Menuju konten utama

Lewat Batik, Difabel Zone Buktikan Difabel Mampu Berdaya

Wina bertekad menghapus stereotipe bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang tidak berdaya.

Lewat Batik, Difabel Zone Buktikan Difabel Mampu Berdaya
Mulyani, salah satu pengrajin batik Difabel Zone saat ditemui di Mall Kasablanka, Jakarta, Rabu (02/10/2024). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

tirto.id - Keterbatasan bukanlah halangan bagi para penyandang disabilitas untuk berkarya. Hal itu tercermin pada para perajin batik dari Difabel Zone.

Semula,Difabel Zone merupakan komunitas difabel asal Dusun Nglarang, Kelurahan Triharjo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul. Berdiri sejak 2016, komunitas yang didirikan oleh Lidwina Wurie Akhdiyanti ini telah memberdayakan setidaknya 50 orang perajin batik difabel. Para perajin difabel itu datang dari Yagyakarta dan beberapa daerah Jawa Tengah, yakni Magelang dan Salatiga.

Tirtomenemui komunitas Difabel Zone saat mereka mengikuti pameran di Mall Kasablanka, Jakarta.

“Mari Mbak, silahkan dilihat dulu,” ujar seorang perempuan difabel pelan sembari tersenyum saat reporter Tirtomenghampiri booth batiknya pada Rabu (02/10/2024).

Dia Mulyani (50) atau akrabdisapa Mbak Yani. Dia mengaku sudah delapan tahun menjadi perajin batik dan telah bergabung dengan Difabel Zone sejak 2016, tahun saat Difabel Zone didirikan.

Menurut pengakuan Yani, dia dan para penyandang disabilitas lain awalnya mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM) sebelum akhirnya bergabung dalam wadah komunitas Difabel Zone.

Awalnya kami didata ikut pertemuan di kecamatan. Nah, terus itu ada YAKKUM dari Yogyakarta. Saya ikut di sana. Terus, ada kursus tiga bulan membatik di YAKKUM itu saya ikut,” ujar Yani kepadaTirto, Kamis (03/10/2024).

Dalam kursus yang diadakan YAKKUM itulah, Yani bertemu dengan Lidwina.

“Setelah selesai kursus di YAKKUM, sama Bu Lidwina kami dijadiin satu, dipekerjakan jadi satu [dalam wadah Difabel Zone],” ucap Yani.

Batik Difabel Zone

Mulyani dan Lidwina Wurie Akhdiyanti saat ditemui di Mall Kasablanka, Jakarta, Rabu (02/10/2024). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

Ruang Berkarya bagi Difabel

Yani bercerita bahwa Difabel Zone kemudian berkembang menjadi sebuah merek usaha mikro kecil menengah (UMKM). Hal itu membuatnya sangat bersyukur dan semakin percaya diri karena dia mendapat ruang untuk berkarya. Sebelum bergabung dengan Difabel Zone, Yani menyebut sudah memiliki kecintaan pada seni kriya sehingga membuatnya semakin nyaman berkarya di komunitas ini.

Menurut Yani, keterbatasan fisik bukanlah alasan untuk menyerah. Para perajin Difabel Zone memiliki cara tersendiri dalam membatik. Masing-masing dari mereka saling membagi tugas, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Salah satu perajin bernama Ika, misalnya, memiliki keterbatasan fisik yang mengharuskan dirinya merangkak untuk berpindah posisi. Bahkan, kondisi difabel daksa dengan cerebral palsy (CP) membuat tangannya tremor sehingga kesulitan dalam memegang sesuatu. Dia pun mengerjakan tugas sesuai dengan kemampunnya.

Kalau Mbak Ika bikin motif begini [motif rumit] gak bisa. Dia belum bisa karena tangannya tremor. Kami saling membantu, saling mengerjakan. Misalnya, ada yang bisa menjemur ya menjemur, bisa mewarnai ya mewarnai,” tutur Yani.

Di rumah Difabel Zone, seturut Yani, terdapat 10 penyandang disabilitas yang menginap dan berkarya membatik. Selain 10 orang tersebut, mereka mengerjakan kerajinannya di rumahnya masing-masing.

“Ada yang ambil kerjaan dari workshop nanti dikerjakan di rumah. Nanti kalau udah jadi, baru dikirim atau diantar,” ucapnya.

Difabel Zone memproduksi berbagai macam kerajinan batik, mulai dari kain, tote bag, kaos, hingga tempat tisu. Kerajinan batik yang dijual Difabel Zone merupakan batik tulis yang menggunakan pewarna alami.

Yani menyebut bahwa produk-produk tersebut memiliki harga yang bervariasi, mulai dari Rp50.000 untuk kotak tisu, Rp50.000 hingga Rp150.000 untuk tote bag, Rp150.000 untuk kaos, dan yang termahal adalah kain batik lembaran yang dihargai hingga Rp3.000.000.

Kami setiap hari juga produksi. Ada pesanan atau tidak tetap produksi,” kata Yani.

Lebih lanjut, Yani menjelaskan bahwa selain motifnya yang rumit, harga per lembar kain batik dipatok mahal karena prosesnya sangat panjang. Setidaknya butuh dua minggu untuk memproduksinya. Bahkan, waktu pengerjaannya bisa lebih panjang lagi untuk batik dengan motif yang rumit.

Yani mengatakan bahwa umumnya batik tulis memang membutuhkan proses pengerjaan yang lebih lama dibandingkan batik printing atau batik cap.

Itu baru penyantingan, belum mendesain, belum pewarnaan. Memang kalau harganya mahal itu karena lama mengerjakannya,” jelas Yani.

Batik Difabel Zone

Kain dan Kaos Batik yang dijual Difabel Zone saat pamerah hari batik di Mall Kasablanka, Rabu (02/10/2024). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

Bermula dari Pelatihan Membatik

Lidwina atau lebih akrab disapa Wina menceritakan kisahnya selama membentuk Difabel Zone kepada Tirto. Motivasi awalnya mendirikan komunitas ini adalah ingin merangkul pada penyandang disabilitas. Dia mengatakan ingin membuka lapangan kerja dan melatih kemandirian para difabel masuk usia produktif.

Jadi, spiritnya sebenarnya ya pengen berbagi. Dan satu hal yang menjadi keprihatinan saya bahwa masih sangat terbatasnya ruang kreativitas dan penyedia lapangan kerja untuk teman-teman difabel,” tutur Wina kepada Tirto.

Wina sendiri memiliki kemampuan dasar dalam desain dan memiliki kecintaan kepada batik. Wina semula diminta oleh YAKKUM untuk memberikan pelatihan membatik kepada para difabel. Setelah tiga bulan merampungkan kelas pelatihan itu, dia lantas memikirkan upaya agar ilmu yang telah didapat para difabel itu dapat lebih berdaya guna.

Enggak setiap orang mau kan untuk menampung mereka. Setelah dapat pelatihan tiga bulan, mereka hanya pulang ke rumah dan mereka tidak melakukan sesuatu apa pun gitu. Jadi, saya berkeinginan waktu itu memang menampung mereka untuk memberi ruang,” ucap Wina.

Wina mengaku sempat pesimistis. Muncul kekhawatiran di benaknya bahwa masyarakat masih belum menghargai hasil karya para difabel dan kerap meragukan mereka. Namun, Wina akhirnya memantapkan diri dan mengajak temannya untuk mengumpulkan dana untuk membangun usaha batik tulis.

“Alhamdulillah mereka mau. Akhirnya di 2016 itu, kami dengan anggota berawal tujuh orang di Difabel Zone ini,” ungkap Wina.

Menurut Wina, kerajinan batik adalah wadah yang tepat untuk memberdayakan para penyandang disabilitas. Dia menyadari bahwa kaum difabel punya kondisi yang membuat mobilitasnya terbatas. Sementara itu, membatik tidak membutuhkan banyak mobilitas.

Oleh karena itulah, Wina menilai membatik merupakan aktivitas yang cukup sesuai untuk mereka menunjukkan keberdayaannya.

“Mereka luar biasa semangat. Itu justru membuat saya malu, ya. Kadang, sebagai nondifabel, kita males gerak. Padahal, yang di tempat kami itu semua berat [kategori difabel],” tutur Wina.

Batik Difabel Zone

Tas batik yang dijual Difabel Zone saat pamerah hari batik di Mall Kasablanka, Rabu (02/10/2024). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

Di masa awal berdirinya Difabel Zone, Wina sempat dihantui keraguan lantaran disebut-sebut mengeksploitasi para difabel. Namun, dia menepis tiduhan-tuduhan itu. Jika masih terbelenggu pemikiran sempit macam itu, pikir Wina, para difabel tidak akan bisa berkembang.

“Kalau kita ada tembok bayang-bayang sebuah eksploitasi, titik temu itu gak akan terjadi. Mereka bisa tua di rumah,” tekannya.

Wina mengambil contoh rekannya yang merupakan seorang difabel bernama Yuni. Dia bercerita bahwa sebelum bergabung dengan Difabel Zone, Yunitidak bisa berbahasa Indonesia lantaran tidak pernah beraktivitas di luar rumah.

“Dia punya penghasilan dari upah membatik, bisa ngasih orang tuanya uang, itu suatu yang luar biasa, ya,” ucap Wina.

Didasari semangat itulah Wina berbangga hati menunjukkan karya-karya para difabel ke publik.

Logo Difabel Zone adalah gambar manusia berkursi roda. Wina mengatakan bahwa dia sengaja merancang logo itu untuk menonjolkan jati diri para penyandang disabilitas.

Logo ini justru suatu kebanggaan buat kami. Maksudnya ‘kami bisa loh bikin barang sekeren itu, dan barang itu dipakai sampai luar negeri loh’. Jadi, [ingin menunjukkan batik] itu yang buat orang difabel,” kata Wina.

Itu justru bukan suatu hal yang harus disembunyikan,” imbuhnya.

Wina juga bertekad menghapus stereotipebahwa penyandang disabilitas adalah orang yang tidak berdaya.

“Padahal, sebenarnya mereka ketika diberikan satu kesempatan, diberi pelatihan, diberi ruang untuk mereka bisa mengekspresikan dirinya, saya mendampingi mereka tujuh tahun dan mereka menghasilkan karya yang luar biasa,” ceritanya.

Itu terbukti sekarang.Dengan semangat para pengrajin dan dibantu kekuatan media sosial, karya Difabel Zone berhasil tembus ke pasar Internasional. Produk-produk Difabel Zone kinidikirim ke berbagai negara, seperti Jepang, Prancis, Belanda, Jerman, dan Australia.

“Kami beberapa kali sudah bekerja sama dengan villa dan resort di seputar Jogja. Di hotel, banyak tamu asing yang tertarik untuk membatik bersama teman-teman, gitu,” ungkap Wina.

Meski demikian, Wina belum bisa memberitahu jumlah keuntungan yang diraup Difabel Zone dalam sebulan karena pembelian produk mereka masih dalam skala kecil.

“Makanya ke depan kami punya banyak harapan untuk komunitas ini. Kemudian, ada satu tempat yang mungkin lebih permanen karena sekarang masih sewa,” ucapnya.

Wina berharap di masa depan semakin banyak penyandang disabilitas yang mendapatkan kesempatan untuk berkarya. Wina juga bercita-cita suatu saat dirinya dapat lebih banyak menjangkau para difabel, tak hanya di wilayah Bantul.

Kerajinan batik produksi Difabel Zone sendiri dapat dibeli secara langsung atau daring melalui akun Instagram @difabelzone.id.

Baca juga artikel terkait KAUM DIFABEL atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - News
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Fadrik Aziz Firdausi