tirto.id - Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK) 2023, ada sekitar 22,97 juta penyandang disabilitas di Indonesia. Namun, hanya sekitar 7,6 juta saja yang bisa memperoleh pekerjaan, baik di sektor formal maupun non-formal.
Angka ini mencerminkan sebuah kenyataan bahwa kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas di Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Bahkan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2022, pekerja difabel hanya mencakup 0,53% dari total jumlah penduduk yang bekerja.
Di tengah realitas ini, banyak individu difabel yang berjuang untuk menemukan ruang dalam dunia kerja yang lebih inklusif. Salah satunya adalah Ervi Oktaviani, perempuan 23 tahun, yang memutuskan untuk mengubah nasib dengan mengikuti pelatihan barista di Cupable Coffee, kafe yang dimiliki oleh Yayasan YAKKUM, sebuah lembaga yang fokus pada rehabilitasi dan pemberdayaan difabel.
Ervi Oktaviani hanya mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Ia merupakan penyandang disabilitas fisik sejak lahir. Fisiknya tumbuh tidak sempurna dan organnya lemah. Ibunya melahirkan saat usia kandungan tujuh bulan.
Perempuan yang akrab dipanggil Okta itu bertekad mentas dari belenggu trauma dan kondisi keterbatasannya. Awalnya ia mengaku bosan menganggur di rumah. Ia pun pergi dari rumah dan menjalani rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi YAKKUM. Upaya gadis asal Gunungkidul, Yogyakarta, itu bersambut dengan program pemberdayaan yang kini ia ikuti.
Okta mengikuti program pelatihan barista selama satu setengah bulan. Kini, hari-harinya diisi dengan menjalani pelatihan di Kafe Cupable. Cupable sendiri merupakan kafe rintisan Yayasan YAKKUM dengan para difabel sebagai baristanya.
"Lebih tepatnya mau cari uang sendiri, hasil sendiri. Gimana sih rasanya bisa ngebahagiain diri sendiri? Toh orang-orang nggak selamanya bisa nungguin kita," kata Octa usai mengikuti pelatihan di Kafe Cupable, Jalan Kaliurang, Yogyakarta, Rabu (6/11/2024).
Okta adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Di desanya, ia tinggal bersama ibu dan saudaranya. Sejak kecil, Okta mengisahkan kerap mengalami perundungan. Bahkan awalnya, keluarga Okta menganggap kondisi disabilitasnya adalah aib. Ia sering dikucilkan, diperlakukan berbeda dari saudaranya yang lain.
Waktu kecil, perundungan fisik kerap ia dapat. Di keluarga pun ia mengaku sering mendapat bentakan, didorong hingga jatuh, sampai pipinya dicoret-coret. Perundungan semacam itu membuat Okta semakin kecil hati. Ditambah lagi, saat beranjak dewasa, Okta mencoba aplikasi kencan dan menjalin hubungan dengan seorang pria.
Ia mengaku ingin mendapat kasih sayang yang selama ini tak didapat di keluarga. Namun, dari relasi itu, ia menambah luka dan trauma. Setelahnya hidupnya makin jatuh. Sampai suatu ketika, perempuan yang hobi membaca novel itu memutuskan untuk melakukan rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi YAKKUM.
Awalnya, ia tak mendapat dukungan dari ibunya karena takut merepotkan. Menurut Okta, di YAKKUM ia dididik untuk bisa mandiri. Namun setelah berusaha meyakinkan, ibunya membolehkan ia keluar dari rumah.
“Ini tuh masa depan aku. Kalau hanya di rumah terus, kapan aku bisa punya pengalaman? Bisa suka-suka, bisa dapet uang sendiri, bisa kasih ibu, buat orang, atau apalah biar gak nyusahin ibu,” tutur Okta menirukan perkataanya membujuk ibunya.
Kini Okta berusaha fokus pada pengembangan dirinya. Ia jauh lebih tegar dari sebelumnya dan lebih percaya diri. Di YAKKUM, Okta menemukan teman yang saling mendukung. Meski sebetulnya ia masih merasa trauma saat ada pemacu dari masa lalunya yang buruk. Ia kerap mimpi hitam putih dan gemetar saat akan makan. Bahkan takut untuk tidur.
Sambil terdiam agak lama, Okta mengatakan, “Cuma berusaha berdamai dengan kenyataan. Kalau nggak bisa berubah, ya diubahlah dengan diri sendiri, dengan kebahagiaan diri sendiri.”
Okta mengaku kini bisa berbaur dan lebih berdamai dengan kondisinya. Ia menyadari, difabel harus memiliki kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Skill meracik kopi pun menjadi pilihannya untuk kelak membuka usaha sendiri. Rencananya, setelah pelatihan Okta ingin membuka kedai sendiri di rumahnya. Hal ini membuktikan bahwa meski dengan keterbatasan fisik, ia mampu bekerja dan menghasilkan uang sendiri.
Okta nampak sudah bersiap sejak pukul sembilan pagi. Ia datang dari asrama ke Kafe Cupable berjalan kaki. Letaknya hanya bersebelahan.
Hari itu, ia dan tiga orang rekannya belajar menyeduh kopi dengan metode Vietnam Drip. Okta bercerita salah satu yang menjadi tantangan baginya untuk belajar teknik seduh itu adalah air operation. Sebagai barista, ia harus bisa menuangkan air panas ke atas bubuk kopi dengan pas. Ini merupakan faktor penting yang memengaruhi hasil akhir dari cita rasa secangkir kopi. Ia mesti memperhatikan suhu air, jumlah air dan waktu seduh. Bagi Okta, perintilan itu memerlukan kejelian lebih.
Meski awalnya bingung, setelah sebulan mengikuti pelatihan, Okta termotivasi untuk bisa membuat racikan kopinya sendiri. Meski dengan ragam disabilitas berbeda, pihak yayasan memberikan akses yang sama bagi para peserta. Okta mengaku bersyukur memiliki iklim belajar di sana.
“Bersyukur banget sih dapat pengajar-pengajar yang baik, ngerangkul kita dengan beberapa macam kekurangannya masing-masing,” jelas Okta.
Akses yang Setara
Maria Bernadette Rindiyastami, Project Manager VTC dan SE dari Pusat Rehabilitasi YAKKUM, berharap rekan-rekan penyandang disabilitas bisa berdaya dengan dengan fasilitas keterampilan yang diadakan.
Meski pemerintah sudah mengupayakan berbagai akses untuk penyandang disabilitas, Ami, panggilan akrabnya, mengungkapkan masih banyak tantangan bagi difabel untuk bisa terpenuhi hak-haknya dalam dunia kerja, baik formal maupun informal.
“Apa pun disabilitasnya dan ragam disabilitasnya, mereka bisa mandiri ke depannya. Karena kita tidak bisa selamanya bergantung dengan orang,” ucap Ami.
Di sisi lain, Ami menjelaskan bahwa program pelatihan barista ini dirancang untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua penyandang disabilitas, apa pun jenisnya.
“Kami membuka kesempatan bagi teman-teman dengan disabilitas untuk mengembangkan keterampilan di bidang barista, dan tentunya kami memberikan pelatihan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing,” kata Ami.
Menurut dia, YAKKUM telah mengadakan pelatihan barista untuk ke-6 kalinya. Setiap tahunnya, mereka membuka kesempatan bagi difabel untuk mengikuti pelatihan, dengan biaya akomodasi dan makan ditanggung sepenuhnya oleh yayasan.
“Kami membuka pendaftaran untuk pelatihan barista, dan dari 23 pelamar, hanya empat yang terpilih, karena kami ingin memastikan mereka yang terpilih benar-benar serius dan siap mengikuti pelatihan,” jelas dia.
Sebelum memulai pelatihan, peserta menjalani proses asesmen dengan tim medis dan psikososial untuk memastikan mereka mampu mengikuti pelatihan sesuai dengan kondisi fisik dan psikologis masing-masing. Pelatihan pun diisi oleh Eko Sugeng, salah seorang barista senior di Kafe Cupable. Eko merupakan penyandang difabel fisik yang berhasil membuktikan keterampilannya menjadi barista, meski kedua lengannya diamputasi.
Pelatihan barista bukan hanya soal teknik meracik kopi, tapi juga tentang membekali difabel dengan keterampilan yang dapat mereka gunakan untuk meraih kemandirian finansial. Pihaknya tak hanya mengajarkan cara membuat kopi, tapi juga keterampilan lunak lain seperti membuat curriculum vitae (CV), wawancara kerja dan bagaimana mengelola usaha kecil. Itu semua, kata Ami, penting untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka.
Kafe Cupable sendiri, yang didirikan dengan visi inklusi, juga menjadi simbol dari keberhasilan program pelatihan ini. Nama "Cupable" mengandung pesan bahwa siapa pun, termasuk penyandang disabilitas, mampu menjadi barista yang siap menjalankan usaha mereka sendiri. Sejak didirikan pada 2004, Kafe Cupable telah menjadi tempat di mana difabel tidak hanya bekerja, tetapi juga belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Bagi Okta, pelatihan ini adalah langkah pertama menuju impian besar: membuka kedai kopi sendiri dan membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk meraih kemandirian. Kelak, jika rencananya mendirikan kedai kopi terwujud, ia juga ingin berbagi pengalaman pada yang lain. Ia ingin difabel di luar sana memiliki kepercayaan diri untuk mengembangkan diri dan memiliki bekal keterampilan untuk merambah dunia kerja.
“Enggak selamanya kita bisa dibantu orang, kan. Jadi selama kita bisa berusaha, ya kita harus mandirilah,” tutur dia.
Dan bagi YAKKUM, program ini adalah bagian dari komitmen mereka untuk terus membuka kesempatan dan menciptakan lebih banyak peluang bagi difabel untuk berkembang.
"Kami ingin teman-teman dengan disabilitas tahu bahwa mereka bisa mandiri. Kami ingin membuka keran selebar-lebarnya agar mereka bisa menunjukkan kemampuan mereka," ucap Ami.
Di masa depan, YAKKUM berharap bisa menambah lebih banyak pelatihan keterampilan sesuai minat difabel, seperti pelatihan memasak, untuk lebih memperluas peluang mereka di dunia kerja.
Penulis: Dina T Wijaya
Editor: Fahreza Rizky