tirto.id - Wangi malam sudah tercium, begitu saya menginjakkan kaki di pelataran workshop Difabelzone, Dusun Nglarang, Kalurahan Triharjo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Aroma lilin khusus untuk batik tulis itu mengudara bersama gelak tawa para penghuni rumah.
Sebagian anggota komunitas Difabelzone tengah sibuk menyelesaikan karya batik tulis saat saya berkunjung beberapa hari lalu. Mulyani, Andriyani, dan Rahmat mengukir malam dengan canting pada pola di kain mori. Ika Yuniar, dengan gemetar tangannya memoleskan motif garis menggunakan kuas. Sementara Muhammad Sabar, duduk di kursi roda masih menikmati waktu istirahatnya menatap ponsel layar sentuh.
Mbak Yani, sapaan akrab Mulyani, masih sibuk dengan lembaran kain di tangannya sembari membuka obrolan dengan mengatakan bahwa Difabelzone mulanya merupakan komunitas pada 2016. Semacam wadah bagi difabel atau disabilitas yang merupakan sesama lulusan Pusat Rehabilitasi YAKKUM. Hingga akhirnya, mereka bertemu dalam pelatihan batik dengan Lidwina Wuri Akhdiyatni.
“Komunitas ini (Difabelzone) sangat bermanfaat. Dulu kayaknya yang difabel cuma saya. Setelah keluar, ternyata banyak juga teman difabel. Jadi saya terdukung secara mental,” ucap Mbak Yani sembari tersenyum, menatap lukiran malam yang dibubuhkannya pada mori.
Difabelzone, kata Mbak Yani, yang kemudian menjadi sebuah merek usaha mikro kecil menengah (UMKM) pada 2017 membuatnya semakin percaya diri. Sebab, dia mendapat ruang untuk diapresiasi melalui buah karyanya.
“Dulunya kalau di rumah, sebisa mungkin membantu orang tua. Tapi setelah ikut Dofabelzone jadi tambah pengalaman, tambah keterampilan, wawasan luas. Sangat bermanfaat bagi kami. Bisa ketemu sama pejabat dan teman-teman,” bebernya bangga.
Mbak Yani menuturkan, anggota Difabelzone masuk disabilitas kategori sedang-berat. Kategori ini, kerap kali ditolak saat melamar kerja. Kendati hak difabel dalam berkarya dijamin pemerintah melalui Undang-Undang No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.
“Tangannya bisa, kalau kakinya mau ikut kerja? Kalau seperti menjahit itu saya males (kesulitan). Kalau membatik bagi saya keterampilan yang ringan (dapat dikerjakan menyesuiakan kemampuan),” kata dia.
Mbak Yani lantas menyebut nama Ika. Rekan kerjanya itu harus merangkak untuk berpindah posisi. Bahkan, tangannya gemetar saat memegang sesuatu lantaran difabel daksa dengan cerebral palsy (CP) itu selalu gemetar akibat tremor. Kondisi tersebut, kata Mbak Yani, menyulitkan Ika untuk dapat diberdayakan.
“Saya sekarang apa-apa bisa beli sendiri. (Dulu) ‘Mak minta uang’, sekarang enggak,” timpal Ika.
Terbata-bata untuk mengatur napas, Ika berujar, melalui Difabelzone rasa percaya dirinya tumbuh. Dia kini mampu membanggakan diri sebagai orang yang berdaya. Bahkan, karyanya memiliki penggemar fanatik.
“Bangga karya dikagumi oleh costumer. Ada yang fanatik, banyak. Bukan hanya di Indonesia tapi juga dikirim ke luar negeri juga. Itu jadi kebanggan. Bisa ekspor,” ucapnya.
Andriyani pun turut menimpali, difabel dengan grahita itu mengaku awalnya merupakan orang yang minder. Rekan-rekannya di Difabelzone pun mendorongnya untuk aktif berbicara.
“Setelah diajak ngobrol sama teman-teman saya berusaha untuk bisa ngomong sama mbak-mbak mahasiswa dan orang-orang sekitar sini,” kata dia.
Sementara Sabar, mengaku ada perubahan perekonomian setelah bergabung dengan Difabelzone. Dia awalnya non-difabel. Namun dia mengalami kecelakaan saat memanjat pohon kelapa. “Alhamdulillah, ada perubahan ekonomi saya. Dapat ruang buat berkarya. Belajar,” ujarnya.
Sebelumnya, salah seorang pekerja Difabelzone.id, Suharsono mengaku sempat mengeluh sulit mencari kerja. Padahal ayah tiga orang anak itu beberapa kali memasukkan lamaran. Tapi mayoritas mendapat penolakan. Saat diterima, Hartono justru sulit memenuhi target perusahaan. Jadi, warga Kulonprogo tersebut pun gugur dalam masa training.
“Jujur saya saben ngelamar angel banget (setiap melamar susah sekali),” keluhnya. “Di sini enak bisa mandiri, sistem kerja di sini pun semampunya,” lanjutnya.
Anggota sekaligus pekerja di Difabelzone berasal dari berbagai wilayah di DIY, seperti Bantul, Kulonprogo, Sleman, dan Gunung Kidul. Ada pula difabel asal Jawa Tengah, antara lain dari Magelang, Salatiga, dan Boyolali. Mereka terdiri dari beragam kondisi, seperti tunadaksa, tunagrahita, CP, dan lainnya. Total sebanyak 25 difabel yang sudah menggabungkan diri di Difabelzone.
“Kami kebanyakan direkomendasikan dari YAKKUM, karena kalau dari sana riwayat medisnya jelas. Jadi lebih mudah menyesuaikan,” jelas Harsono.
Dihubungi terpisah, Lidwina Wuri Akhdiyatni menyebut bahwa banyak potensi yang bisa digali soal difabel. Itulah yang melatarbelakanginya memulai kolaborasi bersama tujuh difabel untuk mengembangkan UMKM yang bergerak di industri batik tulis. Bahkan melalui UMKM ini, difabel dengan kategori sedang ke berat dapat diberdayakan.
“Sebenarnya difabel sangat urgen untuk diberdayakan dan diberi ruang untuk bisa mandiri,” beber Wina, sapaan akrabnya.
Wina sendiri merupakan non-difabel yang memiliki kemampuan dasar desain dan meneruskan usaha batik tulis milik ibunya. Suatu ketika, Wina diminta oleh Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM) untuk memberikan pelatihan membatik dengan peserta para difabel.
Kelas yang diampu Wina berlangsung selama tiga bulan. Tapi perempuan 48 tahun itu justru berpikir keberlanjutan ilmu yang diajarkannya. Bagaimana bila tidak ada yang mau menerima peserta pelatihannya bekerja?
“Karena pasti tidak semua pengusaha mau menerima. Kebetulan yang masuk ke kelas saya klasifikasinya ringan ke berat,” sebutnya.
Wina kemudian mengajak beberapa orang rekan untuk menjadi pemodal. Sampai terkumpul dana untuk membangun usaha batik tulis. “Jadi ini inklusi, terjadi kolaborasi antara difabel dan non-difabel,” kata dia.
Wina mengaku sempat pesimistis, mengingat masyarakat ada yang belum menghargai hasil karya difabel. Selain itu, Wina juga mengkhawatirkan hasil batik tulis buatan para difabel. “Aduh, kalau sampai nggak bisa bagaimana? Padahal mereka semangat belajarnya tinggi. Saya nggak mungkin mematahkan semangat mereka,” bebernya.
Wina juga mengakui, sempat menilai batik karya difabel binaannya kurang menarik. “Eh, tapi ternyata goresan mereka justru tidak tergantikan. Justru itu menjadi ciri khas, dengan keunikan goresan-goresan itu,” imbuhnya.
Terbukti, karya UMKM yang berdiri sejak 2017 ini sampai memiliki penggemar fanatik. Di mana beberapa pelanggan meminta agar foto kain batik tulis karya Difabelzone dikirimkan terlebih dulu kepada mereka, sebelum ditawarkan secara luas.
Selain itu, mereka mampu mengirim produk karyanya sampai ke Jepang, Jerman, dan Australia. “Alhamdulillah, sekarang teman-teman bisa membantu keluarganya,” ujarnya terharu.
Seperti salah satu pekerja yang bernama Sabar. Pemuda itu mampu membelikan ibunya kompor gas. Sebelumnya ia merasa iba dengan ibunya yang memasak menggunakan tungku atau keren. Tiap pulang ke rumah, Sabar pun dapat memberikan uang jajan kepada keponakannya.
“Kepercayaan dirinya tumbuh. Padahal pertama kali saya ketemu, tatapan matanya kosong,” bebernya.
Berhasil dengan batik tulis karyanya, pekerja di Difabelzone.id kemudian mulai membagi ilmunya sejak 2018. Mereka mengembangkan diri dengan menawarkan wisata inklusi. Difabelzone.id bukan lagi hanya memproduksi batik tulis, tapi juga memberikan kelas edukasi. Jadi wisatawan dapat belajar membatik bersama para difabel.
“Itu saya sampai terharu. Ada wisatawan yang datang dan tidak mampu berbahasa Inggris dengan baik. Tapi para wisatawan ini bisa berinteraksi dengan para difabel dan tertawa bersama,” ujarnya.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Abdul Aziz