Menuju konten utama

Menyoal Ide Ara soal Orang Tak Punya Rumah Masuk Kategori Miskin

Klasifikasi kemiskinan berdasarkan kepemilikan hunian seperti usulan Maruarar dinilai tidak tepat. Mengapa?

Menyoal Ide Ara soal Orang Tak Punya Rumah Masuk Kategori Miskin
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (kanan) dan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah memberikan keterangan kepada wartawan usai melakukan pertemuan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (5/11/2024). ANTARA FOTO/Reno Esnir/wpa/nym.

tirto.id - Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, mengusulkan, penduduk yang belum memiliki rumah pertama agar masuk dalam kategori miskin. Sebaliknya, dia justru heran bagaimana bisa sampai saat ini pemerintah menyebut masyarakat sudah tidak miskin, padahal belum memiliki rumah pribadi.

“Saya pikir sangat pantas kita masukkan juga kalau orang belum punya rumah, rumah pertama masuk kategori miskin. Bagaimana dia dianggap sudah tidak miskin, sementara dia belum punya rumah?” kata pria yang akrab dengan sapaan Ara itu dalam acara Rakornas Keuangan Daerah Kemendagri, dikutip dari akun Youtube Kemendagri, Kamis (19/12/2024).

Selain itu, seharusnya masyarakat miskin juga digolongkan dari batas kalori harian tertentu, selayaknya yang telah ditetapkan dalam indikator kriteria penduduk miskin berdasar Bank Dunia (World Bank). Sebagai informasi, menurut standar global, ambang batas kemiskinan pangan adalah 2.11 kkal per orang dewasa per hari.

“Saya baru ketemu beberapa hari lalu dengan World Bank. Kalau World Bank itu ya, sekian ribu kalori saja, orang sudah tidak miskin lagi,” imbuh dia.

Dengan usulan itu, Ara mengajak Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mendata masyarakat yang membutuhkan rumah dan menentukan kriteria masyarakat yang bisa mendapat bantuan rumah dari pemerintah.

Selain untuk mewujudkan data tunggal (single data) perumahan, kolaborasi ini juga diharapkan dapat memperluas kesempatan masyarakat untuk memiliki hunian pribadi.

“Saya dua bulan jadi menteri, Pak. Kita belum punya sistem data yang cukup. Kalau ada yang tanya sama saya hari ini, apakah dari Pak Bappenas (Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy), Bapak Menteri yang saya hormati, apakah kita punya data rakyat yang membutuhkan rumah sesuai kriteria? Enggak ada, Pak,” lapornya, kepada Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian.

Pada kesempatan itu, Ara juga mengusulkan untuk menjual murah rumah hasil sitaan koruptor kepada masyarakat berpendapatan rendah (MBR). Menurut dia, sudah seharusnya sebagai pejabat negara atau pemerintah untuk menaruh keberpihakannya kepada rakyat kecil demi kesejahteraan masyarakat.

“Mempermudah, mempercepat, mempermurah, kalau bisa membuat gratis. Tentu itulah dalam pikiran kita, bukan untuk mempersulit rakyat, mempermahal, dan mempersusah,” kata politikus Partai Gerindra tersebut.

Mereduksi Pemahaman soal Kemiskinan

Social Policy Officer The Prakarsa, Darmawan Prasetya, mengatakan, sebelumnya lembaganya pernah memasukkan perumahan ke dalam kategori kemiskinan multidimensi. Namun, yang dilihat adalah pada kelengkapan dan keluasan rumahnya, bukan dari kepemilikan rumah pribadi pertama seperti yang diusulkan Ara.

Soal luasan ruangan rumah yang dibagi dengan jumlah penghuni di dalam hunian tersebut, The Prakarsa mengusulkan luas rumah di bawah 7,2 meter persegi per orang ke dalam kategori miskin. Luas rumah tersebut lebih kecil dibanding standar SDG’s yang seluas 8 meter persegi per orang.

“Hanya saja dari hasil penelitian kami mengungkap banyak sekali. Bahkan di beberapa wilayah 90 persen bahkan masyarakat itu rumahnya terlalu sempit dan tidak cukup ruangnya untuk melakukan aktivitas MCK (makan, cuci dan kakus), tempat tidur, atau ruang tamu,” ujar dia, Darmawan, kepada Tirto, Jumat (20/12/2024).

Persoalan over crowdedness alias terlalu padat yang kemudian membuat orang yang tinggal di dalam rumah mengalami deprivasi --tidak memiliki ruang yang cukup untuk tinggal-- menjadi cerminan tak terselesaikannya masalah perumahan sampai ke pelosok daerah. Masalah ini semakin pelik ketika dalam rancangan pembangunan daerah, isu perumahan minim mendapatkan dukungan baik dari anggaran maupun dari kategori program.

“Nah, kami dari Prakarsa melihat isu perumahan lebih kepada isu fasilitas, aksesibilitas dan kualitas yang banyak. Kalau kepemilikan, kami tidak bisa memasukkan karena memang ketika ini nanti diterjemahkan dalam satu bahasa kebijakan publik, mungkin akan susah sekali,” kata dia.

Sebagai contoh, dalam kasus dugaan korupsi impor gula kristal mentah yang melibatkan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, ditemukan fakta bahwa mantan menteri perdagangan itu tidak memiliki rumah pribadi. Namun, kepada negara, dia melaporkan memiliki harta lebih dari Rp100 miliar. Alasannya sederhana, dengan tidak memiliki rumah, memudahkan dirinya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

“Ini kan dilematis ya karena kepemilikan itu bisa dalam kategori aset maupun dalam kategori ditinggali,” kata dia.

Selain itu, menggolongkan orang yang tak punya rumah dalam kelompok miskin juga berpotensi mereduksi pemahaman soal kemiskinan. Sebab, sejatinya kemiskinan tidak bisa hanya ditentukan oleh kepemilikan aset fisik seperti rumah saja.

Lebih penting dari itu, untuk menentukan seseorang masuk dalam kategori miskin atau tidak, harus didasarkan pula terhadap akses kebutuhan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, hingga akses pekerjaan layak.

“Usulan ini berpotensi menyederhanakan masalah kemiskinan hanya sebatas properti,” kata Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Baidul Hadi, saat dihubungi Tirto, Jumat (20/12/2024).

Sebaliknya, klasifikasi kemiskinan berdasarkan kepemilikan hunian juga berpotensi memunculkan stigma buruk pada kelompok masyarakat yang tidak punya rumah sebagai orang-orang yang hidup dalam kemiskinan absolut. Padahal, mirip dengan kasus Tom Lembong, banyak pula masyarakat urban yang lebih memilih sewa rumah imbas tingginya harga rumah di pusat-pusat kota. Kendati, orang-orang tersebut masih bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang lain dari pendapatan yang mereka dapat.

“Klasifikasi ini juga akan berdampak pada program-program pengentasan kemiskinan. Masyarakat yang sebenarnya tidak miskin, dalam arti multidimensi akan mendapat bantuan yang tidak sesuai. Dan menggunakan kepemilikan rumah sebagai indikator kemiskinan dapat mendistorsi data statistik kemiskinan,” jelas Hadi.

Pemerintah Mengacu Data BPS

Meski mengaku telah menyampaikan usulannya kepada Presiden Prabowo Subianto, namun tak sedikit pejabat negara yang tak sejalan dengan pikiran Ara ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, misalnya, yang menegaskan bahwa klasifikasi masyarakat miskin didasarkan pada statistik yang ditentukan oleh BPS.

“(Penentuan penduduk miskin) kita berbasis statistik,” kata Airlangga singkat kepada awak media, Jumat (20/12/2024).

Statistik yang dimaksud Airlangga, menurut Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, adalah data yang telah dirilis BPS dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach) dan sudah dilakukan sejak 1998. Kemudian, dua pendekatan tersebut disesuaikan dengan garis kemiskinan (GK). Adapun, kebutuhan dasar dikelompokkan menjadi dua: kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.

“Konsep kemiskinan BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach). Kemiskinan sama dengan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan (makanan dan bukan makanan),” kata dia, melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, Jumat (20/12/2024).

Berdasarkan itu, BPS mencatat, jumlah penduduk miskin pada 2019 tercatat sebanyak 25,14 juta jiwa atau sebanyak 9,41 persen. Jumlah ini mengalami penaikan pada 2021 menjadi 27,54 juta jiwa atau 10,14 persen. Namun turun di tahun berikutnya menjadi 26,16 juta jiwa atau 9,54 persen dan 25,22 juta jiwa atau 9,03 persen pada Maret 2024.

Sementara itu, Garis Kemiskinan pada Maret 2024 tercatat sebesar Rp825.288 per kapita per bulan, dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp571.647 per kapita per bulan dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp253.641 per kapita per bulan.

Sedang pada Maret 2019, angka garis kemiskinan tercatat Rp425.250 per kapita per bulan, dengan komposisi garis kemiskinan makanan mendominasi sebesar Rp323.232 per kapita per bulan dan garis kemiskinan bukan makanan hanya Rp112.018 per kapita per bulan.

“Untuk kepemilikan rumah, Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) juga menanyakan atau mendata kepemilikan rumah: kontrak, sewa, milik sendiri dan seterusnya,” imbuh dia.

Perlu diketahui, Susenas yang dirilis BPS tiap tahun memiliki fungsi untuk menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Ini sekaligus juga sebagai tolok ukur kondisi sosial ekonomi rumah tangga serta diharapkan dapat dijadikan pemerintah untuk melakukan perencanaan, monitoring, dan evaluasi program pembangunan nasional.

Kepemilikan Rumah Tak Bisa Jadi Standar Kemiskinan

Di sisi lain, Baidul Hadi mengatakan, rumah memang menjadi hak dasar masyarakat yang seharusnya dijamin oleh negara. Meski begitu, jika dijadikan sebagai dasar penentuan kemiskinan, kata dia, maka seharusnya pejabat negara bisa lebih berempati terhadap kondisi masyarakat.

“Dalam mengeluarkan pernyataan lebih hati-hati, agar tidak memunculkan polemik di masyarakat. Sementara kita semua paham, bahwa rumah adalah hak dasar yang harus dijamin oleh negara,” kata dia.

Sementara itu, Darmawan Prasetya menilai, kepemilikan rumah dapat digunakan sebagai penggolongan masyarakat ke dalam kelompok miskin hanya bila Indonesia sudah memiliki peraturan tentang batas kepemilikan aset. Namun, sebelum itu terjadi, kepemilikan rumah sebagai standar kemiskinan justru mengundang perdebatan, baik untuk pemerintah mengambil kebijakan maupun di kalangan masyarakat sendiri.

“Ini juga akan menyulitkan dari mengambil kebijakan karena akan banyak perdebatan. Kenapa orang lapar itu bisa menjadi miskin tetapi orang tidak punya rumah itu tidak bisa dikategorikan miskin?” kata peneliti The Prakarsa ini.

Alih-alih menjadikan kepemilikan rumah sebagai standar kemiskinan, pemerintah --baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah-- harus dapat menyediakan alokasi anggaran yang cukup untuk mengentaskan masalah perumahan. Selain itu, perbaikan kualitas dan fasilitas rumah rakyat juga tak boleh luput untuk dilakukan.

“Kami merekomendasikan pemerintah harusnya lebih fokus pada fasilitas, kualitas, maupun lingkungan dari suatu rumah tersebut. Jadi, kalau nanti harapan yang pemerintah ingin menyediakan rumah. Tidak dalam bentuk membuat seseorang (yang tidak punya rumah) masuk dalam kategori miskin, tetapi memang rumahnya tidak layak,” tegas Darmawan.

Baca juga artikel terkait KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz