tirto.id - Dewan Pertahanan Nasional (DPN) resmi dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto awal pekan ini, Senin (17/12/2024). Prabowo melantik Menteri Pertahanan RI, Sjafrie Sjamsoeddin, beserta Wakil Menteri Pertahanan, Donny Ermawan Taufanto, sebagai Ketua Harian dan Sekretaris DPN. Presiden akan memimpin langsung DPN sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Pembentukan DPN memang memiliki alas hukum dalam UU Pertahanan Negara. Dalam Pasal 15, DPN bertugas membantu presiden mengelola sistem pertahanan negara. Posisi DPN akan menjadi penasihat presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan komponen pertahanan negara. Adapun komposisi DPN ini terdiri dari anggota tetap seperti wakil presiden, menteri pertahanan, menteri luar negeri, menteri dalam negeri, dan panglima TNI.
Sementara anggota tidak tetap diambil dari pejabat pemerintah dan nonpemerintah yang dinilai perlu bergabung dalam menghadapi persoalan pertahanan negara. Presiden memiliki hak untuk mengangkat langsung anggota tetap dan tidak tetap DPN.
Baru seumur jagung DPN dibentuk, aroma janggal kewenangan lembaga ini mulai terendus. Pasalnya, dalam dokumen Peraturan Presiden (Perpres) tentang pembentukan DPN, hadir klausul yang berpotensi memiliki interpretasi karet. Klausul yang dimaksud adalah fungsi lain DPN yang bisa dijalankan sesuai kehendak presiden, tanpa dijelaskan secara rinci.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, memandang eksistensi DPN tidak menjadi masalah karena merupakan lembaga yang dimandatkan oleh UU Pertahanan Negara. Kendati demikian, kehadiran frasa ‘fungsi lain’ dalam Perpres DPN dinilai sebagai aturan yang tidak dapat dibenarkan.
“Problem yang kemudian muncul adalah DPN bisa menjalankan fungsi lain sesuai perintah presiden, kan, enggak bisa begitu,” kata Castro sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Rabu (18/12/2024).
Menurut dia, selama fungsi lain yang diberikan presiden amanat UU dan koridor konstitusi tentu tidak jadi masalah. Masalahnya, fungsi lain dalam hal ini membuka peluang perbuatan presiden yang berpotensi melenceng dari undang-undang dan mampu menyalahgunakan kekuasaannya lewat DPN.
Castro menilai frasa tersebut membuka ruang abusive terhadap hukum. Maka agar terhindar dari ekses kekuasaan presiden yang abusive, fungsi lain dalam Perpres DPN seharusnya diatur secara rigid. Atau bisa dijelaskan lebih lanjut dalam turunan UU Pertahanan Negara.
Keajegan fungsi dari DPN sangat vital untuk menghindari tindakan yang sewenang-wenang. Castro menegaskan klausul hukum yang strategis seperti DPN tak bisa bersifat kabur. Saat suatu klausul hukum bersifat kabur, maka berpotensi melahirkan abusive kekuasaan.
“DPN itu kan pada intinya pembantu presiden ya. Artinya lembaga ini memberikan saran dan pertimbangan kepada presiden, ya sebatas itu saja, tidak boleh keluar dari koridor,” kata Castro.
Dalam dokumen Perpres DPN yang didapat Tirto, disebutkan bahwa DPN bertugas dalam memberikan pertimbangan dan perumusan solusi kebijakan dalam penetapan kebijakan di bidang pertahanan nasional yang bersifat strategis. Hal itu mencakup kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Dalam Pasal 3 huruf (f) tertulis: pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh presiden. Klausul ini yang dipersoalkan dapat menimbulkan sifat karet dan berpotensi dimanfaatkan secara abusive.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, menilai, DPN sesuai dengan mandat UU Pertahanan Negara, diharapkan mendorong pengambilan keputusan yang tepat dan bijaksana soal arah pertahanan negara. Tetapi munculnya klausul yang bersifat karet atau multitafsir dalam Perpres DPN, justru tidak sejalan dengan semangat UU Pertahanan Negara. Sebaliknya, kata Dimas, ini bisa menjadi awal mula kekacauan dalam konteks tata kelola pemerintahan di bidang pertahanan.
Menurut Dimas, DPN sejatinya berfungsi memberikan rekomendasi kebijakan atau usulan solusi tentang pertahanan negara kepada presiden. Maka, DPN dapat membantu presiden mendorong tata kelola serta kebijakan yang lebih baik dalam menjaga area kedaulatan dan pertahanan nasional. Namun, klausul ‘fungsi lain’ dalam Perpres DPN justru membuat publik bertanya-tanya.
“Karena itu kan sangat karet, sangat multi-interpretasi ya. Presiden sewaktu-waktu misalnya ada satu kejadian atau insiden yang berkaitan dengan aspek atau masalah pertahanan, jangan-jangan DPN punya fungsi yang lebih besar daripada TNI atau Kemhan,” ucap Dimas kepada reporter Tirto, Rabu (18/12/2024).
Di sisi lain, Dimas khawatir kehadiran DPN justru menimbulkan pengambilan kebijakan yang berlapis atau tumpang tindih. TNI seharusnya adalah garda terdepan dari sektor pertahanan nasional sebagaimana tugas mereka dalam amanat UU TNI. Jika tidak hadir kejelasan DPN dalam menjalankan tugas dan fungsinya, maka dikhawatirkan ada gesekan kewenangan.
Sisi lainnya, Dimas melihat pembentukan DPN sama sekali tidak melibatkan masyarakat. Ia menilai lembaga strategis seperti DPN sangat penting untuk melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan para peneliti di bidang pertahanan. Misalnya, kata Dimas, tantangan di sektor pertahanan hari ini semakin canggih dan tidak terbatas dengan ancaman tradisional.
KontraS meminta agar pemerintah tidak menggunakan DPN sebagai instrumen untuk lebih mengorkestrasi unsur militer ke dalam jabatan publik. Sesuai mandat reformasi, TNI mampu berfokus pada aspek pertahanan negara alih-alih sibuk di ruang-ruang sipil. DPN jangan membuat sektor pertahanan negara justru mundur ke belakang atau mengalami involusi.
“Jangan sampai kemudian arah atau orientasi pertahanan ini kembali lagi, ke zaman Orde Baru yang pada akhirnya membuat peran militer itu jadi sangat kuat di masyarakat,” ungkap Dimas.
Batasi Kewenangan
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, memandang penambahan wewenang di Perpres DPN tidak sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam UU Pertahanan Negara. Selain itu, penambahan wewenang yang luas untuk melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh presiden memiliki potensi membuat DPN berpotensi menjadi lembaga superbody yang akan mengancam kehidupan demokrasi.
Menurut Ardi, pada masa Orde Baru terdapat lembaga serupa DPN yang punya wewenang luas, yakni Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Namun, Kopkamtib pada praktiknya justru menjadi lembaga yang melindungi kekuasaan korup Orde Baru dan melakukan berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM. Ardi menilai pembentukan lembaga baru seperti DPN harus selaras dengan aturan perundang-undangan yang ada dan didasarkan pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
“Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional harus benar-benar ditujukan untuk kepentingan pertahanan negara, memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, bukan untuk kepentingan politik kekuasaan,” kata Ardi kepada reporter Tirto.
Sementara itu, pemerhati pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyatakan, tugas utama dari DPN adalah menelaah, menilai, dan merumuskan solusi kebijakan di bidang pertahanan. Termasuk menyusun kebijakan terpadu dan mengevaluasi risiko strategisnya secara mendalam. Dengan demikian bisa dikatakan, kata Fahmi, DPN berfungsi sebagai lembaga yang menyiapkan bahan kebijakan tanpa memiliki kewenangan eksekusi.
“Hal ini penting untuk dipahami supaya persepsi tentang potensi ekses atau tumpang tindih kewenangan dapat diminimalisir,” kata Fahmi kepada reporter Tirto, Rabu (18/12/2024).
Menurut Fahmi, DPN dapat menjadi platform strategis yang mempertemukan pandangan berbagai pihak. Baik dari unsur sipil maupun militer dalam pemerintahan serta para pakar independen kalangan non-pemerintah. Sinergi lintas sektor justru penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga komprehensif dan adaptif.
Kekhawatiran mengenai ekses kewenangan atau tumpang tindih dinilai Fahmi cenderung berlebihan mengingat DPN tidak memiliki kewenangan eksekusi. Sebagai lembaga yang mengkoordinasikan kebijakan strategis, DPN justru berpeluang memperkuat sinergitas antaraktor pertahanan. Maka, pengawasan dapat menjadi kunci untuk mencegah potensi ekses kewenangan.
“Karena itu menurut saya perlu diatur secara eksplisit bagaimana mekanisme pelaporan, termasuk siapa yang bertanggung jawab menyusun laporan, bagaimana laporan itu disampaikan, dan kepada siapa laporan itu ditujukan,” jelas Fahmi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz