tirto.id - Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Kabinet Merah Putih agar tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen dapat dikenakan kepada barang-barang mewah. Sehingga, nantinya tarif PPN anyar yang mulai berlaku per 1 Januari 2025 tersebut hanya menyasar masyarakat menengah ke atas yang membeli barang mewah saja.
"Jadi itu tadi yang disampaikan ada tiga poin, yang pertama untuk PPN 12 persen akan dikenakan hanya kepada barang-barang mewah, jadi secara selektif," kata Dasco di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (5/12/2024).
Sementara kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah tetap dikenakan tarif PPN 11 persen, seperti yang masih berlaku sampai saat ini.
"Kemudian yang kedua, barang-barang pokok dan berkaitan dengan pelayanan dan lain-lain yang langsung menyentuh kepada masyarakat," imbuhnya.
Dalam pertemuan tersebut, Prabowo juga disebut berjanji kepada perwakilan untuk mengkaji ulang penaikan tarif PPN menjadi 12 persen.
Sementara pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyampaikan, rencana ini diusulkan DPR karena melihat masyarakat kelas menengah atas lah yang masih bisa mengakses barang-barang mewah. Apalagi, barang-barang golongan tersebut juga telah dikenakan PPN atas Barang Mewah (PPnBM) dan bea masuk impor.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 15/PMK.03/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2021 tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
"Jadi masyarakat kelas atas lah yang akan mempunyai kemampuan barang mewah, itu yang dikenakan," ujar Misbakhun.
Berdasar PMK 15/2023, tarif PPnBM beragam, dengan paling rendah ialah sebesar 10 persen dan paling tinggi 200 persen. Adapun dalam uraian barang di PMK 15/2023, disebutkan bahwa kelompok barang yang digolongkan sebagai barang mewah dan tarifnya, antara lain:
Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual Rp30 miliar atau lebih. Pada kelompok ini tarif PPnBM yang berlaku sebesar 20 persen;
Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak, dengan tarif PPnBM 40 persen;
Kelompok peluru senjata api dan senjata api lain, kecuali untuk keperluan negara, dengan tarif PPnBM 40 persen;
Kelompok pesawat udara selain yang dikenakan tarif 40 persen kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga (helikopter, pesawat udara dan kendaraan udara lain selain helikopter), dengan tarif 50 persen;
Kelompok senjata api dan senjata api lainnya kecuali untuk keperluan negara (senjata artileri, revolver dan pistol) serta senjata api (selain senjata artileri, revolver dan pistol) dan peralatan semacam itu yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak dengan tarif 50 persen;
Kelompok kapal pesiar mewah kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum seperti kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacam itu terutama dirancang untuk pengangkutan orang, kapal feri dari semua jenis, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum. Kemudian yacht, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum atau usaha pariwisata, dengan tarif PPnBM 75 persen.
Selain itu, ada pula barang mewah yang dikenakan PPnBM melalui PMK Nomor 9 Tahun 2024 Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Impor Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu Yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2024. Adapun barang mewah yang dibebaskan pajaknya oleh pemerintah adalah Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu.
Sementara ketentuan PPnBM untuk barang elektronik, sepatu dan tas telah dihapuskan sejak tahun lalu untuk mendorong konsumsi domestik.
Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menyebut kebijakan insentif PPN DTP (Ditanggung Pemerintah) dan PPnBM DTP juga masih akan diberikan di tahun depan. Dus, kebijakan ini pun akan selaras dengan penerapan PPN 12 persen untuk barang mewah. Apalagi, insentif PPN DTP diberikan hanya ke sektor-sektor yang telah memberikan sumbangan ekonomi besar ke negara.
“Tidak, tidak (tidak kontradiktif). Ini kan untuk sektor tertentu yang kontribusinya besar terhadap ekonomi dan yang menyentuh ke rakyat,” ujar Susiwijono saat ditemui usai acara Indonesia SEZ di Jakarta, Senin (9/12/2024).
Selain selaras, PPN ditanggung pemerintah untuk barang mewah ini juga diharapkan bisa menjadi penangkal dampak yang mungkin ditimbulkan dari penaikan tarif PPN 12 persen.
“Ya, kan sedang dikaji untuk membalance dampaknya PPN 12 persen. Kita kan memberikan usulan beberapa skema insentif fiskal khususnya yang PPNDTP dan PPNBM DTP. Lagi difinalisasi angka-angkanya,” tambah Susiwijono.
Sementara itu, Deputi Direktur Center for Indonesian Taxation (CITA), Ruben Hutabarat, menilai penerapan PPN 12 persen hanya untuk barang mewah merupakan win-win solution alias solusi terbaik di tengah sisa waktu kurang dari sebulan. Pasalnya, sesuai Pasal 7 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN 12 Persen paling lambat berlaku per 1 Januari 2025.
“Kenapa win-win solution? Satu sisi kan pemerintah harus menjalankan apa yang sudah diamanatkan undang-undang, di (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kalau itu tidak dijalankan, pemerintah mesti mengganti undang-undangnya atau mencabutnya dengan Perpu,” katanya, saat dihubungi Tirto, Senin (9/12/2024).
Namun, Desember hanya tersisa tiga minggu lagi. Dalam jangka waktu yang singkat ini, pemerintah nampaknya tak punya alasan kuat untuk mencabut aturan penaikan PPN 12 persen yang ada dalam UU HPP.
“Jadi kalau memang betul pada akhirnya pemerintah hanya menggunakan PPN 12 persen pada barang-barang yang barang mewah, ya ini udah win-win solution,” tegas Ruben.
Di sisi lain, dampak yang ditimbulkan dari penerapan tarif PPN 12 persen kepada barang mewah pun lebih terbatas ketimbang mengenakan tarif PPN 12 persen kepada seluruh barang dan jasa, kecuali barang-barang yang dikecualikan seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran.
Selain itu, seiring dengan harganya yang tinggi, permintaan terhadap barang mewah juga cenderung tidak elastis, meski terdapat kenaikan 1 persen padanya.
Apalagi, dari berbagai jenis barang yang masuk dalam kelompok barang mewah sesuai PMK 15/2023, masih banyak yang didatangkan dari luar negeri, sehingga tak terlalu berdampak pada industri dalam negeri.
“Walaupun sejujurnya barang-barang yang terkena PPnBM ini sendiri impor banyak juga yang tidak impor, seperti properti. Apartemen mewah itu kan dia nggak impor. Dibangun oleh developer di dalam negeri,” tambahnya.
Lebih lanjut Ruben menjelaskan, meski ada PPnBM dan bea masuk impor yang dikenakan atas barang-barang yang direncanakan bakal dikenali tarif PPN 12 persen, namun bukan berarti konsumen harus membayar pajak dobel. PPnBM dan bea masuk impor, ujar dia, hanya dikenakan sekali saat barang mewah memasuki wilayah kepabeanan Indonesia. Sedangkan PPN 12 persen akan dikenakan di setiap mata rantai produksi barang mewah tersebut.
Sehingga, saat kebijakan kebijakan ini diterapkan, akan ada kebijakan multi tarif PPN: tarif PPN 12 persen untuk barang mewah dan tarif PPN 11 persen untuk barang dan jasa bukan barang mewah. Kondisi ini, pun dapat membawa tantangan tersendiri bagi produsen dan pemerintah. Karena untuk satu produsen atau pengusaha, bisa jadi akan memproduksi lebih dari satu jenis barang, barang biasa yang dikenakan tarif PPN 11 persen dan barang mewah dengan tarif PPN 12 persen.
Contohnya, dari satu developer properti dapat memproduksi apartemen dengan harga lebih dari Rp30 miliar yang tergolong dalam barang mewah dan membangun apartemen seharga Rp25 miliar yang tidak masuk dalam golongan barang mewah.
“Dia kan harus berhati-hati membuka faktur pajaknya untuk memastikan barangnya enggak salah. Barangnya benar-benar dikenakan dengan tarif yang betul. Orang harus berhati-hati supaya memastikan dia tidak salah menggunakan tarif yang harusnya 12 persen jadi 11 persen,” terang Ruben.
Karena itu, agar kesalahan semacam ini tak terjadi, Ruben masih melihat kebijakan single (satu) tarif PPN masih menjadi jalan terbaik yang dipilih pemerintah. Kendati, tarif PPN 11 persen lah yang harus diterapkan.
Sebab, jika pemerintah tetap memilih tarif 12 persen, jelas yang terjadi adalah akan adanya pelemahan daya beli masyarakat. Apalagi, sejak 10 tahun terakhir disposable income masyarakat Indonesia terus mengalami penurunan, sampai kira-kira di kisaran 72 persen di 2023.
“Disposable income itu adalah uang yang bisa dibelanjakan oleh masyarakat. Dengan dia harus dibebankan lagi pajak, dengan demikian disposable income-nya semakin menurun. Masih menurun permintaan, maka produksi juga ini kan melemah,” tukas Ruben.
Dihubungi terpisah, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai, meski PPN 12 persen hanya ditarik dari pembelian barang mewah, tetap saja akan berdampak pada rakyat cilik. Apalagi, tidak ada definisi yang jelas dari apa itu ‘barang mewah’.
Dalam konteks pajak, barang mewah memang biasanya mencakup produk seperti kendaraan bermotor premium, perhiasan, barang elektronik mahal, dan properti dengan nilai tertentu. Namun, batasan nilai barang yang dianggap mewah sering kali tidak sesuai dengan daya beli masyarakat pada tingkat menengah ke bawah.
“Sebagai contoh, dalam situasi inflasi atau kenaikan harga barang, produk yang sebelumnya dianggap sebagai kebutuhan sekunder dapat dengan mudah masuk ke kategori barang mewah. Misalnya, beberapa barang elektronik seperti ponsel kelas menengah atas yang sering digunakan untuk bekerja atau pendidikan kini bisa dikenakan pajak yang lebih tinggi,” kata Achmad, kepada Tirto, Senin (9/12/2024).
Soal dampak, pengenaan tarif PPN 12 persen terhadap barang mewah dapat menimbulkan efek domino ke barang dan jasa lain, utamanya ke barang-barang yang masih berkaitan dengan barang mewah kena pajak. Contohnya, saat PPN 12 persen dikenakan kepada kendaraan bermotor mewah, maka tarif pajak tersebut akan membuat industri pendukung yang meliputi layanan perbaikan, asuransi, hingga suku cadang terimbas.
Alhasil, jika produsen dan penyedia jasa di sektor ini menaikkan harga untuk menyesuaikan kenaikan tarif pajak, jelas masyarakat menengah yang menggunakan produk atau layanan serupa juga turut terdampak.
“Hal serupa terjadi pada sektor properti. Properti dengan harga tertentu yang masuk dalam kategori barang mewah akan dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi, dan ini dapat berdampak pada harga sewa, biaya perawatan, atau bahkan biaya bahan bangunan. Akhirnya, biaya tambahan tersebut akan dibebankan kepada konsumen akhir, termasuk kelompok masyarakat menengah dan kecil,” lanjut Achmad.
Selain itu, meski tarif PPN 12 persen dikenakan untuk barang-barang non-esensial atau bukan kebutuhan pokok, dalam praktiknya kenaikan harga barang mewah dapat memicu kenaikan harga barang lain di pasar.
“Sebagai contoh, barang elektronik yang dianggap mewah seperti laptop atau ponsel pintar yang jadi kebutuhan penting, terutama bagi masyarakat kelas menengah yang menggunakannya untuk bekerja atau belajar. Jika harga barang-barang ini naik akibat pajak, maka kelompok masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan untuk mengakses teknologi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Pada akhirnya, tarif PPN 12 persen kepada barang mewah akan berpotensi membuat kelompok masyarakat kelas menengah yang tengah mencoba menaikkan taraf hidupnya kembali menahan belanja. Padahal, selama ini kelompok masyarakat dari golongan ini selalu digadang-gadang pemerintah sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Bagaimana tidak, Pada tahun 2024, jumlah kelas menengah dan menuju kelas menengah di Indonesia mencapai 66,35 persen dari total penduduk.
Meski begitu, dengan dominasi ini, kelas menengah juga menjadi yang paling rentan terhadap kebijakan yang dirilis pemerintah.
“Ketika harga barang yang dulunya terjangkau oleh mereka menjadi lebih mahal, daya beli kelompok ini akan melemah. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat mobilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi,” kata Achmad.
Pada saat yang sama, ketika permintaan terhadap barang mewah mengalami penurunan, dikhawatirkan produksi terhadap barang-barang tersebut juga ikut melemah. Padahal, pekerja yang memproduksi barang-barang mewah adalah mereka yang tergolong dalam rakyat kecil dengan pendapatan rendah.
“Contohnya, pekerja di industri perhotelan, katering untuk acara-acara besar, atau bahkan pedagang kecil yang berjualan di sekitar kawasan mewah bisa kehilangan pendapatan jika konsumsi di sektor ini menurun,” sambung dia.
Karenanya, agar dampak tarif PPN 12 persen tak memukul rakyat kecil, ada baiknya pemerintah menyusun definisi yang jelas terkait ‘barang mewah’. Hal ini penting untuk menghindari kesalahan pengenaan pajak pada barang yang sebenarnya merupakan kebutuhan bagi masyarakat menengah.
Selain itu, alih-alih menerapkan tarif flat sebesar 12 persen untuk semua barang mewah, pemerintah dapat memberlakukan tarif pajak progresif berdasarkan nilai barang. Meski sama-sama menyasar masyarakat golongan atas, jenis pajak ini dinilai akan lebih tepat sasaran. Apalagi, tarif pajaknya juga dapat bertambah besar seiring dengan semakin mahalnya harga barang.
“Untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan ini, pemerintah dapat memberikan insentif bagi produsen lokal yang memproduksi barang serupa dengan barang mewah impor. Hal ini tidak hanya akan mendukung industri lokal tetapi juga menyediakan alternatif yang lebih terjangkau bagi konsumen,” tukas Achmad.
Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu memperketat pengawasan, sehingga kebijakan ini tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menaikkan harga barang secara tidak wajar.
Sementara itu, saat dihubungi Tirto, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, mengaku belum bisa memberikan pernyataan maupun detil terkait rencana kebijakan ini.
“Kami belum dapat memberi statement terkait hal tersebut,” tulis Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Dwi Astuti, dalam pesannya, Senin (9/12/2024).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan, untuk menjalankan kebijakan ini, pemerintah tak perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP). Sebab, kebijakan ini dapat diimplementasikan hanya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan.
“Itu nanti di Menteri Keuangan (detail kategori barang mewah). Nanti kita bahas. (Dasar hukum) PMK cukup,” ujarnya singkat, di Istana Negara, Senin (9/12/2024).
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fahreza Rizky