tirto.id - Pemandangan tidak biasa mengisi halaman gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Selasa (10/12/2024). Meski gerimis, antusiasme ratusan difabel atau disabilitas yang tergabung dalam Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia bersama jaringan organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta tidak luntur untuk berkumpul menggelar mimbar terbuka.
Kegiatan tersebut sebagai refleksi momentum tiga peringatan, yaitu Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang jatuh pada 25 November, Hari Disabilitas Internasional pada 3 Desember, dan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada 10 Desember.
Anis Novita Sari, Ketua Panitia Mimbar Perempuan dan Difabel, mengatakan, aksi ini merupakan kegiatan lanjutan setelah mereka menggelar sidang perempuan pada 7 Desember 2024. Sebelumnya, dalam sidang, mereka telah melakukan rumusan dengan menghadirkan 20 penyintas. Antara lain perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan, terutama perempuan difabel.
Selain itu, mengundang orang tua dengan anak difabel. “Mereka menceritakan tahapan yang mereka lalui dalam menyelesaikan kasusnya,” kata Anis saat diwawancarai di lokasi acara, Selasa (10/12/2024).
Pembahasan sidang yang juga melibatkan aparat penegak hukum, menghasilkan policy brief. Selanjutnya, hasil sidang itu dibawa dalam kegiatan mimbar terbuka. Mengundang sebanyak 150 orang pegiat difabel dan organisasi inklusivitas, diharapkan terjadi komitmen bersama menciptakan tatanan sosial yang inklusi.
“Nah dari agenda policy brief, diharapkan ada komitmen dari pemerintah [meliputi] DPRD DIY, DP3AP2, Kejari, dan Unit PPA Polresta Yogyakarta. Diharapkan, tindak kekerasan terhadap perempuan terutama perempuan difabel akan menurun,” kata dia.
Muhammad Joni Yulianto, Direktur SIGAB Indonesia, menuturkan, perempuan difabel memiliki kerentanan berlapis yang membuat memungkinkan mengalami kekerasan. Mereka rentan pada kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan lainnya. Meskipun beberapa kebijakan dan praktik dalam upaya perlindungan baik sudah ada, fakta di lapangan menunjukkan tetap terjadi kerentanan berlapis.
“Bahkan perempuan difabel juga kerap menjadi korban eksploitasi. Ironinya perempuan difabel juga menjadi kekerasan secara struktural baik secara adat, maupun kebijakan-kebijakan negara,” jelas Joni.
Joni juga menjelaskan, pendampingan kasus yang dilakukan SIGAB terhadap difabel yang menjadi korban dari 2016 hingga 2024 ada 183 kasus. Mulai dari kasus kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, sampai penelantaran dan kasus lainnya.
Sedangkan data Komnas Perempuan pada 2010 hingga 2012, ada 10.961 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dari angka tersebut, 35 persennya menimpa perempuan difabel. Jika dihitung lebih jauh, 35 persen dari 10.961 kasus adalah sekitar 3.836 kasus. Jadi jika dijadikan rata-rata, setiap tahunnya ada 1.278 kasus kekerasan yang menimpa perempuan difabel. Dengan kata lain, ada 3-4 kasus kekerasan yang menimpa perempuan difabel setiap harinya.
“Yang jadi penting saat ini adalah terus mengingatkan prinsip-prinsip pemenuhan dalam kerangka Hak Asasi Manusia, bukan hanya baik di atas kertas, tapi juga diingatkan untuk dilaksanakan dan diimplementasikan,” tegas Joni dalam orasinya.
Nani Indarti, perwakilan dari Komunitas Uniq Project Teater Yogyakarta juga turut bersuara. Melalui tiga momen peringatan ini, dia ingin memperkuat dan memperluas kesadaran masyarakat terhadap hak-hak perempuan difabel. Ia juga berharap, proses-proses pemberdayaan perempuan difabel semakin giat dilakukan.
“Dengan momen seperti ini, masyarakat jadi sadar bahwa perempuan difabel memiliki hak untuk dilindungi. Di mana kesadaran ini harapannya bisa mengurangi kasus-kasus yang menimpa perempuan difabel,” kata dia.
Memandang Difabel sebagai Pelaku
Direktur SIGAB Indonesia memberikan tanggapan terhadap I Wayan Agus Suartama (IWAS), difabel tunadaksa terduga pelaku pelecehan dan pemerkosaan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Joni menyatakan, lembaganya telah mengulas kasus tersebut dalam perbincangan yang rutin tayang di saluran Youtube.
“Kami juga bahas, kalau pandangan SIGAB, difabel sangat mungkin jadi pelaku pemerkosaan maupun korban,” ujar Joni.
Joni menjelaskan, kekerasan terhadap perempuan kerap kali relasinya bukan soal kekerasan fisik. Tapi juga dapat dilakukan dengan cara-cara intimidasi. Cara ini, menurut dia, justru jauh lebih berpengaruh daripada kekerasan fisik yang mudah dibuktikan.
“Jadi kalau analisanya, hanya tidak memiliki tangan, ya sangat mungkin [melakukan tindak kekerasan]. Cuma kami tidak mendampingi. Jadi tidak bisa bicara banyak atau menjadi bagian yang menginvestigasi,” kata dia.
Joni pun membeberkan, SIGAB aktif memberikan edukasi pada difabel. Berkoordinasi dengan mitra organisasi, mereka menyebarkan pemahaman bagi difabel untuk membentengi diri. Bukan hanya agar terhindar sebagai korban, tapi juga jangan sampai menjadi pelaku kekerasan.
“Kami di SIGAB dan mitra organisasi lain, punya SOP self guarding untuk mengantisipasi. Semua yang bermitra dengan SIGAP tahu tentang apa itu dan bagaimana bentuk tindak kekerasan dan tidak melakukan itu. Edukasi itu, terus kami lakukan, terutama untuk teman-teman internal yang jadi bagian dari sigap sendiri,” ujarnya.
Komitmen Penegak Hukum
Mimbar terbuka yang digelar SIGAB bersama jaringan organisasi masyarakat sipil di Yogyakarta dihadiri oleh perwakilan Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Polresta Yogyakarta.
Ratna Dianing Wulansari, Hakim PN Yogyakarta, menyatakan bahwa pada intinya institusinya mendukung komitmen inklusivitas. Sebab, pihaknya memiliki program, yang memperhatikan perempuan dan difabel.
“Penegak hukum di pengadilan kami, semua dalam menghadapi perkara yang datang dengan melibatkan difabel dan perempuan ada aturannya [khusus],” beber Ratna dalam mimbar terbuka.
Ratna juga menyatakan bahwa difabel memiliki prioritas khusus. Kebijakan tersebut menganut peraturan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung (MA).
“Ibu berhadapan hukum ada pendampingan penasihat hukum. Difabel sebagai terdakwa dan saksi ada pendampingan. Kalau ada [kasus melibatkan perempuan dan difabel] dapat prioritas dan perlindungan,” tegasnya.
Senada, Kanit PPA Satreskrim Polresta Yogyakarta, Ipda Apri Sawitri, menyatakan komitmen kepolisian dalam memberikan perlindungan bagi perempuan dan difabel.
“Kami berkomitmen pada perempuan, anak, dan difabel dalam penanganan kasusnya sampai akhir. Kami akan meningkatkan pelayanan. Maaf kalau masih ada kekurangan tapi kami akan memperbaiki,” kata Apri.
Apri pun menegaskan, siapa pun yang mengalami tindak kekerasan untuk berani lapor ke polisi. “Jangan minder, harus semangat. Jangan apatis atau buta hukum. Dibaca, kalau tidak, mendengarkan. Mohon tahu apa tindak kekerasan seksual. Jangan hanya diam, tapi juga berani laporkan,” kata dia.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Abdul Aziz