tirto.id - Penghitungan kerugian negara dalam kasus ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan kasus pengadaan infrastruktur BTS 4G Kominfo memiliki satu kesamaan, yaitu tidak dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melainkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Padahal berdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2016, hanya BPK yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian negara.
Dalam kasus BTS, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh menyimpulkan ada kerugian negara sebesar Rp8,32 triliun dalam kasus ini.
"Berdasarkan bukti yang kami peroleh dan disampaikan kepada Jaksa Agung, kami simpulkan terdapat kerugian negara sebesar Rp8,32 triliun," kata Yusuf dalam konferensi persnya, pada Senin (15/5/2023) lalu.
Sementara itu, dalam kasus ekspor CPO, Dirdik Jampidsus Kejaksaan Agung, Supardi, menyebut kerugian negara dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya mencapai Rp20 triliun.
Nilai tersebut terdiri atas kerugian keuangan, kerugian perekonomian dan pendapatan tidak sah (illegal gains).
Perhitungan kerugian negara tersebut dilakukan oleh auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta penyidik Jampidsus menggandeng ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Penghitungan Kerugian Negara Tidak Sah?
Sejumlah pihak menilai penghitungan kerugian negara pada dua perkara itu tidak sah karena bukan dideklarasikan atau dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengatakan, Kejaksaan Agung semestinya meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung kerugian negara, sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016, sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
“SEMA Nomor 4 Tahun 2016 menyatakan bahwa hanya BPK yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian negara. Karena BPKP hanya berhak untuk menghitung kerugian negara, namun tidak berhak menyatakan adanya kerugian negara,” jelas Boyamin dalam keterangannya, dikutip Selasa 25 Juli 2023.
Berikut petikan SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tentang penghitungan kerugian negara:
Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara namun tidak berwenang menyatakan atau mendeclare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.
Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar. Ia menyebut bahwa penghitungan kerugian negara hanya sah bila dilakukan oleh BPK.
"Penghitungan kerugian keuangan negara hanya sah jika dilakukan oleh BPK, selebihnya tidak sah," ujar Fickar.
Fickar juga mengatakan bahwa unsur kerugian keuangan negara merupakan hal terpenting dalam pembuktian kasus yang menggunakan Pasal 2 atau 3 Undang-Undang Tipikor. Jika unsur kerugian keuangan negara hanya berdasarkan asumsi, maka hakim bisa menyatakan hal tersebut tidak sah.
"Karena unsur yang sangat mempengaruhi terbukti atau tidaknya korupsi adalah kerugian negara. Yang jadi persoalan adalah apakah kerugiannya itu kerugian bisnis atau dicuri secara melawan hukum. Negara juga bisa bisnis, jadi hubungan dengan pihak swasta itu bisa hubungannya bisnis, jadi kalau kerugiannya karena bisnis itu bukan kerugian negara karena korupsi," tuturnya.
Alasan Kejagung Pilih BPKP Ketimbang BPK
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana mengungkap alasannya memilih BPKP ketimbang BPK untuk menghitung kerugian negara dalam perkara BTS dan CPO.
Ketut mengatakan BPKP berwenang untuk menghitung kerugian negara. Ketentuan itu setidaknya bisa dilihat pada sejumlah putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Sudah ada putusan MA dari lima terpidana yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Kerugian negara sudah tercantum secara limitatif di putusan MA, dan beberapa perkara lain juga dihitung oleh auditor BPKP," ucap Ketut dalam keterangannya, Selasa 25 Juli 2023.
"Tidak masalah, kok (jika penghitungan kerugian negara dilakukan oleh BPKP)," sambung dia.
Terhadap hal ini, ahli hukum pidana Abdul Fickar menyebut Kejaksaan Agung hanya sekadar berargumen, sementara keputusannya akan terlihat dalam persidangan. "Silakan saja berargumen, nanti pengadilan yang akan memutuskan," imbuhnya.
Di sisi lain, Maqdir Ismail selaku kuasa hukum terdakwa kasus penyediaan infrastruktur BTS 4G Kominfo Irwan Hermawan, menyebut bahwa kerugian negara harus bersifat nyata dan pasti, dan hanya dapat dinyatakan oleh BPK. Maqdir juga merupakan kuasa hukum terdakwa kasus ekspor CPO, Lin Che Wei.
"Terkait dengan kerugian keuangan negara Mahkamah Konstitusi dalam putusannya secara tegas menyatakan harus nyata dan pasti jumlahnya dan hanya BPK yang berwenang menyampaikan hasil penghitungannya," ujar Maqdir.
Dalam persidangan, kuasa hukum terdakwa Johnny G Plate, Ahmad Cholidin mengatakan bahwa penghitungan kerugian negara oleh BPKP tidak valid karena proyek BTS tidak mangkrak.
"Berdasarkan hasil penyidikan terungkap kegiatan BTS 4G tidak mangkrak dan masih berlangsung hingga saat ini dan diperpanjang hingga 30 Juni 2026, maka belum dapat dikatakan terjadi kerugian keuangan negara atau setidak-tidaknya perhitungan kerugian negara oleh cut off per tanggal 31 Maret 2022 menjadi tidak valid dan tidak pasti jumlahnya," kata Achmad Cholidin dalam persidangan Selasa (4/7/2023).
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky