tirto.id - Meski ekonomi dunia hingga semester pertama tahun ini tidak seburuk yang diperkirakan, ancaman resesi masih belum reda. Tanda-tanda pelemahan ekonomi global berupa menurunnya perdagangan ekspor hingga daya beli dikhawatirkan merembet ke domestik. Mampukah UMKM sebagai penyelamatnya?
Dilansir dari laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), resesi dimaknai sebagai kondisi dimana perekonomian suatu negara sedang memburuk yang terlihat dari PDB (Produk Domestik Bruto) negatif, jumlah pengangguran meningkat, dan pertumbuhan ekonomi riil negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Kondisi tersebut belum terjadi di Indonesia, tetapi banyak negara lain yang ekonominya sudah menuju resesi. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebagaimana dirilis Antaranews, Senin (31/07/2023) mengatakan, ekonomi dunia di tahun 2023 akan gelap gulita jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi global yang turun drastis dari 6,3% tahun lalu menjadi hanya 2,1% tahun ini.
Meski terjadi perlambatan ekonomi, lanjut Menkeu, hingga pertengahan tahun ini, kondisi ekonomi global agak lebih baik dari yang diperkirakan semula. Ancaman resesi global yang dikhawatirkan merembet ke Indonesia belum terjadi.
Kekhawatiran saat ini justru terkait prediksi volume perdagangan dunia yang masih rendah, yaitu sebesar 2,0% dibandingkan pencapaian dua tahun terakhir yang sebesar 10,7% di tahun 2021 dan 5,2% di tahun 2022.
Jika banyak negara malas berbelanja, dampaknya pasti negatif terhadap perekonomian. Dalilnya adalah belanja lancar, maka ekonomi akan berputar. ”Kalau dunia tidak saling berdagang, pasti ada bagian dunia yang tadinya membutuhkan barang atau jasa tidak mendapatkannya. Ini kemudian akan mendorong harga-harga naik (inflasi),” jelas Menkeu.
Di Indonesia, aktivitas ekonomi masih berjalan baik. Hingga semester pertama 2023, ekonomi Indonesia masih terlihat kokoh. Pertumbuhan ekonomi tercatat konsisten di angka 5%. Sedangkan pertumbuhan PDB mencapai 5,03%, terkuat diantara negara-negara yang tergabung di G20.
Inflasi per Mei 2023 di angka 4,0% (year on year), terbaik diantara negara maju seperti Italia, Jerman, Australia, bahkan Singapura. Neraca perdagangan juga surplus sebesar USD3,45 miliar pada Juni 2023.
Meski ekonomi Indonesia enam bulan pertama tahun ini terlihat baik-baik saja, risiko ketidakpastian ekonomi global masih tinggi. Di Indonesia sendiri, tahun 2023 sudah memasuki tahun politik yang diprediksi membawa pengaruh pada kinerja ekonomi domestik.
Mampukah Indonesia mempertahankan pertumbuhan yang positif atau justru menuju krisis ekonomi? Jika hal itu terjadi, apa yang harus kita lakukan?
Lewati Krisis Ekonomi
Ekonomi Indonesia sudah melewati beberapa kali badai krisis, yaitu krisis ekonomi 1998, krisis ekonomi 2008 dan pandemi di tahun 2020-2021. Dalam situasi guncangan ekonomi tersebut, ternyata sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) mengambil peran besar sebagai penopang perekonomian.
Berdasarkan Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kementerian KUKM) tahun 2021, jumlah pelaku UMKM di Indonesia mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 61,07% atau Rp 8.573,89 triliun dari APBN 2021.
Selain kontribusinya terhadap PDB dominan, UMKM juga mampu menyerap 97% dari total angkatan kerja dan mampu menghimpun hingga 60,4% dari total investasi di Indonesia.
Berdasarkan data diatas, Indonesia mempunyai potensi basis ekonomi nasional yang kuat karena jumlah UMKM yang sangat banyak dan daya serap tenaga kerja sangat besar. Persentasenya juga bertambah setiap tahun, sehingga membantu menurunkan jumlah pengangguran.
Kinerja UMKM memang sempat memburuk di saat pandemi. Berdasarkan siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, mayoritas UMKM (82,9%) merasakan dampak negatif dari pandemi dan hanya sebagian kecil (5,9%) yang pertumbuhannya positif.
Hasil survei dari beberapa lembaga (BPS, Bappenas, dan World Bank) menunjukkan bahwa pandemi menyebabkan banyak UMKM kesulitan melunasi pinjaman, membayar tagihan listrik, gas, dan gaji karyawan, bahkan ada yang sampai melakukan PHK. Sampai hari ini, banyak yang belum bisa bangkit, karena modal usaha habis untuk menyambung hidup.
Meskipun begitu, hasil survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tentang “Ketahanan UMKM Kita Menghadapi Resesi” mengungkap bahwa daya tahan UMKM kita cukup kuat dalam menghadapi resesi. Penelitian tersebut dilakukan dengan mewawancarai sebanyak 541 UMKM dari seluruh Indonesia selama Agustus-Oktober 2020 melalui telepon dan video call.
Hasilnya, jelas LIPI, dampak pandemi mengakibatkan sebanyak 19% UMKM tidak bertahan atau bangkrut, 30% masih bisa mempertahankan karyawannya, dan 51% lainnya masih bertahan. Bantuan yang disediakan pemerintah juga hanya dapat dijangkau melalui pembiayaan kredit perbankan, dimana mayoritas UMKM memiliki akses yang terbatas atas fasilitas tersebut.
UMKM yang mampu mempertahankan usahanya adalah yang punya simpanan kekayaan, seperti tabungan atau aset lainnya, seperti properti dan kendaraan yang bisa dijual atau digadaikan untuk menambah modal.
Pasca pandemi, banyak UMKM yang mencoba bangkit merintis kembali usahanya, meski berdagang baik secara online atau offline saat ini memiliki banyak tantangan, karena kompetisi makin ketat.
Kinerja UMKM belum benar-benar pulih, namun keberadaannya masih tetap diharapkan mampu memberi solusi bagi perekonomian nasional, karena beberapa alasan berikut ini;
Pertama, penciptaan lapangan kerja. UMKM lebih mudah didirikan daripada perusahaan besar, karena tidak membutuhkan banyak persyaratan administrasi dan modal. Makanya, banyak korban pemutusan hubungan kerja (PHK) mudah banting setir menjadi wirausaha untuk bertahan hidup. Keberadaan usaha tersebut menjadi sumber penting dalam menciptakan lapangan kerja.
Kedua, ketahanan ekonomi. UMKM biasanya berkiprah di pasar lokal, sehingga tahan guncangan ekonomi, karena tidak tergantung pada pasar global dan fluktuasi mata uang.
Ketiga, inovasi dan kreativitas. UMKM sering kali lebih inovatif dan kreatif dalam mencari solusi untuk tantangan ekonomi. Karena, mereka lebih memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan produk dan layanan dengan kebutuhan pelanggan yang berubah selama masa resesi.
Dominasi UMKM Tidak Sehat
Meski kontribusinya besar terhadap perekonomian nasional, Pakar Ekonomi Faisal Basri berpendapat bahwa ekonomi negara yang didominasi UMKM sebenarnya membahayakan struktur perekonomian.
Menurut Faisal Basri, meski UMKM memiliki peranan penting bagi perekonomian nasional, struktur usaha UMKM di Indonesia tidak sehat. Pasalnya, jelas dia, pelaku UMKM di Indonesia masih didominasi oleh usaha mikro yang mencapai 98,67% atau 64,6 juta, sementara usaha kecil 798.679 atau 1,22%, menengah 65.456 atau 0,10%, dan usaha besar 5.673 atau hanya 0,01%.
"Struktur usaha UMKM di Indonesia itu tidak sehat. Jadi ada sekitar 65 juta unit usaha UMKM di Indonesia, tetapi kita jangan bangga dengan jumlah UMKM yang banyak, sebab sebagian besarnya adalah mikro. Ini adalah ekses dari ekonomi yang berkembang ke arah yang kurang sehat," kata Faisal Basri dalam webinar Catatan Akhir Tahun Millenial Talk Institute, Senin (27/12/2021).
Struktur perekonomian yang menggambarkan dominasi penyerapan tenaga kerja dari UMKM itu rentan bermasalah, karena mereka berada dikelompok miskin dan rentan miskin. Banyak yang usahanya sekadar cukup untuk menyambung hidup, sehingga tidak cukup uang untuk berinovasi atau mengembangkan usahanya.
Banyak tantangan yang dihadapi UMKM. Modal, hanya salah satunya. Banyak pelaku UMKM yang takut berutang, karena belum yakin mampu membayarnya. Beberapa mengembangkan usahanya dengan cara menggandeng pihak lain melalui pola kemitraan atau sistem franchise.
Selain keterbatasan modal, UMKM memiliki beberapa permasalahan berikut:
Produktivitas rendah. Sebagian besar UMKM cenderung memiliki produktivitas yang lebih rendah dibandingkan perusahaan besar, karena sumber daya terbatas, tidak efisien dan keterbatasan teknologi. Hal ini karena pada umumnya masih berskala industri rumahan.
Skala ekonomi. Perusahaan besar biasanya memproduksi barang untuk memenuhi skala ekonomi, sehingga bisa menurunkan biaya produksi. Sedangkan UMKM sulit memenuhi skala ekonomi, karena volume produksinya kecil.
Inovasi terbatas. Sumber daya dan modal yang terbatas membuat UMKM tidak mampu untuk melakukan investasi di riset dan pengembangan. Hal ini bisa menghambat kemajuan teknologi dan efisiensi perekonomian.
Tersebarnya sumber daya. Jumlah UMKM yang terlalu banyak mengakibatkan fragmentasi pasar dan kesulitan bersaing dengan perusahaan besar yang bisnisnya lebih efisien.
Untuk mengatasi dampak resesi global pada UMKM, pemerintah diharapkan mengambil beberapa langkah, yaitu mendukung UMKM melalui kebijakan ekonomi yang berpihak kepada UMKM, seperti pelatihan usaha atau insentif fiskal.
UMKM juga perlu didorong untuk berinovasi agar bisa memenuhi permintaan pasar yang dinamis. Kemudian, memfasilitasi akses untuk ekspor dan mempromosikan produk lokal ke pasar domestik dan global.
Terkait kemungkinan terjadi krisis ekonomi di Indonesia, Faisal menyakini Indonesia 2023 tidak akan mengalami krisis ekonomi akibat ancaman resesi. Krisis itu biasanya terjadi ditandai dengan gejolak sosial lebih dulu di domestik, kemudian skandal-skandal mulai bermunculan, dan ketahuan siapa saja yang terlibat. Jika masalah-masalah itu menyatu, bisa terjadi krisis.
Berdasarkan pengalaman, kata Faisal, jika ekonomi dunia resesi, maka Indonesia tidak. Pasalnya, keterkaitan Indonesia dengan ekonomi dunia relatif kecil. Faisal mencontohkan ketika terjadi krisis finansial global di tahun 2008, dunia mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi minus satu persen. Indonesia masih tumbuh di angka 4,6 persen, bahkan nomor tiga tertinggi di dunia.
Meski berpeluang tidak resesi, ungkapnya, tantangan ekonomi Indonesia saat ini sangat berat. Salah satunya nilai rupiah terhadap dolar Amerika yang melemah akan berdampak pada pembayaran utang dalam mata uang asing ikut naik.
“Jadi beban utang naik, bunga, belum ditambah cicilan. Cicilan itu bisa dibayar dengan utang lagi, gali lubang tutup lubang, tapi kalau bunga enggak bisa,” ucap Faisal Basri.
Keyakinan Indonesia di tahun 2023 tidak terjadi resesi juga disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto saat menjadi pembicara dalam acara penandatanganan komitmen pelaksanaan aksi pencegahan korupsi yang digelar oleh Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).
Airlangga mengatakan, kemungkinan ekonomi Indonesia mengalami resesi di tahun 2023 hanya 3 persen saja. Artinya, 97%, kemungkinannya tidak resesi. Hal tersebut terwujud dengan syarat, pemerintahan yang bebas dari korupsi sebagai syarat penting untuk pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
Pertanyaannya, apakah Indonesia saat ini bebas dari korupsi sebagaimana disampaikan Airlangga? Faktanya, berbagai skandal mega korupsi bermunculan terungkap ke publik. Kondisi tersebut yang membuat was-was masyarakat. Tak mengherankan, jika Warga +62 masih harap-harap cemas, apakah Indonesia bisa selamat dari krisis ekonomi?
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas