tirto.id - Harga kopi Arabika berjangka tercatat sekitar 317,06 sen per pon pada perdagangan Jumat (13/12/2024) di Intercontinental Exchange (ICE) atau Bursa Efek Antarbenua. Posisi itu turun dari puncak tertingginya selama 50 tahun terakhir, pada perdagangan Selasa (10/12/2024) yang sempat mencapai 349,58 sen per pon.
Sebagai informasi, Kopi Arabika merupakan acuan dunia untuk kontrak berjangka kopi yang diperdagangkan di ICE lantaran menyumbang 75 persen dari produksi kopi dunia. Sementara Robusta yang banyak diproduksi di Vietnam dan Indonesia menyumbang 25 persen produksi kopi dunia.
Salah satu trader kopi terbesar dunia, Volcafe Ltd., menilai, penaikan harga kopi ini terjadi karena penurunan produksi kopi Brasil, yang merupakan produsen kopi Arabika terbesar dunia akibat kekeringan dan curah hujan tinggi. Bahkan, seperti dikutip Trading Economics, imbas penurunan produksi kopi ini membuat Volcafe memangkas prospek produksi Arabika Brasil untuk tahun perdagangan 2025/2026 sebesar 11 juta kantong (1 kantong = 60 kilogram), menjadi 34,4 juta kantong.
“Harga kopi telah melonjak lebih dari 80% tahun ini, melampaui rekor 1977, didorong oleh kekeringan di wilayah-wilayah utama yang tumbuh seperti Brasil dan Vietnam, sementara konsumsi global meningkat, terutama di pasar yang sedang berkembang seperti Tiongkok,” tulis Trading Economics, dikutip Senin (16/12/2024).
Sementara di Indonesia, berdasar data Indonesia Speciality Coffee (ISC), harga Arabika asli Indonesia, seperti Aceh Gayo dibanderol dengan harga 8,76 dolar Amerika Serikat (AS) per kilogram atau sekitar Rp140.160 per kilogram (asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS), Arabika Java Ijen sebesar 9,18 dolar AS per kilogram atau setara Rp146,880 per kilogram dan tertinggi Kopi Luwak seharga 50 dolar AS per kilogram atau sekitar Rp800 ribu per kilogram.
Sedangkan untuk kopi robusta jenis Bali Kintamani Robusta ELB 350BC dihargai dengan 6,53 dolar AS per kilogram atau sekitar Rp104,480 per kilogram, Robusta Lampung di rentang harga 6,54-7,26 dolar AS per kilogram atau sekitar Rp104,640-Rp116.160 per kilogram, dan paling tinggi Robusta Sumatra dengan harga di rentang 6,54-12,39 dolar AS atau sekitar Rp104.640-Rp198.240 per kilogram.
Adapun untuk kopi spesial Indonesia seperti Age Coffee dipatok dengan harga 12,06 dolar AS atau setara Rp192.960 per kilogram, Bali, Java, Gayo, dan Mandheling Wine Coffee dengan harga 17,22 dolar AS per kilogram atau sekitar Rp275.520 per kilogram, serta Kopi Luwak seharga 50 dolar AS per kilogram atau sekitar Rp800 ribu per kilogram.
Penaikan harga kopi dunia ini diakui oleh Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Putu Juli Ardika. Namun, penaikan tertinggi biji kopi terjadi pada jenis speciality yang di antaranya adalah Gayo Long Berry yang saat ini dibanderol dengan harga sekitar 19,20 dolar AS per kilogram atau sekitar Rp307.200 per kilogram atau kopi Arabika Toraja Kalosi yang per kilogramnya dijual dengan harga sekitar Rp280 ribu.
“Sebenarnya kalau kopi kita, kan, yang paling banyak itu ekspor. Jadi, ekspor, sehingga ini cukup bagus dampaknya ke petani. Nah, untuk yang di kopi itu kan ada kopi specialty, ada kopi macam-macamlah jenisnya. Sebenarnya yang paling banyak naiknya adalah yang di specialty,” kata dia, saat ditemui Tirto, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor kopi Indonesia pada periode Januari-September 2024 mencapai 342,33 ribu ton, dengan nilai mencapai 1,49 miliar dolar AS atau sekitar Rp23,1 triliun. Dibandingkan dengan periode yang sama di 2023 yang sebesar 1,15 miliar dolar AS, nilai ekspor kopi nasional mengalami kenaikan hingga 29,82 persen.
Jika dilihat dari jenisnya, maka ekspor kopi sepanjang Januari-September 2024 didominasi oleh robusta yang tidak digongseng tanpa minyak dengan volume 148,34 ribu ton. Lalu, olahan kopi yang berbasis ekstrak, esens, atau konsentrat yang mengandung tambahan gula (HS 21011291) tercatat 74,488 ribu ton, sedangkan volume ekspor kopi instan yang dikemas dengan berat kurang dari 20 kilogram (HS 21011111) mencapai 54,37 ribu ton.
Berdasarkan negara tujuan, Indonesia banyak melakukan ekspor kopi ke Filipina dengan jumlah 85,00 ribu ton, diikuti Amerika Serikat 31,73 ribu ton dan Malaysia 32,33 ribu ton.
“Kalau ekspor, kita tumbuh cukup bagus. Ke depannya juga pelaku usaha masih sangat optimis, (ekspor 2024) jauh lebih tinggi. Kenaikannya ini jauh lebih tinggi dari pertumbuhan mamin secara keseluruhan. Kenapa (ada) kenaikan harga, karena permintaannya meningkat,” jelas Putu.
Tak hanya menguntungkan dunia usaha, penaikan harga kopi juga menjadi berkah bagi petani. Namun, dampak positif ini terbatas, karena sedikitnya jumlah petani kopi. Berdasar catatan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), sampai saat ini terdapat sebanyak 1,86 juta kepala keluarga petani yang menggantungkan hidupnya pada kopi Indonesia.
Menurut dia, hal ini sangat disayangkan karena jika dibandingkan periode pandemi yang mana harga kopi turun cukup dalam, yakni hanya sekitar Rp35-Rp40 ribu per kilogram, menjadi di kisaran Rp80-120 ribu pada posisi November 2024.
“Mereka kenaikannya cuma sedikit, bahkan mereka enggak bisa menyekolahkan anak-anaknya kayak petani sawit, itu kan mereka mampu semua sekolahkan anak-anaknya. Soalnya mereka kan skala tanamnya small holder, kepemilikan kecil. Lahan pertaniannya ini 1,5 hektare sampai 2 hektare,” kata Ketua Umum AEKI, Irfan Anwar, saat dihubungi Tirto, Senin (16/12/2024).
Tidak hanya itu, meski harga kopi dunia menanjak drastis, namun di Indonesia penaikan harga kopi hanya mencapai 4 persen dari harga normal. Dengan produksi kopi domestik yang juga cukup terbatas, bahkan jauh lebih rendah jika dibandingkan produsen utama seperti Brasil dan Vietnam, jelas untung yang didapat para petani tak banyak.
Menurut US Department of Agriculture (USDA), Departemen Pertanian Amerika Serikat, produksi kopi Indonesia untuk tahun panen 2024/2025 diproyeksi akan mencapai 10 juta kantong, turun 8 persen dari prediksi sebelumnya. Jika dirinci, penghasil utama Robusta, Sumatra Selatan akan menyumbang sekitar 85 persen dari total produksi kopi nasional, sisanya akan disumbang oleh produksi kopi Arabika dari Sumatra Utara.
“Cuaca yang mendukung di Sumatra Utara kemungkinan akan meningkatkan hasil panen Arabika (pada) masa panen 2024/25. Akibat kekeringan akibat El-Nino pada 2023, masa panen di Sumatra Selatan menjadi terhambat, diperkirakan akan dimulai pada Mei-Juni 2024, penundaan yang cukup besar dari biasanya (Maret-April). Karena itu, pengiriman diperkirakan mencapai puncaknya pada September-Oktober 2024,” tulis USDA, dikutip Senin (16/12/2024).
Penaikan harga kopi yang terbatas di Indonesia ini lantas membuat konsumsi kopi dalam negeri tak begitu terdampak. Bahkan, menurut Irfan, konsumsi kopi di tahun depan masih akan cerah. Meski tak dipungkiri, ada perubahan pola konsumsi dari kopi dengan harga lebih mahal ke jenama yang level harganya lebih rendah.
Sebagai contoh, jika sebelumnya banyak konsumen yang mengonsumsi kopi-kopi Starbucks dengan harga lebih dari Rp35 ribu per gelas, kini banyak konsumen memilih Kopi Jago dengan harga di kisaran Rp8.000-Rp10.000 per gelas.
“Permintaan kopi dari ekspor dan dalam negeri masih naik, masih tinggi, enggak begitu berpengaruh sama kenaikan harga kopi. (Karena) enggak juga mahal bagi end customer. Bagi pelanggan akhirnya enggak ada masalah,” ujar Irfan.
Hal ini pun diamini oleh Angga Prastowo (29) yang merasa tak hidup tanpa secangkir kopi dalam sehari. Alih-alih karena penaikan harga kopi, dia mengganti konsumsi kopinya dari Americano yang biasa dibelinya di Starbucks atau Kopi Kenangan menjadi Black Coffee milik Jago, lantaran semakin banyaknya kebutuhan hidup yang harus dia tanggung.
“Belum lagi, sekarang harga-harga barang, bahan makanan jadi lebih mahal. Jadi, mau enggak mau budget buat ngopi yang dikurangi,” kata dia, kepada Tirto, Senin (16/12/2024).
Meski begitu, dia berharap agar ke depannya harga kopi tak semakin pahit. Sebab, tak cuma gaya hidup, ‘ngopi’ telah menjadi bagian hidup darinya.
“Kalau enggak ngopi seharian, itu bisa pusing, kayak berkunang-kunang gitu. Jadi, jangan naik lah Jago ini. Masak iya aku harus downgrade lagi,” kata laki-laki yang bekerja di perusahaan periklanan itu.
Dihubungi terpisah, Pakar Kopi, Moelyono, menilai, di dalam negeri, dampak penaikan harga kopi memang masih terbatas di tingkat konsumen. Namun, dari sisi produsen, penaikan harga kopi membuat mereka memutar otak melalui penggunaan bahan baku dengan kualitas lebih rendah untuk mengurangi bengkaknya biaya operasional toko.
“Kalau di Indonesia saat ini (penaikan harga kopi) sudah mulai terasa, ya. Jadi, yang untuk industri UMKM itu untuk dia penggunaan bahan baku itu sudah menggunakan yang kualitasnya lebih rendah untuk mengimbangi kenaikan harga,” katanya, kepada Tirto, Senin (16/12/2024).
Sementara itu, penaikan harga kopi jauh lebih dirasakan oleh konsumen di negara-negara seperti Eropa dan AS. Penaikan harga ini, bahkan telah membuat konsumsi kopi di negara-negara tersebut menunjukkan penurunan.
“Sedangkan di petani Indonesia, kenaikan harga kopi masih berdampak terbatas. Ini karena supply-nya untuk kopi Robusta itu sudah mulai kembali ke kondisi normal. Arabika juga, tapi tidak sebanyak kondisi tahun-tahun sebelumnya. Masih tight, tapi jauh lebih baik,” imbuh Moelyono.
Namun, yang lebih penting dari dampak positif penaikan harga kopi, petani kopi masih menghadapi tantangan serius berupa ketidakpastian nasib saat harga kopi anjlok. Apalagi, saat ini besar kecilnya pendapatan para petani lebih ditentukan oleh banyak sedikitnya produksi kopi domestik, alih-alih harga kopi dunia.
“Satu-satunya solusi adalah dibentuk sistem plafon (harga). Tapi, masalahnya ini siapa yang akan menjalankan dan mengawasi? Ini nggak mudah untuk dijalankan. Pasti untuk komoditas sendiri dia akan fluktuatif, ada turun ada naik, ada naik ada turun juga,” kata dia.
Di sisi lain, proyeksi cuaca La Nina yang akan terjadi hingga April 2025 juga perlu dimitigasi, baik oleh petani, asosiasi, maupun pemerintah. Sebab, curah hujan tinggi dan hawa dingin berpotensi membuat kualitas dan kuantitas kopi menurun.
Dengan konsumsi kopi yang banyak dipenuhi oleh produksi dalam negeri, penurunan produksi kopi jelas bakal ditransmisikan pada harga kopi lokal.
“Ke depan proyeksi cuaca La Nina hingga April 2025. Hal ini akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi kopi. Sehingga ke depan harus dimitigasi dengan baik, agar tidak terjadi lonjakan harga di domestik,” jelas Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, melalui pesan singkatnya kepada Tirto, Senin (16/12/2024).
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz