Menuju konten utama

Menilik Akar Masalah Meningkatnya Ketimpangan Pengeluaran Warga

Melebarnya ketimpangan ini dipengaruhi oleh kualitas pendapatan pada kelompok menengah ke bawah dan penciptaan lapangan kerja.

Menilik Akar Masalah Meningkatnya Ketimpangan Pengeluaran Warga
Pedagang sayuran keliling melayani pembeli di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Selasa (13/7/2021). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj.

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan gini ratio pada Maret 2023 meningkat menjadi sebesar 0,388 poin. Angka ini menjadi tertinggi sejak September 2018. Saat itu angka ketimpangannya mencapai sebesar 0,384.

Peningkatan ketimpangan terjadi akibat gini ratio di perkotaan pada Maret 2023 tercatat sebesar 0,409. Hal ini menunjukkan terjadi kenaikan sebesar 0,007 poin dibanding September 2022 yang sebesar 0,402 dan kenaikan 0,006 poin dibanding kondisi Maret 2022 yang sebesar 0,403.

Sedangkan gini ratio di pedesaan pada Maret 2023 tercatat sebesar 0,313. Atau tidak berubah dibanding gini ratio September 2022 dan turun jika dibandingkan gini ratio Maret 2022 yang sebesar 0,314.

Secara nasional, sejak Maret 2017, angka gini ratio sebetulnya terus mengalami penurunan sampai dengan September 2019. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama periode tersebut terjadi perbaikan pemerataan pengeluaran penduduk di Indonesia.

Namun demikian, pada masa pandemi COVID-19, angka gini ratio mengalami kenaikan pada Maret 2020 dan September 2020. Setelah tahun 2020, angka gini ratio mengalami fluktuasi hingga meningkat kembali ke puncaknya mencapai 0,388 pada Maret 2023.

Sekretaris Utama BPS, Atqo Mardiyanto menjelaskan, tingkat ketimpangan terjadi pada Maret 2023 lebih disebabkan karena pengeluaran 20 persen kelompok ke atas. Sementara 40 persen menengah dan 40 persen ke bawah mengalami pengeluaran tetap.

"Dengan kata lain, kenaikan ketimpangan (gini ratio) disebabkan naiknya pengeluaran golongan atas," ujar Atqo dalam rilis BPS, di kantornya, Jakarta.

Selain gini ratio, ukuran ketimpangan lain yang sering digunakan adalah persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah atau yang dikenal dengan ukuran Bank Dunia. Berdasarkan ukuran ini, tingkat ketimpangan dibagi menjadi tiga kategori.

Pertama, tingkat ketimpangan tinggi jika persentase pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah angkanya di bawah 12 persen. Kedua, ketimpangan sedang jika angkanya berkisar antara 12–17 persen. Ketiga, ketimpangan rendah jika angkanya berada di atas 17 persen.

Pada Maret 2023, persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 18,04 persen, yang berarti ada pada kategori ketimpangan rendah. Kondisi ini menurun dibandingkan kondisi September 2022 yang sebesar 18,24 persen dan Maret 2022 yang sebesar 18,06 persen.

Jika dilihat berdasarkan daerah, pada Maret 2023 persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di perkotaan adalah sebesar 16,99 persen. Sementara itu, persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di pedesaan tercatat sebesar 21,18 persen.

Dengan demikian, menurut kriteria Bank Dunia, ketimpangan yang terjadi di perkotaan tergolong pada kategori ketimpangan sedang. Sementara ketimpangan di pedesaan tergolong pada kategori ketimpangan rendah.

Meningkatnya Jumlah Orang Kaya

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, ekonomi Indonesia makin timpang jika dilihat dari angka rasio gini yang dasarnya adalah pengeluaran. Belum dihitung lewat kekayaan atau aset, maka angka ketimpangannya makin lebar.

Menurut Bhima, akar masalah dari ketimpangan di Indonesia adalah banyak orang kaya selama pandemi bertambah kaya. Ini terjadi karena alokasi asetnya memberikan keuntungan berlipat ganda mulai dari investasi di sektor kesehatan, aset digital hingga memanfaatkan booming harga komoditas.

"Yang miskin ya harus gigit jari karena kehilangan pekerjaan, sampai menjadi korban pinjol ilegal," ujar dia kepada Tirto, Jumat (21/7/2023).

Dari laporan The Wealth Report yang dipublikasikan Knight Frank per 1 Maret 2022, jumlah orang kaya di Indonesia diprediksi akan naik 63 persen dalam lima tahun. Kenaikan tersebut akan membuat jumlah orang kaya di Indonesia melonjak menjadi 134.015 orang dari jumlah 2021 sebanyak 82.012.

Kategori orang kaya dimaksud disebut dalam istilah High Net Worth Individuals (HNWIs) dengan harta kekayaan lebih dari 1 juta dolar AS atau ekuivalen dengan Rp14,3 miliar. Harta kekayaan ini termasuk harta properti berupa rumah pribadi dan aset lainnya.

Data ini bukan proyeksi muluk, sebab berdasarkan data yang sama di wilayah Asia Pasifik pertumbuhan jumlah populasi UHNWIs di Indonesia pada 2021 naik sebesar 1 persen, meskipun masih berada dalam situasi pandemi dan pemulihan ekonomi berkala.

Lebih lanjut, Bhima melihat, akar masalah lain ketimpangan terjadi antar wilayah atau spasial. Menurutnya ini bermasalah dengan Jawa semakin kuasai 57 persen kue ekonomi nasional. Ini artinya, kata Bhima, kualitas ekonomi masih buruk.

"Tumbuh tapi tidak merata dan ini bisa jadi hambatan untuk mencapai status pendapatan per kapita sebagai negara maju," ujarnya.

ANGKA KEMISKINAN DI JAKARTA

Sejumlah warga beraktivitas di perkampungan padat penduduk tepi rel kereta api di Kampung Bandan, Jakarta, Jumat (14/10/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom.

Kualitas Penciptaan Lapangan Kerja Dipertanyakan

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet menilai, melebarnya ketimpangan penduduk Indonesia dipengaruhi oleh kualitas pendapatan pada kelompok menengah ke bawah dan juga penciptaan lapangan kerja. Kedua hal ini, menurutnya berkorelasi satu sama lain dalam mempengaruhi angka ketimpangan di Indonesia.

“Kalau kita lihat dari kualitas pekerjaan, masih banyak di antara para pekerja kita yang bekerja pada sektor informal," ujarnya kepada Tirto.

Sayangnya, lanjut dia, sektor informal ini tidak semua kemudian bisa menyediakan kualitas upah yang baik dan menjamin adanya asuransi kepada para pekerjanya. Sehingga ketika para pekerja katakanlah terkena suatu guncangan ekonomi, baik itu dalam bentuk bencana ataupun sedang sakit, maka mereka harus merogoh kocek dari sumber pendapatan mereka.

"Kita ketahui bersama juga tidak begitu atau tidak sebesar kalau kita bandingkan dengan para pekerja di sektor formal," ujarnya.

Sementara kondisi yang berkebalikan didapatkan oleh mereka yang terkategori sebagai kelompok pendapatan menengah ke atas. Menurut Yusuf, mereka pada umumnya bekerja pada sektor formal dan secara upah juga diberikan relatif lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa pekerja di sektor informal.

“Mereka juga mendapatkan beragam fasilitas asuransi dan ketika misalnya mereka terkena bencana ataupun sakit mereka kemudian bisa menggunakan fasilitas tersebut tanpa harus mengurangi komposisi dari pendapatan mereka," ujarnya.

Dari sisi kualitas pencipta lapangan kerja, kata Yusuf, pemerintah sendiri belum mampu mendorong terutama di sektor formal. Sehingga mereka yang kemudian belum bisa masuk ke sektor formal itu bekerja sementara di sektor informal.

"Ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan angkatan kerja yang membuka usaha sendiri dan dugaan saya mereka yang masuk ke kategori ini juga terklasifikasi sebagai mereka yang bekerja di sektor informal," katanya.

Di sisi lain, kelompok pendapatan atas selain pendapatan yang relatif lebih tinggi mereka juga punya komponen tabungan kemudian hasil dari investasi yang justru bisa mendorong peningkatan pendapatan mereka. Inilah yang kemudian menjadikan alasan kelompok pendapatan menengah atas mengalami pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok pendapatan menengah ke bawah.

Sedangkan mereka yang bekerja di sektor informal, kenaikan pendapatannya tidak setinggi dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor formal. Maka inilah yang kemudian menjelaskan kenapa angka kemiskinan mengalami penurunan tetapi angka ketimpangan mengalami peningkatan.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda melihat, ada hal lain membuat Indonesia semakin miris. Salah satunya Indonesia sudah memasuki negara upper middle income. Artinya secara PDB per kapita meningkat cukup signifikan, tapi yang meningkat hanya golongan kaya dan super kaya.

"Yang golongan menengah ke bawah dan miskin tidak naik secara signifikan. Akhirnya gap konsumsi semakin menajam, ketimpangan meningkat," ujarnya kepada Tirto.

Salah satu alasannya, kata Huda, memang penciptaan lapangan kerja yang saat ini lebih banyak ke sektor informal dibandingkan sektor formal. Saat ini pekerja sektor informal meningkat lebih cepat dibandingkan sektor formal.

"Namun dengan karakteristik informal yang diupah lebih rendah menyebabkan masyarakat miskin tidak mampu mengejar masyarakat lebih mampu," ujarnya.

Lapangan Pekerja Belum Stabil

Dari sisi pengusaha, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang mengamini, bahwa tingkat ketimpangan yang melebar pada Maret 2023 akibat lapangan pekerjaan di Indonesia belum stabil. Hal ini karena sebagian UMKM dan para pelaku usaha lainnya baru saja bangkit dari pandemi COVID-19.

"Karena UMKM kita baru bangkit, pelaku usaha baru akan merekrut tenaga baru," katanya kepada Tirto.

Meski begitu, dia meyakini seiring dengan pemulihan ekonomi Indonesia, maka pendapatan masyarakat akan semakin meningkat. Di samping juga angka kemiskinan turun nantinya dan tenaga kerja akan tersedia.

"Kita harapkan nanti dari sisi pendapatan masyarakat juga akan meningkat," pungkas dia.

Di sisi lain, Anggota Komisi IX DPR, Netty Prasetiyani Aher justru mempertanyakan langkah pemerintah dalam menghadapi potensi hilangnya jutaan lapangan kerja beberapa tahun ke depan.

Berdasarkan World Economic Forum (WEF) dalam The Future of Jobs 2023 memprediksi 83 juta pekerjaan akan hilang pada 2027. Hal itu karena adanya digitalisasi hingga pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.

"Saat ini negara-negara lain sudah memikirkan dan mempersiapkan langkah untuk menghadapi ancaman tersebut. Bagaimana dengan kita? Semoga pemerintah Indonesia tidak anteng-anteng saja menghadapi realita tersebut," kata Netty dalam keterangan tertulis.

Mengutip laporan WEF, Netty mengatakan, penurunan pasar tenaga kerja akan lebih besar pada sektor rantai pasok dan transportasi, diikuti sektor media, hiburan, dan olahraga. Gangguan yang lebih kecil akan dialami oleh industri manufaktur, termasuk ritel dan grosir barang konsumer.

"Apakah sistem pendidikan kita sudah link and match dengan hadirnya lapangan pekerjaan baru tersebut yang diprediksi lebih terdigitalisasi? Jangan sampai kita sebagai negara berkembang ketinggalan dalam merespons perkembangan dunia tenaga kerja," katanya.

Netty juga meminta agar pemerintah memetakan ulang potensi lapangan kerja di luar negeri. Sebab salah satu kelebihan Indonesia adalah bonus demografi berupa surplus anak muda dan tenaga produktif.

"Bagaimana langkah pemerintah dalam mengoptimalkan tenaga kerja produktif tersebut untuk mengisi kebutuhan-pekerjaan di luar negeri. Tentunya kita ingin tenaga kerja terlatih dan terdidik yang siap dikirim ke luar negeri, bukan sebaliknya," kata dia.

Baca juga artikel terkait KETIMPANGAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz