tirto.id - Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, berubah mencekam usai petugas keamanan PT Makmur Elok Graha (MEG) mendatangi warga yang berjaga di posko kampung. Kejadian ini terjadi, Rabu (18/12/2024) dini hari, usai warga berhasil menangkap petugas keamanan PT MEG yang diduga merusak spanduk penolakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-city.
Petugas keamanan PT MEG berjumlah puluhan orang, datang menumpang mobil dan truk. Mereka diduga langsung menyerang warga dengan senjata tajam dan benda tumpul. Aksi premanisme ini melukai sedikitnya delapan orang warga Pulau Rempang. Menurut pantauan WALHI, warga yang terluka apabila dirinci: ada empat orang mendapat luka sobek di bagian kepala; satu orang luka berat; satu terkena panah; satu warga mengalami patah tangan; dan satu warga luka ringan.
Data sementara yang berhasil dihimpun, terdapat beberapa posko milik warga yang dirusak. Meliputi Posko Kampung Sembulang Hulu dan Kampung Sei Buluh, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang. Selain itu, belasan kendaraan bermotor milik warga juga ikut dirusak.
Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat dari Eksekutif Nasional WALHI, Ferry Widodo, menyatakan, pihaknya mengecam keras premanisme yang dilakukan aktor non-negara serta sikap pasif aparat penegak hukum –yakni kepolisian– dalam melindungi hak warga. Aksi koboi petugas keamanan PT MEG, kata dia, telah menyebabkan penderitaan fisik dan psikis bagi Masyarakat Adat Tempatan di Pulau Rempang-Galang.
“Kami mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh yang melibatkan partisipasi publik terkait aktivitas PT MEG di wilayah tersebut,” kata Ferry kepada reporter Tirto, Kamis (19/12/2024).
Ferry menegaskan, kekerasan yang terjadi pada Masyarakat Adat Tempatan di Pulau Rempang-Galang adalah kejahatan yang berulang karena absennya penindakan terhadap para pelaku. Selain itu, konflik agraria di Pulau Rempang terus memanas akibat sikap diam pemerintah dan DPR.
Pembiaran ini mencerminkan keberpihakan yang lebih condong terhadap PT MEG, alih-alih memenuhi hak hidup warga Pulau Rempang. Ferry menilai, pemerintah abai bahkan tidak terlihat niat dalam melindungi hak-hak Masyarakat Adat Tempatan terkait tanah dan identitas ulayat mereka.
“Dalam menghadapi situasi ini, Presiden Prabowo Subianto harus segera menginstruksikan Kepala Kepolisian RI untuk mengusut secara menyeluruh tindakan penyerangan yang terjadi, baik terhadap pelaku di lapangan maupun aktor intelektual di baliknya,” ucap Ferry.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan, kasus dugaan penyerangan warga Pulau Rempang adalah cara yang terus dilakukan untuk menggusur masyarakat demi kepentingan PSN Rempang Eco-city. Menurut catatan KPA, kasus pada Rabu dini hari lalu, menambah catatan buruk tindakan PT MEG terhadap warga Pulau Rempang yang menolak tanah ulayat mereka dirampas untuk pembangunan PSN.
KPA mencatat, selama kurun waktu 2023 hingga Desember 2024, setidaknya terjadi delapan kasus intimidasi, kekerasan serta upaya perampasan tanah warga Pulau Rempang. Dari kasus-kasus itu, sedikitnya 44 orang mengalami kriminalisasi, 51 tindak kekerasan dan satu warga tertembak peluru karet. Menurut Dewi, kekerasan dan upaya penggusuran yang sudah memakan banyak korban ini seharusnya tidak terjadi jika pemerintah menghentikan pembangunan PSN Rempang Eco-city.
“Sejak awal warga sudah menolak pembangunan ini, dan tindakan tersebut telah melahirkan protes dari berbagai pihak. Sebab, rencana pembangunan kawasan industri, perdagangan dan pariwisata tersebut mencaplok seluas 7.572 hektar tanah dari masyarakat Rempang,” kata Dewi kepada reporter Tirto, Kamis (19/12/2024).
Menurut Dewi, represi terhadap warga Pulau Rempang, juga terus berlangsung di banyak lokasi-lokasi PSN. Dalam catatan KPA, sejak 2020 hingga Juli 2024, sedikitnya telah terjadi 134 letusan konflik agraria di berbagai PSN yang mencapai 571.156,87 hektar. Kasus-kasus ini juga mengorbankan sebanyak 110.066 keluarga di berbagai daerah. PSN yang memantik konflik agraria dengan dinilai laiknya pembangunan yang tak ditujukan untuk warga.
Namun hanya proyek kongkalingkong antara pemerintah dan swasta untuk merampas tanah masyarakat dengan berlindung di balik narasi kepentingan nasional. Berulangnya konflik kekerasan di Pulau Rempang cerminan bagaimana pemerintah memaksakan pembangunan PSN di tengah penolakan warga setempat.
“Seperti kasus Rempang, PSN adalah cara jahat pemerintah bersama korporasi secara sistematis untuk mencaplok tanah-tanah masyarakat,” ungkap Dewi.
Menurut kesaksian Wadi, seorang warga dari Kampung Sembulang Hulu, Pulau Rempang, kasus ini bermula dari perusakan spanduk penolakan PSN milik warga yang dilakukan oleh empat pekerja PT MEG pada Selasa (17/12) malam.
Aksi perusakan spanduk itu dipergoki warga yang berjaga di posko kampung dan berhasil mengamankan satu orang pelaku. Wadi mengungkap petugas Kepolisian dari Polsek Galang, dan personil TNI sempat mendatangi posko warga untuk menjemput pekerja yang diamankan warga.
Namun, warga meminta beberapa poin perjanjian, yang harus disepakati oleh perusahaan. Upaya mediasi dengan polisi dan TNI tak menemukan titik terang, hingga akhirnya puluhan orang bersenjata tajam datang menyerang posko yang ditempati warga. Sekira pukul 00.15 WIB, Rabu dinihari, puluhan orang yang diduga staf keamanan dari PT MEG itu menyerang warga di posko.
“Motor kami hancur, posko kami juga dihancurkan dan anak-anak ikut jadi korban. Kami lari untuk menyelamatkan diri,” kata Wadi sebagaimana dilansir RRI.
Kepolisian Resor Kota (Polresta) Barelang, Kepulauan Riau, memastikan, situasi di Kampung Sembulang Hulu, Pulau Rempang dalam kondisi aman dan kondusif usai konflik warga dan pekerja PT MEG.
Kapolresta Barelang, Kombes Pol Heribertus Ompusunggu, mengatakan, situasi di Pulau Rempang sudah terkendali. “Sudah kondusif,” kata dia sebagaimana dilansir Antara.
Menanti Komitmen Negara
Staf Divisi Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Edy Kurniawan Wahid, menyatakan, konflik berulang di Pulau Rempang tidak terjadi bila lembaga-lembaga negara sejak awal berani mengambil sikap tegas untuk melindungi warga dan mengevaluasi PSN Rempang Eco-City.
Sejak setahun terakhir, kata Edy, warga Pulau Rempang berkali-kali sudah mengadukan berbagai peristiwa kekerasan yang mereka alami. Pengaduan sudah ditujukan kepada DPR, KLHK, ATR/BPN, Komnas HAM, Ombudsman, hingga Komnas HAM.
Seharusnya, kata Edy, lembaga negara mampu memitigasi potensi kekerasan di Rempang. Kejadian Rabu dinihari lalu, membuktikan kegagalan lembaga negara untuk menyelesaikan konflik di Pulau Rempang.
“Ini bisa jadi ada pelanggaran HAM, yang perlu diusut siapa otak kekerasan ini. Tadi disebut ada pihak PT MEG, ada pihak kepolisian yang ada di TKP, tapi tidak melakukan apa-apa. Ini bisa jadi ada campur tangan pemerintah, karena ini adalah proyek negara,” kata Edy lewat keterangan video yang diterima Tirto.
Melihat pola rentetan serangan terhadap warga Rempang dalam satu tahun terakhir, Edy menilai, konflik di sana melibatkan kepolisian, TNI, dan BP Batam. Termasuk premanisme yang diduga kerap dilakukan oleh PT MEG. Situasi ini mengarah pada pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusiaan, yakni pemindahan atau pengusiran penduduk secara paksa.
Hal itu sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 huruf d dan e UU Nomor 26/2000 dan Basic Principles and Guidelines on Development-Based Evictions and Displacement A/HRC/18, paragraf ke-6 oleh Dewan HAM PBB (2009).
“Warga sepertinya memilih keamanan mandiri karena merasa tidak ada kehadiran negara yang memberikan rasa aman,” ujar Edy.
Staf Divisi Hukum KontraS, Vebrina Monicha, menyampaikan bahwa kekerasan yang terjadi kepada warga Rempang merupakan bentuk kekerasan berbasis kepentingan modal (Capital Violence) yang diciptakan untuk mengakselerasi kepentingan investasi yang berujung pada pelanggaran HAM. Kekerasan yang dilakukan oleh staf pengamanan PT MEG tersebut terus berulang dan minim penghukuman yang tegas.
Menurut Vebrina, nihilnya penghukuman tersebut menunjukkan adanya Conflict of Interest (CoI) antara PT MEG dan aparat penegak hukum. Ia menilai kekerasan ini telah diakomodir dalam Perpol Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pam Swakarsa, yang bila ditilik dalam sejarah merupakan kerumunan orang yang digunakan untuk kepentingan tertentu dengan minimnya pertanggungjawaban, pengawasan dan akuntabilitas.
PT MEG sendiri dinilai gagal dalam memenuhi prinsip menjalankan bisnis yang diatur dalam Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPS). Padahal prinsip ini dituangkan dalam Peraturan Komnas HAM Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengesahan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM.
“Capital of violence ini kemudian menyebabkan teror psikologis dari negara,” kata Vebrina kepada reporter Tirto, Kamis (19/12/2024).
Dalam konferensi pers kepada awak media, PT MEG membantah menggunakan senjata tajam dalam konflik dengan warga Rempang. Anggota tim keamanan lapangan PT MEG, Angga, menjelaskan, bentrokan berawal dari tiga petugas keamanan PT MEG yang berpatroli di Kampung Sembulang. Mereka melihat sebuah kendaraan roda empat berhenti di pinggir jalan dan hendak menolong mobil tersebut.
Sebagaimana dilansir Tempo, Angga menyatakan bahwa saat petugas keamanan hendak menolong kendaraan tersebut, mereka diteriaki orang-orang yang mengendarai dua sepeda motor sambil mengacungkan parang. Belakangan, satu petugas keamanan PT MEG yang hendak melarikan diri, justru ditangkap warga.
Angga mengeklaim petugas keamanan dikeroyok secara brutal oleh warga dan dibawa ke pos Sembulang Hulu. Dia mengatakan bahwa petugas itu juga diikat warga. Namun, sampai pukul 00.00 lebih, warga tak kunjung menyerahkan petugas yang ditahan itu. Karena alasan itu, kata Angga, PT MEG mengirim 30 orang petugas keamanan untuk menjemput rekan mereka yang ditangkap warga.
“Sampai akhirnya pukul 00.00 lebih, kami berusaha untuk mengambil paksa dan melarikan rekan saya ke rumah sakit,” kata Angga.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz