manajemen untuk menerima keluhan lapangan serta ketaatan yang ketat pada internalisasi budaya anti-fraud yang komprehensif,” ujar dia.
Berdasarkan penelusuran tersebut, maka perlu adanya pengawasan dari pemerintah agar penyaluran KUR tepat guna dan tidak disalahgunakan. Pemerintah juga perlu mendengar masukan dan pertimbangan berbagai keluhan UMKM dengan mempermudah persyaratan KUR.
Musababnya perlu diingat, UMKM memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Jadi, sewajarnya pemerintah juga harus memberikan perhatian kebutuhan dan keberlangsungan sektor UMKM.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas