tirto.id - Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) resmi disahkan menjadi UU dalam sidang paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023). RUU yang sempat ditolak berkali-kali oleh tenaga kesehatan itu akhirnya sah setelah para anggota dewan menyetujuinya.
“Kami akan menanyakan kepada fraksi lain, apakah RUU Kesehatan dapat disetujui jadi UU? Fraksi PDI-P, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi PAN, Fraksi PPP setuju ya?" kata Ketua DPR, Puan Maharani saat memimpin Rapat Paripurna ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023.
“Setuju," sahut para anggota yang hadir.
Dalam proses pengesahan RUU Kesehatan ini, dua dari sembilan fraksi, yakni Partai Demokrat dan PKS menyatakan menolak keputusan pengesahan RUU Kesehatan. Penolakan dibacakan oleh Dede Yusuf dari Fraksi Demokrat dan Netty Prasetiyani dari PKS.
Selain dua fraksi yang 'bertarung' di DPR, sejumlah tenaga kesehatan juga melakukan unjuk rasa penolakan pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang. Mereka juga sempat mengancam akan melakukan mogok nasional jika RUU Kesehatan disahkan.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo menaruh harapan RUU Kesehatan yang disahkan DPR akan menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan Indonesia.
“Undang-Undang Kesehatan kita harapkan setelah dievaluasi dan dikoreksi di DPR, saya kira akan memperbaiki informasi di bidang pelayanan kesehatan kita," kata Jokowi usai peresmian Tol Cisumdawu, Jawa Barat, Selasa (11/7/2023).
Jokowi juga berharap, pengesahan RUU Kesehatan akan menyelesaikan masalah defisit tenaga kesehatan yang saat ini ada. “Kita harapkan kekurangan dokter bisa lebih dipercepat, kekurangan spesialis bisa dipercepat, saya kira arahnya ke sana," kata Jokowi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut, pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU akan memberikan sejumlah dampak bagi dunia medis. Misalnya, akan menyederhanakan perizinan praktik medis. Para dokter akan lebih mudah mendapat izin praktik di kota besar.
“Penyederhanaan proses perizinan melalui penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku seumur hidup tanpa menghilangkan fungsi penjagaan mutu dan kompetensi," kata Budi dalam konferensi pers usai pengesahan RUU Kesehatan.
Mantan Wakil Menteri BUMN ini juga mengatakan, UU Kesehatan meliputi upaya penegakan etika di lingkup organisasi profesi kesehatan melalui pelaksanaan sidang terbuka yang transparan dengan melibatkan Majelis Etik.
"Kita punya Majelis Etik, maka masukan ke sana secara transparan, dan dijalankan prosedur, dan mereka yang boleh membela diri," katanya.
Budi juga merespons soal rencana aksi para tenaga kesehatan untuk mogok nasional karena menolak RUU Kesehatan. Alumni ITB ini menyilakan kepada pihak yang mau berkomunikasi dengannya terkait RUU Kesehatan yang sudah disahkan DPR.
"Saya sangat menghargai perbedaan pendapat, tapi sampaikan dengan cara sehat, dan kapan pun saya terbuka bagi yang ingin berkomunikasi dengan saya," katanya.
Budi menambahkan, “Biarkan lah demokrasi itu terjadi dengan intelek, terbuka, tanpa emosi, kata kasar. Biarkan masyarakat yang lihat mana argumentasi yang benar.”
Sementara itu, Puan Maharani meminta para penolak RUU Kesehatan yang sudah diundangkan untuk menguji pengesahan undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
“Semua proses mekanisme yang ada sudah kami lakukan, kalau kemudian merasa kurang puas masih ada MK yang kemudian bisa menjadi salah satu tempat untuk bisa menampung aspirasi dan masukan secara konstitusional," kata Puan dalam konferensi pers usai rapat paripurna di Gedung DPR RI.
Selain menggugat ke MK, Puan juga membuka ruang agar para tenaga kesehatan mengadu ke Menteri Kesehatan Budi Gunadi. Ia beralasan, pemerintah akan segera mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut undang-undang tersebut.
Di sisi lain, Puan mengklaim, RUU Kesehatan sudah membuka ruang publik untuk proses pembahasannya. Pembicaraan pun dilakukan sejak beberapa bulan terakhir.
“Terkait dengan RUU Kesehatan, DPR melalui Komisi 9 dan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sudah membuka ruang seluas-luasnya kepada semua pihak yang kemudian mempunyai kepentingan, aspirasi dan sudah dimasukkan dalam pembahasan yang dilakukan secara simultan beberapa bulan lalu," terangnya.
DPR dan Pemerintah Disebut Tak Akomodir Aspirasi
Meski demikian, tenaga kesehatan tetap menyampaikan kekecewaan mereka setelah RUU Kesehatan disahkan. Salah satunya adalah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Mereka menilai DPR dan pemerintah tidak mendengar keluhan tenaga kesehatan.
“Sangat disesalkan DPR dan pemerintah tidak aspiratif,” kata Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Harif Fadhilla saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (11/7/2023).
Harif menilai, pengesahan RUU Kesehatan merugikan. Bagi para perawat, RUU Kesehatan mencabut UU Keperawatan yang sudah ada. Padahal, UU Keperawatan telah menjadi sumber utama pengaturan dunia keperawatan selama ini. Ia juga menilai ada mandatory spending (belanja pengeluaran negara yang diatur dalam undang-undang) 5 persen untuk dunia kesehatan dihapus lewat RUU Kesehatan.
Harif juga mengatakan perawat tidak akan diam setelah pengesahan undang-undang. Mereka akan mempelajari substansi undang-undang yang disahkan apakah sama dengan yang diterima para tenaga kesehatan. Harif membuka peluang untuk mengajukan judicial review (JR) ke MK.
“Tentu yang sangat rasional kita lakukan langkah hukum JR ke MK tentu setelah UU diberlakukan," kata Harif.
Selain itu, Harif memastikan bahwa rencana aksi mogok nasional akan dimatangkan setelah keputusan DPR dan pemerintah soal RUU Kesehatan. Mereka terus melakukan konsolidasi sebagai bentuk protes kepada pemerintah dan DPR, tetapi belum memastikan apakah opsi tersebut terealisasi atau tidak.
"Ya memang menjadi opsi yang disepakati oleh 5 organisasi profesi, pelaksanaannya secara kolektif 5 profesi dengan konsolidasi yang cermat tapi saat ini kami belum mengambil opsi tersebut, konsolidasi terus dilakukan," kata Harif.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), salah satu lembaga nirlaba yang fokus pada isu kesehatan, juga menyayangkan pengesahan RUU Kesehatan. Mereka menilai RUU Kesehatan tidak aspiratif.
“Pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang membuktikan pemerintah dan DPR RI mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti,” ungkap Founder dan CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih dalam keterangannya.
Mereka menyoroti sejumlah ketentuan yang bermasalah dalam RUU Kesehatan yakni penghapusan mandatory spending sektor kesehatan sebesar 10 persen dari APBN dan APBD, beberapa kebijakan yang belum inklusif gender dan kelompok rentan, belum dilembagakannya peran kader kesehatan, hingga belum dimasukkannya pasal pengaturan iklan, promosi, dan sponsorship tembakau dalam RUU Kesehatan.
Diah menilai indikasi penyusunan RUU Kesehatan dapat dilihat dari absennya informasi kepada publik mengenai naskah final rancangan yang sudah disahkan menjadi undang-undang. DPR tidak membuka naskah terbaru RUU Kesehatan usai rapat Komisi IX sepakat bersama pemerintah.
Selain itu, publik juga belum mendapatkan penjelasan terkait diterima atau tidaknya masukan dalam proses penyusunan rancangan undang-undang ini.
“Kami melihat proses yang tidak transparan dan inklusif dalam penyusunan RUU Kesehatan. Di sisi lain, proses konsultasi publik pun sangat singkat, minim, dan tertutup. Seluruh rangkaian proses tersebut menyulitkan seluruh masukan masyarakat sipil terefleksi dalam undang-undang ini,” kata Diah.
Diah menilai, aksi pemerintah melanggar Keputusan MK Nomor 91 tahun 2020 tentang partisipasi publik. Setidaknya ada 3 hak yang seharusnya diperhatikan yakni hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
“Platform yang dibuat oleh pemerintah dan DPR RI hanya bersifat satu arah dan sementara, tidak pernah ada platform menetap yang memungkinkan masyarakat sipil memantau masukan dan mendapatkan umpan balik dari masukan yang mereka berikan selama proses penyusunan RUU Kesehatan ini. Menurut kami, situasi ini mencederai prinsip partisipasi publik yang bermakna sesuai Putusan MK,” kata Diah.
Selain persoalan formil terkait dengan perumusan naskah RUU Kesehatan, CISDI juga mencatat masalah secara materiel. Pertama, RUU Kesehatan terbaru menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari APBN dan APBD. Padahal, masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10 persen pada 2021, dengan distribusi alokasi yang timpang.
“Realitas di lapangan memprihatinkan. Prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah karena dalih keterbatasan anggaran. Sektor kesehatan juga kerap tidak menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembangunan daerah. Hilangnya mandatory spending anggaran kesehatan membuat tidak ada jaminan atau komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah,” ujar Diah.
Kedua, RUU Kesehatan belum jelas menguatkan peran kader kesehatan lewat pemberian insentif upah dan non-upah dengan layak. RUU yang telah disahkan ini juga belum melembagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK), tepatnya tenaga pendukung atau penunjang kesehatan seperti yang direkomendasikan WHO.
Terakhir, komitmen pemerintah dan DPR masih belum tegas karena belum ada penegasan regulasi iklan, promosi, dan sponsorship tembakau. Tanpa regulasi yang jelas, anak-anak di Indonesia akan mudah terpapar dan terdorong untuk merokok. Tentunya ini akan berdampak besar baik secara jangka pendek maupun panjang.
Oleh karena itu, CISDI tidak hanya mengecam permasalahan penyusunan dan pengesahan RUU Kesehatan. Mereka juga mendesak Jokowi selaku presiden menerbitkan Perppu.
"Mendesak Presiden untuk meninjau dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan DPR RI," kata Diah.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz