tirto.id - Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, mengusulkan adanya omnibus law di bidang perumahan. Dengan omnibus law perumahan, berbagai peraturan terkait sektor perumahan dapat disatukan sehingga diharapkan dapat membantu para pengembang perumahan dan mempermudah pengembangan perumahan rakyat.
Terlebih, menurut Fahri,saat ini masih banyak regulasi yang justru membuat iklim investasi di bidang perumahan tak berkembang dengan maksimal.
“Kami ingin dengan terbentuknya Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukinan tidak hanya membangun institusi baru. Akan tetapi, ke depan juga perlu ada omnibus law perumahan sehingga panduan dan peraturan perumahan bisa dijadikan satu,” kata Fahri dalam acara Percepatan Penyaluran Program 3 Juta Rumah di Menara BTN, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Terkait usulan tersebut, Fahri pun telah berupaya melakukan koordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga untuk melihat benang kusut regulasi terkait perumahan.
“Perlu ada komitmen bersama untuk menyelesaikan perizinan. Sebab, negara kita selama ini terkenal berbelit-belit soal perizinan dan berbagai peraturan yang mempersulit ketika dilaksanakan di lapangan,” sambung Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2014-2019 itu.
Fahri juga mengaku tengah membentuk tim perumus omnibus law bidang perumahan. Dalam perumusannya, dia mengaku dibantu oleh beberapa guru besar atau profesor dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
“Jadi, ada beberapa undang-undang yang kami identifikasi. Itu ingin kami gabungkan. Saya kemarin dikontak oleh beberapa profesor yang ingin bantu dari beberapa kampus. Tapi, semua sedang dalam diskusi," katanya, dikutip Antara, Selasa (10/12/2024).
Selain itu, politikus Partai Gelora itu akan berkoordinasi dengan DPR agar omnibus law perumahan bisa segera disusun seperti halnya UU Cipta Kerja dan UU Kesehatan.
“Supaya mempermudah kalau mau masuk ke industri perumahan dan berbisnis perumahan. Itu satu dokumen, seperti kita membuat omnibus law tenaga kerja, kesehatan. Itu satu dokumen menyelesaikan semua. Satu buku undang-undang menyelesaikan semua supaya memudahkan aja,” imbuh Fahri.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perumahan, Iwan Suprijanto, menjelaskan bahwa pihaknya belum bisa membeberkan aturan apa saja yang nantinya akan dilebur dalamomnibus law bidang perumahan. Pasalnya, Kementerian PKP saat ini masih berfokus merampungkan pembahasan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK).
Menurutnya, pembahasan soal omnibus law baru di bidang perumahan baru akan serius dibahas usai SOTK tersebut rampung.
“SOTK belum selesai, jadi pejabat strukturalnya juga belum ditetapkan,” katanya singkat melalui aplikasi perpesanan, Selasa (10/12/2024).
Mengurai Tumpang Tindih Regulasi
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Junaidi Abdullah, menilai bahwa usulan Wamen PKP untuk membentuk omnibus law perumahan patut diacungi jempol. Sebab, terobosan seperti itulah yang memang diinginkan para pengembang perumahan selama ini.
Apalagi, banyak sekali institusi atau stakeholder yang terlibat dalam ekosistem perumahan di Indonesia. Stakeholder-stakeholder itu antara lain pemerintah yang terdiri dari Kementerian PKP, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Kemudian, ada pula perusahaan pengembang atau developer perumahan hingga lembaga pembiayaan, baik perbankan maupun PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) yang merupakan lembaga pembiayaan di bawah Kementerian Keuangan.
Kondisi ini kemudian membuat banyak aturan di berbagai kementerian dan lembaga itu tumpang-tindih sehingga menciptakan hambatan untuk pengembangan perumahan nasional.
“Nah, ketika ini [segala regulasi terkait perumahan] disinergikan atau disinkronkan antarkementerian, maka yang selama ini menjadi hambatan itu bisa diatasi dengan omnibus law, yang disampaikan oleh Kementerian PKP,” kata Junaidi saat dihubungi Tirto, Selasa (10/12/2024).
Salah satu aturan yang belum berjalan efektif, menurutJunaidi, adalah soal tanggung jawab pemenuhan rumah rakyat yang termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP).
Beleid tersebut menyatakan bahwa pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat. Hal itu dicapai melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat.
Tugas itu pun harus dijalankan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Contoh lain, kebijakan-kebijakan antara Menteri PKP dengan [Kementerian] Lingkungan Hidup terkait perumahan itu berbeda,” imbuh Junaidi.
Di Kementerian Lingkungan Hidup, ketentuan soal izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) ditetapkan dalam Peraturan Menteri LH Nomor 8 Tahun 2013. Peraturan itu mewajibkan setiap orang yang melakukan kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL untuk memenuhi ketentuan ini dalam rangka menjaga lingkungan.
Kemudian, aturan lebih lanjut soal izin AMDAL untuk sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat (PUPR) diatur dalam Permen LHK Nomor 4 Tahun 2021.
“Contoh-contoh itu adalah yang selama ini menjadi sumbatan penghambat program pemerintah dalam menyediakan rumah,” ucap Junaidi.
Meski usulan penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) cukup cepat karena telah bisa dilakukan melalui online single submission(OSS), proses mendapat izin tersebut setidaknya butuh waktu enam bulan atau bahkan sampai satu tahun. Belum lagi, nihilnya standarisasi membuat biaya pengajuan izin cukup mahal.
“Jadi, kalau untuk PBG itu sebentar karena online system. Tapi, menuju ke proses PBG itu yang sangat panjang, mahal, dan tidak jelas. Bisa makan waktu bervariasi, enam bulan sampai setahun. Makanya itu kalau yang biayanya kenceng, duitnya kenceng, ya bisa jadi lebih cepat,” kata Junaidi.
Selain menuntaskan masalah tumpang tindih dan aturan berbelit, Junaidi menilai bahwaomnibus law perumahan bisa menjadi “jalan tol” bagi Kementerian PKP untuk menjalankan Program 3 Juta Rumah untuk rakyat.
Hanya saja, di dalam undang-undang sapu jagat tersebut harus pula diatur soal bagaimana caranya supaya masyarakat berpendapatan rendah (MBR) bisa lebih mudah mengakses rumah.
“Selama ini kan, hambatannya ada satu kebijakan atau aturan yang berbeda [tiap stakeholder]. Kedua, bagaimana memudahkan masyarakat MBR memiliki rumah. Itu juga harus dibahas karena masyarakat ini yang pertama non-fee income dan unbankable yang harus dapat perhatian khusus,” tegas Junaidi.
Berkaca pada UU Ciptaker yang Ugal-ugalan
Terobosan, kata Head of Regional Planning Division Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustiadi, memang diperlukan untuk mengatasi masalah perumahan. Apalagi, sampai saat ini masih banyak keluarga yang tidak memiliki rumah atau memiliki rumah, tapi dengan sarana-prasarana tak memadai dan sanitasi buruk.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi (Susenas) 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), angka backlog perumahan di Indonesia mengalami penurunan dari 10,51 juta unit pada 2022 menjadi 9,9 juta unit pada 2023. Meski turun, angka 9 juta unit masih menunjukkan kebutuhan perumahan yang sangat besar dan mendesak.
Meski demikian, Ernan menilaiomnibus law perumahan bukan merupakan jawaban yang tepat untuk masalah tersebut. Terlebih bila kita berkaca dari proses pembuatan Omnibus Law Cipta Kerja dan Kesehatan yang tak memenuhi kaidah konstitusi dan sangat minim melibatkan partisipasi publik.
“Ini kan pengalaman omnibus law[Cipta Kerja].Kita menyaksikan sendiri bagaimana prosesnya dianggap tidak memenuhi kaidah-kaidah konstitusi yang banyak kalangan mengkritisi. Saya tidak menganggap itu partisipatif, banyak kelemahannya,” kata Ernan kepada Tirto, Selasa (10/12/2024).
Sebaliknya, banyak pihak menilai bahwa lolosnya Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU merupakan jalan pintas pemerintah untuk memuluskan pengerjaan proyek-proyek strategis nasional (PSN).
Alih-alih membuat omnibus law baru, Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Pengembangan Masyarakat Agromaritim itu menilai akan lebih baik bila pemerintah meninjau kembali aturan terkait sektor perumahan yang sudah diakomodasi juga dalam UU Cipta Kerja.
Pasalnya, masalah perumahan nasional yang tak kunjung membaik sampai saat ini jelas menunjukkan bahwa aturan yang sudah ada tidak diimplementasikan dengan baik.
“Itu banyak ketentuan-ketentuan yang enggak jalan. Karena, memang kelihatannya waktu undang-undang itu dibuat, kita tidak mempertimbangkan potensi sektor swasta. Sekarang, kita menyaksikan bahwa sektor swasta kita itu kan harus diatur,” sambung Ernan.
Sama halnya dengan UU Cipta Kerja, jangan sampai omnibus lawterkait perumahan berakhir hanya menguntungkan pihak swasta. Padahal, tujuan pembentukan UU sapu jagat semacam itu mestinya adalah untuk benar-benar mengembangkan perumahan rakyat.
“Ekses dari UU CK aja belum selesai nih banyaknya. Menyimpan masalah yang tidak dituntaskan. Terkesan menciptakan masalah baru. Kenapa kita tidak fokus ke penyempurnaan [aturan] yang sudah ada, walaupun terbatas? Saya rasa tidak harus dengan pendekatan omnibus law yang berpotensi makan energi besar,” tegas Ernan.
Senada dengan Ernan, Pakar Tata Ruang Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, menilai bahwa pemerintah seharusnya merenungkan kembali apakah omnibus law perumahan memang betul diperlukan atau tidak. Jangan sampai undang-undang sapu jagat tentang perumahan itu sekadar jadi jalan keluar untuk menyukseskan Program 3 Juta Rumah.
“Masalahnya, yang terjadi sekarang, apa yang mau dilompati lagi? Misalnya, contoh ada target 3 juta [rumah], sementara anggaran Rp5 triliun [untuk Kementerian PKP].Bisa enggak itu target tercapai? Mungkin ada kendala di situ,” terang Yayat kepada Tirto, Selasa (10/12/2024).
Sebagai informasi, alokasi anggaran yang disetujui DPR untuk Kementerian PKP sebesar Rp5,27 triliun untuk Tahun Anggaran (TA) 2024. Menurut pengajar teknik planologi itu, besaran anggaran itu menunjukkan bahwa pemerintah tak serius mengurus masalah perumahan rakyat.
Lagi pula, kata Yayat, ketimbang menjadikan omnibus law sebagai jalan keluar, ada baiknya Menteri PKP, Maruarar Sirait, lebih menjelaskan detail program “gotong royong” yang menjadi andalannya.
Konsep gotong royong itu terlontar saat Ara, sapaan Maruarar, menandatangani kesepakatan dengan bos Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, untuk membangun 250 rumah gratis di Tangerang, Banten. Tanah untuk perumahan itu berasal dari Ara dan Aguan berperan sebagai pengembang.
“Konsep gotong royong kan harus jelas. Uang itu uang siapa? Apakah rumah yang dibangun swasta untuk membangun rumah itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan urusan pemerintah?” lanjut dia.
Menurut Yayat, tak masalah kalau pemerintah ingin membangun 3 juta rumah dengan menggandeng swasta. Namun, skema pembangunannya harus jelas dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Non-APBN. Pasalnya, kerja sama itu sama sekali tak menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Dalam RKP non-APBN ini, pemerintah pun harus transparan dan jujur tentang kesanggupannya dalam membangun perumahan rakyat.
“Jangan sampai, dibantu-bantu, lalu dianggap gratifikasi. Kan kasihan rakyat yang nanti menempati tanah itu juga,” sambung Yayat.
Selain pengusaha, pemerintah seharusnya juga menggerakkan partisipasi pemerintah daerah. Namun, Yayat sangsi dengan keputusan pemerintah saat ini yang menghapus bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan persetujuan bangunan gedung (PBG). Meski tujuannya adalah membuat harga rumah di daerah lebih rendah, tapi kedua jenis pajak itu merupakan penghasilan asli daerah (PAD) yang didapat dari kegiatan usaha membangun.
“Saat ini, yang dibutuhkan justru aturan-aturan yang membantu konsep gotong-royong itu. Jadi, omnibus law itu dipertanyakan. Contoh di Undang-Undang Cipta Kerja, efektif enggak itu dijalankan sepenuhnya? [Aturan] RDTR [Rencana Detail Tata Ruang] kan enggak, belum,” tukas Yayat.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi