tirto.id - Presiden Joko Widodo baru saja melakukan perombakan kabinet dengan melantik Budi Arie Setiadi sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika. Selain Budi Arie, Jokowi juga melantik sejumlah wakil menteri, yaitu: Nezar Patria, Saiful Rahmat Dasuki, Rosan Perkasa Roeslani, Paiman Raharjo, dan Pahala Mansury.
Tahun ini, Jokowi diprediksi masih akan mengganti sejumlah pejabat tinggi negara, salah satunya Panglima TNI. Sebagai catatan, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono akan memasuki masa pensiun pada November 2023.
Momen pergantian Yudo ini tentu akan menarik. Hal ini tidak lepas dari ulang tahun eks KSAL itu pada 26 November 2023 akan bertepatan dengan tahapan pemilu yang berjalan saat ini. Waktu Yudo pensiun pun dekat dengan masa kampanye pemilu yang akan dimulai dari 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Sementara pelaksanaan pemilu serentak akan digelar pada 14 Februari 2024.
Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas tidak memungkiri bahwa pemilihan Panglima TNI pengganti Yudo Margono menarik lantaran dekat dengan masa pemilu. Ia melihat ada sejumlah skenario yang terjadi saat pemilihan panglima di masa depan.
“Ada tiga skenario sebenarnya. Dua skenario dulu, satu darat, satu laut. Di darat ada dua skenario," kata Anton saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (21/7/2023).
Skenario darat yang mungkin terjadi adalah percepatan KSAD. Hal ini tidak lepas dari posisi KSAD saat ini, Jenderal Dudung Abdurrahman yang juga akan pensiun pada November 2023. Opsi ini akan membuat Dudung akan digantikan dengan kandidat KSAD baru sebelum KSAD tersebut akhirnya akan menjadi Panglima TNI.
Pada umumnya, kata Anton, Jokowi akan memilih KSAD yang pernah bekerja dengannya sebelum menjadi panglima. “Nah, orang yang bekerja dengan dia itu yang punya bintang 3 di angkatan darat," kata Anton.
Dalam catatan Anton, setidaknya ada tiga kandidat kuat, yakni Kepala BNPB Letjen Suharyanto, Pangkostrad Letjen Maruli Simanjuntak, dan Wakasad Letjen Agus Subiyanto. Suharyanto yang lulusan 1989 adalah mantan Sesmilpres; Maruli yang lulusan Akmil 1992 adalah mantan Danpaspampres era Jokowi; dan Agus pernah bekerja dengan Jokowi waktu di Solo dan mantan Dangrup A Paspampres.
“Kuncinya panglima siapa kalau dia ada percepatan kepala staf angkatan darat, maka dia akan menjadi the next panglima," kata Anton.
Dari tiga nama tersebut, kata Anto, hanya dua nama kuat, yakni Suharyanto dan Maruli. Suharyanto dinilai punya dorongan lantaran bekas BIN sehingga punya kemampuan komunikasi yang baik. Sementara itu, Maruli dan Agus adalah jebolan Kopassus.
Akan tetapi, nama Suharyanto lebih kuat karena Maruli merupakan jenderal non-muslim. Meski tidak ada korelasi, Anton menilai tidak menutup kemungkinan akan ada pihak yang “menggoreng” isu tersebut jelang pemilu.
Selain tiga nama kuat dari Angkatan Darat, Anton melihat ada nama KSAL Laksamana M. Ali sebagai kandidat Panglima TNI selanjutnya. Ali lebih punya peluang daripada KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo karena Fadjar akan pensiun pada April 2024.
Anton mengatakan, pemilihan Panglima TNI pun akan berujung pada keputusan Jokowi, apakah mau mengganti KSAD atau tidak. Masalah waktu pergantian KSAD pun semua tergantung Jokowi, tetapi ia memperkirakan pergantian bisa dilihat pada Agustus atau September 2023.
“Kuncinya memang kalau ada pergantian KSAD, berarti panglima dari Angkatan Darat. Kalau tidak ada pergantian, berarti panglimanya sangat mungkin Pak Ali," tutur Anton.
Sementara peneliti Imparsial, Gufron Mabruri menilai, Jokowi perlu memperhatikan beberapa hal jika ingin memilih Panglima TNI pengganti Yudo. Pertama, Jokowi harus memperhatikan syarat normatif Panglima TNI sesuai UU TNI seperti aspek kepangkatan yaitu bahwa calon panglima harus bintang tiga, atau yang sedang/pernah menduduki jabatan kepala staf. Selain itu, mekanisme rotasi antarmatra juga perlu dipertimbangkan.
Kedua, mempertimbangkan rekam jejak calon panglima TNI, mulai dari memastikan bersih dari catatan dugaan korupsi, pelanggaran HAM, hukum dan memiliki komitmen untuk mengawal dan memajukan agenda reformasi TNI.
“Dalam mencermati rekam jejak, presiden akan sangat baik jika mendengarkan masukan dari lembaga negara seperti KPK, Komnas HAM, perempuan, termasuk tak kalah penting juga pandangan dari masyarakat sipil,” kata Gufron kepada reporter Tirto.
Gufron menilai, rekam jejak merupakan prasyarat substantif yang harus dipertimbangkan oleh presiden. Ia beralasan, pergantian panglima TNI tidak hanya urusan mengganti pucuk pimpinan di angkatan bersenjata, tapi akan mempengaruhi dinamika perkembangan TNI ke depan.
"Dengan kata lain, pergantian panglima TNI akan mempengaruhi bagaimana wajah TNI ke depan. Karena itu, presiden harus benar-benar mencermati rekam jejak calon calon yang ada," kata Gufron.
Ketiga, penting bagi presiden untuk menghindari pertimbangan-pertinbangan politis yang bersifat pragmatis untuk kepentingan politik elektoral atau faktor kedekatan dan kekerabatan. Hal ini dikhawatirkan akan merusak dinamika TNI ke depan baik internal maupun eksternal. Karena itu, muatan politis dalam pergantian panglima TNI harus dibuang jauh-jauh.
Diharapkan Tak Berkaitan dengan Pemilu
Analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo berharap agar pemilihan Panglima TNI tidak berkaitan dengan Pemilu 2024. Ia mengingatkan, posisi TNI adalah sebagai pertahanan negara sehingga pemilihan Panglima TNI sebaiknya mengedepankan isu pertahanan. Ia mengingatkan bagaimana posisi TNI di masa lalu saat berpolitik dalam era Orde Baru.
“Yang terpenting adalah jangan TNI atau militer digoda dengan godaan-godaan untuk kemudian mereka terjun lagi ke politik, terutama politik praktis, ini karena sangat berbahaya. Kita punya pengalaman yang sangat buruk dengan dwifungsi ABRI atau bentuk masuknya tentara atau militer yang punya senjata ini ke ranah politik,” kata Kunto.
Kunto mengakui bahwa pemilihan Panglima TNI bisa menjadi politis, tetapi bukan berkaitan Pemilu 2024. Pemilihan akan politis jika situasi geopolits memanas.
“Apakah ini mempengaruhi konstelasi politik dan pemerintahan Jokowi? Harusnya tidak sangat besar ya pengaruh konstelasinya kecuali kalau tiba-tiba ada kenaikan suhu geopolitik di Laut China Selatan atau Asia Tenggara ini," tutur Kunto.
Kunto menambahkan, “Ketika faktor-faktor eksternal tidak ada relatif, tidak ada pengaruh besar terhadap konstelasi politik dan pemerintahan Pak Jokowi.”
Kunto pun mengakui bahwa pemilihan Panglima TNI non-muslim akan memicu isu politis. Ia menilai, isu agama bisa saja digoreng dalam pemilu mendatang dan menyasar paslon mana pun, baik Ganjar Pranowo, Anies Baswedan maupun Prabowo Subianto.
Ia mengatakan, pihak tidak bertanggung jawab bisa menggunakan isu agama untuk memicu opini negatif dan merusak pelaksanaan pemilu. Ia juga mengingatkan TNI lebih gampang 'digoreng' dengan isu agama akibat sejarah soal kemunculan jenderal hijau dan jenderal merah saat era Orde Baru.
Akan tetapi, Kunto yakin pelaksanaan pemilu kali ini berbeda. Ia beralasan, publik berpotensi jengah dengan isu agama karena sudah mengalami politik identitas agama dalam dua kali pilpres dan sekali pilkada. Di sisi lain, isu agama akibat pemilihan panglima bisa diminimalisasi jika pemerintah melakukan komunikasi tepat agar isu tidak merebak.
“Walaupun ada potensi untuk jadi narasi yang kemudian mengganggu pemilu, tapi asal pendekatan dan komunikasi yang tepat dari pemerintah, saya pikir masyarakat bisa menerima apalagi kan sekali lagi edukasi bahwa TNI urusan pertahanan dan bukan keamanan perlu. Makanya ketika KSAD nya non-muslim masyarakat tidak menganggap itu sebagai isu besar dan konspiratif untuk gimana cawe-cawe politik untuk pilpres," kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz