Menuju konten utama

Daripada Maafkan Koruptor, Kenapa Tak Pilih RUU Perampasan Aset?

ICW menilai akan jauh lebih baik bila Prabowo berfokus mendorong percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR.

Daripada Maafkan Koruptor, Kenapa Tak Pilih RUU Perampasan Aset?
Presiden Prabowo Subianto saat memberikan keterangan pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa (17/12/2024). Tirto.id/Muhammad Naufal

tirto.id - Arah pemberantasan korupsi di negeri ini diperkirakan bakal menemui jalan yang terjal. Hal ini menyusul ucapan Presiden Prabowo Subianto yang hendak memaafkan para koruptor. Ia memandang akan memaafkan aksi jahat koruptor bila mereka mengembalikan uang negara yang sudah dicolong.

Sontak, pernyataan Prabowo tersebut menuai kritik. Sebab, berfokus pada pengembalian kerugian negara tanpa melakukan hukuman yang setimpal pada maling berkerah ini dinilai bentuk kemunduran pemberantasan korupsi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tibiko Zabar, menyatakan, akan jauh lebih baik jika Prabowo berfokus mendorong percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR. Hal ini akan sejalan dengan poin yang tertuang dalam dokumen Asta Cita Prabowo-Gibran soal komitmen memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi.

Alih-alih memaafkan koruptor, mendorong RUU Perampasan Aset memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi. Langkah konkret yang bisa dilakukan Prabowo adalah segera mengirimkan Surat Presiden (Surpres) untuk mengajukan RUU Perampasan Aset sebagai prioritas utama untuk dibahas di DPR.

“Ketika RUU ini disahkan juga dapat memulihkan aset negara untuk kemudian dimanfaatkan dalam mendukung percepatan sejumlah program prioritas pemerintah,” kata Tibiko kepada reporter Tirto, Jumat (20/12/2024).

Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai, pernyataan Prabowo yang ingin memaafkan koruptor jika mengembalikan kerugian negara adalah bentuk gimik belaka. Sebab, kata pria yang karib disapa Castro itu, kalau memang Prabowo serius berada di barisan paling depan pemberatasan korupsi, maka seharusnya dimulai dari kabinet atau orang-orang di sekelilingnya.

Faktanya, bahkan di dalam komposisi kabinet orang-orang pemerintahan Prabowo masih banyak orang-orang bermasalah yang pernah tersangkut dengan perkara korupsi. Terlebih cukup banyak pejabat kabinet di sekeliling Prabowo yang tidak patuh terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN.

“Jadi kalau di dalam sekitar atau sekeliling Prabowo saja tidak serius, dibenahi, ya menurut saya pernyataan itu sekedar pernyataan yang tidak lebih dari gimik,” kata Castro kepada reporter Tirto, Jumat.

Selain itu, pernyataan Prabowo yang hendak mengampuni para koruptor sepanjang dapat bertobat dan mengembalikan kerugian keuangan negara, adalah pernyataan yang keliru secara regulasi. Castro menyatakan, Undang-Undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999 dalam ketentuan Pasal 4 menegaskan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus tindak pidana pelaku korupsi.

Maka, Castro menilai, ucapan Prabowo mencerminkan bahwa ia sendiri gagal paham aturan pemberantasan korupsi. Mengampuni koruptor hanya karena mereka bisa mengembalikan kerugian negara tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan.

Pembelaan Yusril soal Pernyataan Prabowo

Kendati begitu, Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, membela Prabowo. Yusril menyatakan, ucapan Prabowo sudah sesuai dengan rencana strategi pemberantasan rasuah dengan menekankan pemulihan kerugian negara (asset recovery). Menurut Yusril, ide itu sejalan dengan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi UU Nomor 7 Tahun 2006.

Ia menyebut setahun sejak ratifikasi, Indonesia seharusnya berkewajiban menyesuaikan UU Tipikor dengan konvensi tersebut. Namun, Indonesia dinilai terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang akan melakukannya.

“Penekanan upaya pemberantasan korupsi sesuai pengaturan konvensi adalah pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif dan pemulihan kerugian negara (asset recovery)," kata Yusril, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/12/2024).

Yusril juga menyinggung pernyataan Prabowo, menjadi gambaran atas perubahan filosofi penghukuman dalam penerapan KUHP Nasional yang akan diberlakukan awal 2026. Bagi Yusril, penghukuman bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, tetapi pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.

Ia mengatakan, penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi harus membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi bangsa dan negara, bukan cuma menghukum para pelakunya. Rencana ini bagian dari pemberian amnesti dan abolisi bagi 44.000 narapidana. Namun khusus para koruptor, akan ada syarat pengembalian kerugian negara yang masih didiskusikan mekanismenya.

“Presiden mempunyai beberapa kewenangan terkait dengan apa yang beliau ucapkan di Mesir, terkait penanganan kasus-kasus korupsi, yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara," jelas Yusril.

Yusril Ihza Mahendra

Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra memberikan keteranga pers usai menjadi narasumber dalam Seminar Inisiasi Perubahan Ke-2 UU Tipikor Atas Rekomendasi UNCAC di Gedung C1 KPK, Jakarta Selatan, Selasa (10/12/2024). tirto.id/Auliya Umayna

Kabur Komitmen Memberantas Korupsi

Menanggapi penjelasan Yusril, Castro memandang, langkah pemerintah sama saja dengan strategi untuk pengampunan koruptor berkedok amnesti. Rezim pemerintahan saat ini dinilai semakin memperlihatkan wajah aslinya yang hendak memberikan perlakuan istimewa bagi para koruptor.

“Teman-temannya koruptor, dan yang akan jadi koruptor di kemudian hari. Ini kemunduran luar biasa dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” tegas Castro.

Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, melihat, pernyataan Menko Yusril soal pemaafan koruptor dengan syarat pengembalian uang negara sebagai amnesti dan abolisi, adalah upaya untuk menjustifikasi keringanan hukuman bagi koruptor. Bahkan, memaafkan koruptor bisa saja menggunakan dalih optimalisasi pemulihan aset hasil korupsi.

Lakso menjelaskan, pemulihan aset negara dan penghukuman adalah dua rel yang berjalan bersamaan dan tidak saling menegasikan. Memang ada satu konsep mirip yang digunakan mempercepat penanganan perkara, tetapi khusus untuk pelaku korupsi korporasi dan bukan manusia (natural person). Karena memang korporasi tidak dihukum fisik.

“Silakan ditelaah regulasi di seluruh dunia apakah ada upaya penghapusan pidana ketika adanya pemulihan aset? Jawabannya tidak ada,” ucap Lasko kepada reporter Tirto.

Penggunaan mekanisme deferred prosecution agreement pada korupsi korporasi dilakukan untuk memastikan perkara korupsi dapat dikenakan kewajiban pembayaran dengan waktu cepat. Adapun jajaran pelaku dari para direksi korporasi dan pejabat publik, tetap dihukum sebagaimana mestinya.

Jangan sampai, kata Lakso, usulan pemerintah tersebut adalah upaya ‘penumpang gelap’ untuk menjustifikasi keringanan hukuman dan bahkan pemaafan dengan alasan optimalisasi pemulihan aset. Konvensi UNCAC sendiri harus dilihat secara utuh. Jangan mencampur adukan antara pemaknaan parsial UNCAC dengan inisiatif dan kepentingan segelintir elite dalam menggolkan visi meringankan dan bahkan menihilkan hukuman bagi koruptor.

Justru UNCAC sendiri mendorong pendekatan yang lebih radikal. Sebagai contoh, Pasal 20 UNCAC mendorong ketentuan illicit enrichment yang dapat merampas harta kekayaan tidak wajar.

“Apabila bicara UNCAC, beranikah Menko Yusril mendorong penerapan pendekatan ini di Indonesia,” terang Lakso.

Sementara itu, Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, memandang ucapan Prabowo dan rencana Yusril sebagai wacana yang berbahaya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Amnesti bakal melemahkan supremasi hukum dan memprioritaskan kepentingan koruptor. Pernyataan Prabowo dinilai serampangan karena sistem hukum kita tidak mengenal amnesti bagi koruptor atau pelaku kejahatan ekonomi.

Di berbagai negara dengan skor CPI [Indeks Persepsi Korupsi] yang tinggi, justru di samping memaksimalkan hukuman pidana, langkah perampasan aset juga tetap diatur ketat. Ide ini justru akan semakin menggerus kepercayaan publik dan investor karena tak ada kepastian hukum. Di sisi lain, pengampunan koruptor rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik.

“Di negara dengan tingkat korupsi yang parah seperti Indonesia, sangat mungkin justru lingkaran elite politik juga terlibat dalam praktik korupsi itu sendiri. Artinya jika definisi dan bentuk amnesti yang akan diatur tidak jelas, justru akan menciptakan preseden buruk,” ujar Alvin kepada reporter Tirto, Jumat.

Di sisi lain, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menerangkan maksud pernyataan Presiden Prabowo memaafkan koruptor yang bisa mengembalikan uang korupsi sebetulnya berkaitan dengan optimalisasi pemulihan aset. Sebab, korupsi seharusnya bermuara pada pengembalian kerugian negara.

Politikus Partai Gerindra ini menilai, pemulihan aset sejumlah kasus korupsi di Indonesia mulai dipertanyakan publik saat masuk ke persidangan karena jumlahnya tidak relevan saat proses penyidikan awal.

Menurutnya, Prabowo menyampaikan ide tersebut dengan gayanya yang pop atau kasual. Habiburokhman mengeklaim pernyataan Prabowo tidak dalam konteks bakal membebaskan pelaku tindak pidana korupsi.

“Jangan dipelintir, jangan di-framing dengan jahat, bahwa Pak Prabowo akan membebaskan koruptor, enggak mungkin lah," ucap rekan satu parpol dengan Prabowo itu, di DPR, Kamis (19/12/2024).

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz