tirto.id - Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas Polri) mengusulkan agar penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) dihapus dari target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kondisi ini mempertimbangkan banyaknya praktik 'jualan' SIM yang dilakukan polisi demi memenuhi target PNBP.
Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri, Irjen Pol Firman Shantyabudi mengatakan, dengan masuknya SIM sebagai komponen dari PNBP akan membuat jajarannya menghalalkan segala cara supaya target tersebut bisa dipenuhi. Sehingga ia memandang SIM perlu dihapus dari target PNBP.
“Kami mohon sekali lagi, SIM jangan dijadikan target PNBP. Kami khawatir, kasatlantas kami jualan lagi,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR, beberapa waktu lalu.
Pencapaian PNBP dari registrasi dan identifikasi atau regident khsusunya di kepolisan mencapai lebih dari Rp8 triliun selama 2022. Jumlah tersebut naik sebesar 105,42 persen dari target yang ditetapkan. Adapun terdapat sembilan komponen material regident yang melebihi target 100 persen, yaitu STNK, BPKB, TNKB, perpanjangan SIM, mutasi, dan nomor registrasi kendaraan bermotor pilihan.
Firman tak menampik bahwa praktik 'jualan' SIM tersebut sudah sering terjadi sebagai cara yang ditempuh untuk mencapai target PNBP. Petugas bisa dengan mudah meluluskan peserta pembuatan SIM yang belum kompeten untuk menyentuh targetnya.
“Enggak lulus, diluluskan pak, sudah terjadi. Yang belum waktunya pindah golongan, dipindahkan pak, ngejar PNBP,” ujarnya.
Sebagai gantinya, Firman mengusulkan, PNBP bisa diperoleh dari divisi registrasi dan identifikasi. Misalnya, dengan cara menawarkan pelat nomor khusus yang harganya mencapai ratusan juta rupiah.
“Saya pakai contoh Yusri 1, kalau dia berani bayar Rp500 juta untuk 5 tahun, kenapa tidak? Masuk ke PNBP, kita tawarkan bebas ganjil genap. Kalau namanya Yusri ada 16 orang yang mengajukan, kita lelang sampai paling mahal, tertinggi siapa. Nanti masuk ke negara lagi (uangnya),” jelasnya.
Usulan tersebut rupanya disambut baik oleh Anggota Komisi III DPR, Benny K Harman. Politikus Partai Demokrat itu menilai bahwa SIM sebagai bagian dari pelayanan kepada masyarakat, dan tidak perlu masuk dalam PNBP.
Dia menyebut jika pengurusan SIM masuk dalam PNBP, maka perpanjangan tiap lima tahun rentan karena hanya dijadikan ladang uang. Sebab itu, dia berharap berlakunya SIM seumur hidup dapat menutup celah oknum polisi dari pungli.
"Saya senang SIM bukan target PNBP bagian pelayanan, tapi kalau itu bagian pelayanan mestinya tidak boleh ada lagi masa berlakunya. SIM harus seumur hidup. Terus seumur hidup. Kalau setiap tahun SIM, 5 tahun ya? Kalau setiap 5 tahun itu alat cari duit," kata Benny.
Pengaturan SIM masuk dalam komponen PNBP sudah dilakukan sejak 2016. Presiden Joko Widodo kala itu telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut PP ini, jenis PNBP yang berlaku pada Polri di antaranya meliputi penerimaan dari: Pengujian untuk penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) baru; Penerbitan perpanjangan SIM; Penerbitan Surat Keterangan uji Keterampilan Pengemudi; Penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) Bermotor; Pengesahan surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor; Penerbitan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor.
Selanjutnya Penerbitan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor; Penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB); Penerbitan surat Mutasi Kendaraan Bermotor ke Luar Daerah; Penerbitan surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Lintas Batas Negara; Penerbitan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Lintas Batas Negara; Penerbitan Nomor Registrasi Kendaraan Bermotor Pilihan.
Jenis dan tarif atas jenis PNBP sebagaimana dimaksud tercantum dalam lampiran peraturan pemerintah ini diantaranya: SIM A per penerbitan Rp120.000, SIM BI per penerbitan Rp120.000, SIM BII per penerbitan Rp120.000.
Selanjutnya untuk SIM C per penerbitan Rp100.000, SIM CI per penerbitan Rp100.000, SIM CII per penerbitan Rp100.000, SIM D per penerbitan Rp50.000, SIM DI per penerbitan Rp50.000, dan penerbitan SIM Internasional per penerbitan Rp250.000.
"Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara,” bunyi Pasal 6 PP ini.
Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian/Lembaga, Wawan Sunarjo tak menampik bahwa ada potensi penerimaan yang hilang jika perpanjangan SIM dihapus. Berdadarkan catatannya, target realisasi didapat dari SIM sepanjang 2022 mencapai Rp1,2 triliun, di mana 60 persennya berasal dari perpanjangan SIM.
"Jadi kalau misalkan itu diberlakukan pendapatan dari perpanjangan itu turun 60 persen dari SIM. Kalau dari data 2022 itu bisa hilang sekitar 60 persen sekitar 650 miliar signifikan. Dari segi kepolisian akan kehilangan Rp650 miliar. (Mereka gak rela) karena itu operasional mereka," jelasnya.
Evaluasi Kemenkeu
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Isa Rachmatarwata mengaku akan mempertimbangkan sekaligus mengevaluasi penghapusan SIM dari komponen PNBP. Dalam hal ini pihaknya juga akan berkomunikasi dengan kepolisian terkait dengan usulan ini.
"Jadi nanti kita terus diskusikan dengan kepolisian tentunya apakah PNBP ini sudah bisa kita turunkan bahkan kita eliminasi manakala cost untuk hasilkan ini sudah jadi kan dari operasional Polri sudah bisa atau belum," kata Isa kepada Tirto dalam media briefing.
Isa tak menampik bahwa PNBP khususnya di kementerian atau lembaga menjadi tantangan sendiri bagi Kemenkeu. Sebab banyak pertimbangan yang perlu dilihat apakah ini menjadi suatu kebutuhan dasar atau pelayanan ekstra untuk masyarakat.
"Jadi kalau urus misal NIK itu layanan dasar. Seluruh warga Indonesia untuk mendapatkan NIK itu tidak bayar. Kalau bayar itu salah karena tidak ada PNBP. Kalau ada yang minta bayaran itu keliru karena itu oknum yang melakukan. Karena itu layanan dasar," jelasnya.
Namun menurut Isa, memiliki mobil, sepeda motor itu sudah menjadi kenikmatan ekstra layanan yang tidak bisa dinikmati oleh semua orang. Sehingga cost of production SIM itu memang penting, karena menggantikan biaya penerbitan daripada kartu SIM-nya.
"Jadi menurut saya itu bukan masalah bayar atau tidak bayarnya. Mau bayar atau tidak bayar sama aja kalau ternyata tetap ada penerbitan SIM yang tidak sesuai dengan prosedurnya," katanya.
"Jadi isunya adalah menurut saya penerbitan SIM-nya yang kita mesti dipastikan semuanya dilakukan sesuai dengan prosedur. Kalau pembayaran PNBP itu adalah salah satu aksesoris kalau yang di dalam proses penerbitan SIM," lanjut Isa.
Walaupun demikian, pihaknya membuka kemungkinan jika negara ini sudah mampu, biaya perpanjangan SIM akan digratiskan. Tetapi pada saat masih perlu banyak kebutuhan pembangunan, pihaknya juga pertimbangan tetap dikenakan biaya.
"Oh ini kan layanan yang dinikmati tidak semua orang. Orang-orang tertentu saja dan orang ini membayar cost mendapatkan kartu SIM itu masih wajar," pungkas dia.
Sikap Dilematis
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono mengatakan, semua kebijakan pasti dilandasi oleh pertimbangan rasional yang terbatas (bounded rationality theory). Di mana, salah satunya adalah kebijakan peniadaan biaya perpanjangan SIM.
Di satu sisi, biaya itu memunculkan penerimaan negara berupa PNBP. Di sisi lain, proses perpanjangan tersebut juga bisa memunculkan perilaku 'jualan' dari jajaran oknum polisi.
"Ketika ada dua dampak yang bertolak belakang ini, muncul ambivalensi. Pembuat kebijakan tidak bisa memilih keduanya dan harus mengacu pada pertimbangan yang paling rasional (rational choice theory)," ujarnya kepada Tirto, Rabu (12/7/2023).
Menurut Prianto, ketika yang dipilih adalah meniadakan biaya perpanjangan SIM dampak positifnya adalah praktik polisi yang 'jualan' di proses perpanjangan SIM akan hilang. Tapi dampak negatifnya adalah PNBP yang hilang.
"Nah, kondisi demikian memberikan dampak positif yang lebih besar dalam rangka menciptakan akuntabilitas dan program Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi (ZI-WBK)," tururnya.
Dia menekankan jika memang tujuannya adalah menghilangkan praktik pungli untuk menegakkan ZI-WBK, maka SIM harus dihapus dari target PNBP. Sehingga praktik 'jualan" polisi benar-benar tidak ada lagi.
Selain itu, pertimbangan efisiensi juga dapat dijadikan sebagai acuan. Artinya, pembuat kebijakan di institusi Polri harus mempertimbangkan dan membandingkan atara PNBP yang akan masuk dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pengawasan secara lebih ketat jika SIM ini tetap masuk dari bagian PNBP.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menambahkan, jika penghapusan SIM dari PNBP itu dapat menjadi solusi peningkatan pelayanan masyarakat, harusnya bisa dilakukan. Sebab potensi penerimaan yang hilang pun dinilainya tidak terlalu besar.
"Jadi, sebuah kebijakan yang layak diimplementasikan," ujarnya kepada Tirto.
Intsruksi Sang Jenderal
Dalam kesempatan sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sudah memerintahkan langsung Kakorlantas untuk membenahi ujian praktik SIM yang tidak relevan dan menyulitkan. Sebab hasil ujian tersebut agar pengendara menghargai keselamatan pengguna jalan lain dan keterampilan mengendarai kendaraan.
Sigit juga mengingatkan pembuatan SIM jangan dijadikan alat untuk mempersulit pemohon dan malah menjadi sarana pungli.
Berdasarkan temuan survei Jajak Pendapat (Jakpat) menunjukkan, beberapa orang memang pernah membuat SIM melalui jalur pintas. Dari 339 responden, sebanyak 43,2 persen orang mengaku mendapatkan SIM melalui jalur tersebut tanpa mengikuti ujiannya.
Rinciannya, 59,3 persen dari responden itu menjawab agar proses pembuatan cepat selesai. Lalu, 22,1 persen mengaku dapat tawaran dari pihak tertentu. Namun, Jakpat tidak membeberkan secara detail pihak yang dimaksud dari internal aparat atau di luar aparat.
Sementara 8 persen menjawab malas mengikuti ujian dan hanya 6,5 persen yang memilih jalur ini karena tidak lulus ujian praktik.
Kendati begitu, untuk yang belum memiliki SIM dengan jumlah 553 responden, sebanyak 63,5 persen mengaku bakal tetap mengikuti ujian. Sedangkan 36,5 persen memilih untuk mengambil jalur pintas.
“Saya minta Kakorlantas tolong lakukan perbaikan. Yang (tes) angka 8 itu masih sesuai atau tidak, yang melewati zig-zag itu sesuai atau tidak. Kalau sudah tidak relevan tolong diperbaiki,” ujar Sigit di STIK, Rabu, 21 Juni 2023.
Sang jenderal juga meminta Korlantas untuk segera melakukan studi banding terkait perubahan ini.
Sementara itu, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Pudji Hartanto Iskandar berkata perihal penerbitan SIM baru, tercantum dalam Peraturan Kepolisian.
“Pada prinsipnya tidak melanggar undang-undang dan untuk peningkatan kualitas hasil pemohon SIM serta sudah terakreditasi, saya kira baik. Karena hal itu dilakukan oleh pihak ketiga," kata Pudji kepada Tirto.
Namun, lanjut Pudji, semua rencana perubahan baru itu bisa dilakukan setelah semua infrastrukturnya benar dan kepolisian menyosialisasikan kepada publik.
Laporan Indikator Politik Indonesia bertajuk “Evaluasi Publik Atas Kinerja Lembaga Penegak Hukum dan Perpajakan” teranyar sempat menyoroti kinerja kepolisan. Di mana pungutan liar atau pungli jadi pekerjaan rumah yang perlu segera dituntaskan oleh Polri.
Dalam laporan tersebut, sebanyak 10,1 persen responden menyatakan jika memberantas pungli jadi hal utama yang paling perlu dibenahi oleh Polri.
"Apa yang perlu dibenahi, yang paling tinggi ini top of mind, ya. Jadi kita enggak kasih pilihan jawaban, yang paling banyak dipilih responden adalah memberantas pungli," kata Peneliti Utama Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi dalam rilis surveinya.
Kemudian kinerja anggota Polri menyusul di urutan kedua sebagai hal yang perlu dibenahi Polri, yang dipilih 5,1 persen responden. Adapun pelayanan dan memperbaiki internal mengikuti urutan berikutnya sebagai hal yang perlu dibenahi Polri dengan proporsi masing-masing sebesar 4,8 peraen dan 4,2 persen.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz