tirto.id - Ekonom Universitas Indonesia (UI), Mari Elka Pangestu menilai, pengenaan pajak atas harta kekayaan atau wealth tax bisa efektif untuk meningkatkan penerimaan perpajakan Indonesia. Hal ini sesuai juga dengan upaya pemerintah untuk memperluas basis perpajakan nasional.
"Mungkin banyak orang yang mengatakan bagaimana dengan wealth tax? Jadi bukan income-nya yang di-tax, tapi wealth-nya yang di-tax," kata Mari, saat ditemui di sela-sela acara Seminar Nasional Jesuit Indonesia, di Jakarta, Kamis (30/5/2024).
Cara lain adalah dengan mengekstensifikasi basis perpajakan, memperbaiki administrasi perpajakan hingga memperbaiki sistem elektronik yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Namun yang terpenting, pemerintah harus terlebih dulu membenahi sistem perpajakan nasional, salah satunya dengan segera menerapkan core tax system atau sistem inti perpajakan.
"Kalau perbaikan sistem administrasi perpajakan bisa diterapkan, rasio perpajakan terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto) bisa naik sekitar 2 persen," kata Mari.
Perlu diketahui, rasio pajak terhadap PDB Indonesia pada tahun 2023 hanya sebesar 10,21 persen. Lebih rendah dari rasio pajak tahun sebelumnya, yakni 10,39 persen.
Meski begitu, Mari mengingatkan, ada risiko di balik pemungutan pajak atas harta kekayaan. Menurutnya, saat pajak atas kekayaan diterapkan, ada kemungkinan orang-orang kaya justru bakal keluar dari Indonesia dan pindah ke negara dengan tarif pajak rendah.
"Jadi, saya rasa mesti dipelajari dulu dengan baik lah ya," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, pun menilai, memungut pajak dari orang kaya akan lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan negara. Salah satu pajak yang dapat diterapkan adalah pajak progresif dari Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Dia menuturkan, mengejar pajak progresif atas barang mewah lebih rasional ketimbang pemerintah meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti yang telah direncanakan untuk tahun depan. Selain itu, untuk meningkatkan penerimaan sekaligus rasio pajak, pemerintah juga bisa lebih dulu mengejar pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
"Jadi yang dikejar adalah wajib pajak yang kaya dulu. Sedangkan kelas menengah ke bawah, dengan cara menaikkan tarif PPN misalnya, itu bisa nanti dulu. Setelah ekonomi Indonesia membaik dan lebih stabil, dengan harga-harga yang sudah tidak terlalu tinggi," katanya, saat dihubungi Tirto, Kamis (30/5/2024).
Sementara itu, pemerintah mencatat realisasi penerimaan pajak hingga akhir April 2024 senilai Rp624,19 triliun, turun dibandingkan periode April 2023 yang masih sebesar Rp688,2 triliun. Realisasi ini juga masih sebesar 31,38% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang senilai Rp1.989 triliun.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Intan Umbari Prihatin