tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada September 2024 tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 8,57 persen, menurun 0,4 persen terhadap catatan Maret 2024 yang sebesar 9,03 persen. Tidak hanya itu, tingkat kemiskinan September 2024 juga jauh lebih rendah dibanding periode Maret 2023 dan September 2022 yang masing-masing sebesar 9,36 persen dan 9,57 persen.
Jika ditarik ke belakang, tingkat kemiskinan September 2024 menjadi yang terendah sejak masa Orde Baru. BPS menaksir tingkat kemiskinan pada 1970 sekira 60 persen dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 70 juta orang.
“Kemiskinan September 2024 sebesar 8,57 persen. Ini menjadi capaian terendah di Indonesia sejak pertama kali angka kemiskinan diumumkan oleh BPS pada 1960,” ucap Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar, dalam Berita Resmi Statistik Januari 2025, Rabu (15/1/2025).
Sebelumnya, Indonesia pernah mencapai titik tingkat kemiskinan rendah, yakni pada September 2019 dengan capaian sebesar 9,22 persen. Namun, karena pukulan Pandemi COVID-19, persentase penduduk miskin kembali melonjak menjadi dua digit (10,14 persen)pada September 2020.
“Jadi, ini pertama kalinya kita menyentuh angka di depannya 8 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yang belum pernah sebelumnya,” sambung Amalia.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin pada September 2024 tercatat sebanyak 24,06 juta orang, lebih rendah dari periode Maret 2024 yang sebesar 25,22 juta orang. Pun, dibandingkan periode September 2019 yang sebanyak 24,78 juta orang.
“Kondisi ini [penurunan tingkat kemiskinan dan jumlah penduduk miskin] terjadi di daerah perkotaan maupun pedesaan,” kata dia.
Jika dirinci berdasarkan daerah, pada September 2024, tingkat penduduk miskin di perkotaan tercatat sebesar 6,66 persen dengan jumlah penduduk mencapai 11,05 juta orang. Sedangkan, tingkat penduduk miskin di pedesaan dilaporkan sebanyak 11,34 persen dengan jumlah penduduk miskin mencapai 13,01 juta orang.
Kendati demikian, pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak lantas bisa senang begitu saja dengan capaian itu. Pasalnya, disparitas kemiskinan di wilayah perkotaan dan pedesaan masih lebar. Selain itu, tingkat ketimpangan atau rasio gini September 2024 yang sebesar 0,381 juga lebih besar ketimbang rasio gini Maret 2024 yang berada di level 0,379.
Amalia menjabarkan bahwa ada tujuh provinsi dengan tingkat rasio gini di atas rata-rata nasional. Provinsi Jakarta tercatat punya tingkat ketimpangan paling tinggi, yakni di level 0,431. Sementara itu, 31 provinsi lainnya memiliki rasio gini di bawah rata-rata nasional. Daerah yang memiliki tingkat rasio gini paling rendah adalah Bangka Belitung (0,235).
“Nilai gini ratio berada di antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai gini ratio, berarti semakin tinggi ketimpangan,” jelas Amalia.
Selain rasio gini, ukuran ketimpangan lain yang sering digunakan adalah persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah atau yang dikenal dengan ukuran Bank Dunia.
Berdasarkan ukuran tersebut, pada September 2024, persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 18,41 persen. Kondisi ini meningkat 0,01 persen poin dibandingkan kondisi Maret 2024 yang sebesar 18,40 persen dan meningkat 0,37 persen poin dibanding kondisi Maret 2023 yang sebesar 18,04 persen.
Ketimpangan Masih Tinggi
Pakar Kebijakan Publik Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Baidul Hadi, menilai bahwa bagaimanapun penurunan tingkat kemiskinan itu patut diapresiasi. Namun, ia kemudian perlu diteliti lebih jauh, apakah penurunan itu bersifat berkelanjutan atau hanya sementara imbas kebijakan tertentu.
“Misal pemberian bantuan tunai besar-besaran menjelang Pemilu [2024],” kata Baidul kepada Tirto, Kamis (16/1/2025).
Disparitas perkotaan dan pedesaan yang masih tinggi, menurut Baidul, menunjukkan bahwa program pengentasan kemiskinan belum sepenuhnya menjangkau masyarakat desa secara efektif. Beberapa faktor, seperti akses infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan, pun masih menjadi tantangan di pedesaan.
Pun, tingginya ketimpangan antarwilayah memperlihatkan bahwa pendekatan pengentasan kemiskinan perlu disesuaikan dengan kebutuhan spesifik daerah. Terutama, di Indonesia bagian timur seperti Papua yang angka kemiskinan masih relatif tinggi.
Persentase penduduk miskin di wilayah Maluku dan Papua pada September 2024 diketahui sebesar 18,62 persen, tertinggi di antara enam pulau besar di Tanah Air. Kemudian, diikuti oleh Bali dan Nusa Tenggara yang tingkat kemiskinannya mencapai 12,15 persen, Sulawesi 9,12 persen, Sumatera 8,42 persen, Jawa 8,05 persen, dan terakhir Kalimantan 5,30 persen.
“Garis kemiskinan di sekitaran angka Rp595.242 per kapita per bulan menjadi ukuran minimalis. Angka ini tidak cukup mencerminkan kehidupan layak, terutama di wilayah perkotaan yang tinggi,” lanjut Baidul.
Belum lagi, rata-rata garis kemiskinan di perkotaan yang senilai Rp615.763 per kapita per bulan.
Kemudian, komposisi garis kemiskinan juga didominasi oleh garis kemiskinan makanan yang secara nasional sebesar Rp443.443 per kapita per bulan. Sementara itu, garis kemiskinan nonmakanan hanya senilai Rp151.809 per kapita per bulan.
Kondisi tersebut menunjukkan ketergantungan tinggi masyarakat miskin terhadap kebutuhan dasar pangan. Hal itu juga dapat mengindikasikan keterbatasan akses terhadap kebutuhan nonmakanan, termasuk pendidikan dan kesehatan.
“Penurunan kemiskinan ini hanya akan bersifat sementara tanpa adanya upaya mengatasi akar masalah kemiskinan, sehingga ada risiko angka kemiskinan kembali meningkat ketika program bantuan berkurang atau dihentikan,” nilai Baidul.
Sementara itu, Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Muhammad Anwar, menilai bahwa masih lebarnya ketimpangan antara penduduk miskin dan kaya mengindikasikan bahwa kekayaan atau pendapatan masih terkonsentrasi pada kelompok tertentu. Sementara itu, masyarakat di lapisan bawah tetap menghadapi tantangan besar untuk meningkatkan taraf hidup mereka secara signifikan.
“Kondisi ini memang dapat terjadi karena pengurangan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan adalah dua hal yang berbeda dan tidak selalu berjalan beriringan,” ujar Muhammad kepada Tirto, Kamis (16/1/2025).
Dalam upaya pengentasan kemiskinan, utamanya angka kemiskinan absolut, pemerintah sudah terlalu sering melakukan program-program bantuan langsung atau subsidi. Langkah ini, kata muhammad, memang efektif untuk membantu masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan dasar. Namun, program tersebut tidak cukup untuk mengatasi akar masalah ketimpangan, seperti akses terhadap pendidikan, pekerjaan berkualitas, atau layanan kesehatan yang tidak merata.
BPS dalam laporan Indikator Kesejahteraan Rakyat 2024 merangkum bahwa angka putus sekolah di Tahun Ajaran 2023/2024 tercatat mengalami peningkatan di hampir seluruh jenjang pendidikan dibandingkan tahun ajaran sebelumnya, kecuali untuk tingkat SMA.
Jika dirinci, tingkat putus sekolah untuk jenjang SD mencapai 0,19 persen, SMP 0,18 persen, dan SMK 0,28 persen. Sementara itu, tingkat putus sekolah SMA mencapai 0,19 persen, turun ketimbang Thun Ajaran 2022/2023 yang sebanyak 0,20 persen.
Pada Agustus 2024, meski jumlah penduduk yang bekerja naik menjadi 144,64 juta orang, tapi tingkat pengangguran terbuka (TPT) masih sebesar 4,91 persen. Dari total penduduk yang bekerja tersebut, 83,83 juta orang atau 57,95 persen di antaranya bekerja pada sektor informal.
Padahal, struktur ekonomi yang bergantung pada sektor informal, upah rendah, dan kurangnya investasi dalam pengembangan sumber daya manusia di kalangan masyarakat bawah membuat pertumbuhan ekonomi nasional tidak inklusif.
“Ketimpangan yang tinggi juga bisa menjadi indikator pertumbuhan ekonomi tidak inklusif. Sebagian besar manfaat dari pertumbuhan ekonomi mungkin lebih dinikmati oleh kelompok atas, sementara masyarakat miskin hanya mendapatkan porsi kecil,” jelas Muhammad.
Secara absolut, angka kemiskinan memang mengalami penurunan. Namun, pemerintah tak bisa hanya melihat kemiskinan sebagai nominal saja. Pasalnya, kemiskinan juga terkait dengan kualitas hidup yang mereka alami.
“Mereka mungkin sudah tidak lagi berada di bawah garis kemiskinan menurut standar BPS, tetapi masih sangat rentan terhadap gejolak ekonomi, seperti inflasi atau perubahan harga barang kebutuhan pokok,” tambahnya.
Menurut Muhammad, penurunan tingkat kemiskinan yang sesungguhnya hanya bisa tercapai jika ada upaya untuk mengatasi akar masalah ketimpangan sosial, seperti tidak meratanya akses terhadap pendidikan berkualitas, lapangan kerja yang layak, dan peluang ekonomi untuk seluruh lapisan masyarakat.
Kebijakan yang berfokus pada pengentasan kemiskinan harus mengarah pada pembangunan ekonomi yang lebih inklusif. Kebijakan tersebut harus memastikan semua kelompok masyarakat, terutama yang paling rentan, mendapatkan manfaat yang adil dari pertumbuhan ekonomi.
“Ini termasuk pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat miskin, terutama dengan menciptakan peluang kerja yang lebih baik, peningkatan keterampilan melalui pendidikan dan pelatihan, serta memperbaiki akses terhadap modal bagi usaha kecil dan menengah yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan,” tegasnya.
Mengatasi Masalah Kemiskinan secara Permanen
Untuk memastikan kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem, dapat berkurang secara signifikan dan berkelanjutan, pemerintah perlu menggunakan pendekatan yang menyeluruh dan terintegrasi. Setidaknya ada empat langkah kunci yang perlu diambil untuk mengatasi akar masalah kemiskinan dan memastikan penurunan yang lebih permanen.
Pertama, dengan mereformasi sistem ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas. Menurut Muhammad Anwar dari Ideas, penciptaan lapangan kerja yang luas merupakan langkah efektif untuk menekan angka kemiskinan secara berkelanjutan.
Namun, pemerintah juga perlu memperhatikan bahwa mengurangi pengangguran saja tak cukup. Pemerintah juga harus memastikan lapangan pekerjaan yang tersedia berkualitas dalam artian mampu memberikan upah layak dan kondisi kerja baik.
“Kedua, pemberdayaan sumber daya manusia melalui pendidikan dan keterampilan pendidikan adalah kunci untuk mengentaskan kemiskinan. Sistem pendidikan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memastikan akses yang merata, terutama di daerah-daerah terpencil atau miskin,” kata Muhammad.
Program-program pendidikan yang mendukung keterampilan praktis, terutama yang relevan dengan dunia kerja dan teknologi akan membantu menciptakan tenaga kerja yang lebih produktif dan mampu bersaing di pasar global.
Selain itu, program pelatihan keterampilan bagi mereka yang sudah dewasa dan yang terjebak dalam kemiskinan ekstrem akan memberikan mereka alat untuk meningkatkan penghasilan dan mobilitas sosial.
Ketiga, penguatan sistem perlindungan sosial dan jaminan kesejahteraan yang efektif sangat penting untuk mencegah kemiskinan ekstrem, terutama saat terjadi guncangan ekonomi atau bencana alam. Selain itu, jaminan kesehatan yang inklusif dan pendidikan yang terjangkau harus menjadi bagian dari sistem perlindungan sosial.
“Dengan memastikan bahwa masyarakat miskin memiliki akses yang memadai ke layanan kesehatan dan pendidikan, kita mencegah mereka terjebak dalam siklus kemiskinan jangka panjang. Masyarakat yang sehat dan terdidik memiliki peluang yang lebih besar untuk keluar dari kemiskinan,” tegas Muhammad.
Keempat, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga sosial untuk mengatasi kemiskinan.
“Perusahaan-perusahaan besar dapat memainkan peran dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan berinvestasi dalam komunitas lokal. Lembaga sosial dan komunitas juga dapat memberikan dukungan langsung kepada mereka yang membutuhkan, seperti program pemberdayaan wanita, anak, dan kelompok marjinal lainnya,” kata Muhammad.
Sementara itu, Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin), Budiman Sudjatmiko, lembaganya menggunakan pendekatan ke sembilan sektor ekonomi dalam mempercepat pengentasan kemiskinan.
Sembilan sektor itu adalah pangan, hunian, perumahan, energi terbarukan, transportasi, pendidikan, kesehatan, industri kreatif, dan industri digital.
Budiman percaya, melalui pendekatan tersebut, peluang ekonomi bagi masyarakat juga akan semakin terbuka lebar. Terutama, agar masyarakat miskin dapat lebih mudah berwirausaha.
“Sembilan sektor ini menjadi ekosistem kewirausahaan baru, di mana masyarakat miskin dapat berperan sebagai wirausaha,” kata Budiman, dikutip Antara, Kamis (16/1/2025).
Meski begitu, bagi yang tidak berminat berwirausaha, akan diarahkan untuk menjadi di sektor industri yang tersedia. Sedangkan, bagi yang berminat berwirausaha tapi belum mampu, akan diberikan pelatihan.
“Kalau ada kemauan, tinggal diberikan pelatihan,” sambungnya.
Selain itu, kini BP Taskin juga sedang menyusun rencana induk percepatan pengentasan kemiskinan. Pembahasan itu akan dilanjutkan pada Februari 2024 sambil menunggu RPJMN untuk membahas pendekatan pembangunan ekosistem dari, oleh, dan untuk masyarakat miskin.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi