tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pencarian korban reruntuhan, salah satunya Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Kabasarnas) Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi (HA).
Selain Henri, Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Adm Arif Budi Cahyanto (ABC) turut menyandang status tersangka. Selanjutnya KPK juga menersangkakan tiga orang pihak swasta atau sipil.
Di antaranya Komisaris Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi (MS); Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya (MR); dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil (RA).
Penetapan tersangka kelima orang itu diumumkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada Rabu 26 Juli 2023 malam. Dalam pemaparannya, Alex menyebut Marsdya Henri dan Letkol Afri diduga menerima uang suap senilai Rp88,3 miliar dalam kurun waktu tiga tahun.
"HA melalui ABC diduga mendapatkan nilai suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp88,3 miliar dari berbagai vendor pemenang proyek," ungkap Alex saat jumpa pers.
Sementara Mulsunadi, Marilya, serta Roni Adil diduga selaku pemberi suap. Ketiganya disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Tersangka Militer Diproses Puspom TNI
Penanganan tersangka sipil dan militer berbeda. Lembaga antirasuah menyerahkan proses hukum Marsdya Henri dan Letkol Afri kepada Pusat Polisi Militer (Puspom) Markas Besar TNI dengan supervisi dari KPK.
"Proses hukum lebih lanjut akan diselesaikan oleh tim gabungan penyidik KPK dan tim penyidik Puspom Mabes TNI sebagaimana kewenangan yang diatur di dalam undang-undang," tutur Alex.
Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi mengaku menerima penetapan tersangka ini. Namun ia ingin proses hukum selanjutnya dilakukan oleh Puspom TNI karena dirinya masih militer aktif.
"Ya diterima saja, hanya kok enggak lewat prosedur, kan saya militer aktif," ujar Henri saat dihubungi wartawan, Kamis 27 Juli 2023.
Dihubungi terpisah, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo menghormati proses hukum terhadap Henri dan Afri. "Sangat prihatin dan akan mengikuti proses hukum," ucapnya saat dikonfirmasi Tirto.
Fadjar mengatakan kedua perwira AU itu akan diproses hukum di institusinya. "Proses hukum dilaksanakan oleh Puspom TNI sesuai undang-undang," jelas Fadjar.
Sementara itu, Kapuspen TNI Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan, Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi saat ini telah ditahan Puspom TNI usai menjadi tersangka dugaan korupsi.
"Siap, (ditahan) di Puspom TNI," kata Julius kepada Tirto.
Pintu Masuk Usut Korupsi yang Diduga Libatkan TNI
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, terlibatnya perwira tinggi dalam kasus Basarnas menjadi momentum bagi KPK untuk mengusut kasus dugaan korupsi yang melibatkan personel TNI.
"Memang KPK gagal melakukan treatment kepada TNI, misalnya dalam kasus helikopter AW-101, di mana justru pelaku yang diduga dari TNI belum disidangkan. Bahkan untuk sekadar memanggil mantan KSAU menjadi saksi di pengadilan saja tidak pernah datang dan KPK tidak bisa apa-apa. Jadi ini momentum, karena ini bukti yang gampang, karena OTT dan pemberian uang," terang Boyamin, Kamis.
Boyamin menyebut kasus helikopter seakan-akan menjadi proyek internal TNI, sehingga pembuktian dan pengusutannya menjadi sulit. Sementara kasus Basarnas diawali dengan operasi tangkap tangan (OTT), dan ini menjadi momentum untuk mengusut instansi-instansi kuat yang belum tersentuh.
Ia juga membandingkan kinerja KPK dan Kejaksaan Agung dalam mengusut perkara yang diduga melibatkan TNI. Kejaksaaan Agung dinilai memiliki keunggulan, karena tidak memerlukan koordinasi dengan Puspom TNI.
"KPK ketinggalan jauh dengan Kejaksaan Agung. Kejagung Urusan TNI paling tidak sudah dua. Terakhir urusan satelit Kemenhan. Perumahan TNI AD yang kerugiannya Rp200 miliar sudah diselesaikan. Kejagung mampu karena istilah tim koneksitas yang langsung tanpa harus koordinasi lagi karena di sana ada Jampidmil. Ini KPK memang ada kendala urusan koneksitas dengan TNI," papar Boyamin.
Tersangka Tentara Bisa Disidang di Pengadilan Umum?
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), Zaenur Rohman menyoroti strategi KPK dalam menjerat tersangka yang berasal dari anggota TNI.
Zaenur menyebut cara KPK menetapkan Kabasarnas Henri Alfiandi sebagai tersangka menjelang masa pensiun untuk mengurangi tameng kekuatannya sebagai perwira tinggi TNI. Pada Juli 2023, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono baru saja merotasi posisi Henri dari Kabasarnas menjadi Pati TNI AU dalam rangka purnatugas.
"KPK sekarang strateginya setelah purna baru ditangani, disidik. Kalau dilihat dari waktu, diduga ada salah satu tersangka baru pensiun langsung ditersangkakan. Ini strategi supaya tameng pengamannya kurang kuat, ini strategi penyidikan yang menurut saya menarik," ungkap Zaenur dalam keterangannya, Kamis.
Namun demikian, kata Zaenur, ke depan untuk kasus seperti ini harus dibentuk tim koneksitas antara KPK dengan Puspom TNI, sehingga peradilannya juga terhubung. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 89 KUHAP bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama antara sipil dan militer itu norma dasarnya adalah diperiksa di peradilan umum.
Zaenur menyebut bahwa ada satu hal mudah yang dapat menentukan apakah sebuah perkara harus diadili di pengadilan militer atau pengadilan negeri, yaitu dengan melihat beban kerugian.
"Cara menentukannya sangat mudah, di Pasal 91 KUHAP jika dilihat titik berat kerugiannya itu di kepentingan umum, maka diadili di PN. Jika titik berat kerugiannya di militer maka diadili di pengadilan militer," imbuh Zaenur.
Zaenur berpendapat karena kasusnya terjadi di Basarnas maka semestinya diadili di pengadilan negeri dengan melibatkan unsur penegak hukum di Puspom TNI.
Perlunya Tim Koneksitas KPK dan TNI
Zaenur menyoroti soal perlunya koneksitas antara penyidik KPK dengan Puspom TNI. Pasalnya, sejumlah kasus yang ditangani tanpa koneksitas akan menjadi sulit diawasi. Misalnya, dalam kasus helikopter AW-101.
"Korupsi AW-101 tanpa koneksitas itu KPK jalan terus sampai terdakwa divonis bersalah, tapi di TNI awalnya ada lima tersangka tapi kemudian dihentikan prosesnya. Tanpa koneksitas berat mengungkap perkara ini (korupsi Basarnas) secara tuntas," tutur Zaenur.
Zaenur juga mengatakan bahwa dalam Pasal 42 Undang-Undang KPK ada sebuah norma menarik, bahwa KPK berwenang mengoordinasi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan untuk tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
"Maka KPK itu posisinya dapat mengoordinasi dan mengendalikan, UU itu memberi kewenangan lebih tinggi. Sehingga seharusnya polisi militer harus berkoordinasi dengan KPK dan KPK mengendalikan prosesnya," ujar Zaenur.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Ia mengatakan kasus ini hendaknya menjadi momentum untuk menyadari pentingnya membentuk koneksitas.
"(Kasus ini) momentum untuk menyadari bahwa problem seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya melalui peradilan militer, ya minimal koneksitas lah. Supaya lebih fair, lebih jelas penanganannya," ucap Fahmi.
Fahmi menyebut koneksitas penting untuk kasus yang melibatkan TNI tapi berada di ranah peradilan umum. Namun demikian, dalam kasus yang melibatkan Kabasarnas ini, ia menyebut belum ada regulasi yang memungkinkan, sehingga masih menjadi kewenangan Puspom TNI untuk melanjutkan proses hukum.
Menurut Fahmi, sekalipun dalam Pasal 91 KUHAP diatur terkait penentuan peradilan perkara yang melibatkan unsur TNI di ranah peradilan umum, namun hal tersebut tidak pernah benar-benar ditegakkan.
"(Pasal 91 KUHAP) tidak pernah ditegakkan secara tegas pasal itu, sehingga selama ini selalu yang terjadi dikembalikan ke pengadilan militer penanganannya," jelasnya.
Ia menambahkan perdebatan soal kerugian pada masyarakat masih perlu ditafsirkan, terlebih jika berkaitan dengan kerugian non materiil.
Hukuman yang Pantas
Peneliti PUKAT UGM Zaenur Rohman menilai korupsi yang terjadi di lingkungan Basarnas mengecewakan karena berkaitan dengan penanganan bencana, yaitu pengadaan barang dan jasa salah satunya alat pencarian korban reruntuhan.
"Ini sangat mengecewakan, membahayakan keselamatan publik dan sangat jahat karena korupsi dilakukan dalam pengadaan barang dan jasa alat keselamatan," katanya.
Ia mengatakan hal ini perlu menjadi catatan, karena dengan sistem lelang sudah menggunakan berbasis elektronik, tetapi para pejabat masih bisa mencari celah untuk korupsi.
"Kenapa masih terus terjadi? Enggak ada pengawasan, sangat lemah pengawasannya. Semakin tumpul ketika yang melakukan korupsi adalah pemimpin tertingginya," tegas Zaenur.
Di sisi lain, Koordinator MAKI Boyamin Saiman berharap KPK dapat memperberat tuntutan hukum dalam kasus Basarnas, karena terkait dengan penanganan bencana. Ia berharap KPK tidak lagi melewatkan kesempatan seperti saat melakukan penuntutan dalam kasus korupsi Bansos.
"Sebenarnya KPK ada momentum waktu Juliari Batubara Bansos itu kan harusnya dikenakan pasal pemberatan, Pasal 2 Ayat 2 UU Pemberantasan Korupsi di mana ancamannya bisa sampai hukuman mati. Mestinya ini nanti KPK jangan lagi lembek kayak Juliari hanya tuntutan 20 tahun. Minimal tuntutan seumur hidup," terang Boyamin.
"Kita desak KPK tuntaskan perkara ini dan tuntutannya karena menyangkut urusan bencana, dan bisa saja kalau alatnya dikorupsi jelek kemudian bisa korbannya banyak, harusnya tuntutannya bisa seumur hidup bisa tuntutan mati. Supaya tidak ada lagi korupsi yang berkaitan dengan bencana, masak berkaitan bencana masih dikorupsi," pungkasnya.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky