tirto.id - Setelah meluncurkan edisi teranyar berkemasan wastra, OREO melanjutkan langkah kontribusinya sebagai bagian dari Mondelez Indonesia dengan merangkul Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) dalam menyalurkan dana CSR sebesar Rp1 miliar untuk para pelaku industri batik di Cirebon, Jawa Barat, pada Senin (11/11).
“Melalui OREO ini, kami ingin terus mempopulerkan batik, menciptakan keseruan dari wastra-wastra tradisional Indonesia, termasuk batik mega mendung Cirebon ini,” ujar Head of Corporate Communications & Government Affair Mondelez Indonesia, Khrisma Fitriasari.
Menyambut dukungan dari OREO, Sekretaris Daerah Kabupaten Cirebon, Hilmy Rivai, menyebut pendanaan ini merupakan salah satu bentuk apresiasi yang spesial untuk Cirebon. Pasalnya, motif mega mendung dari Cirebon yang dikenakan kemasan OREO merepresentasikan budaya dari Jawa.
“Ini sebuah kebanggaan dan batik mega mendung itu tidak hanya mewakili Jawa Barat saja. Ternyata, Pulau Jawa yang batiknya ditampilkan di salah satu produknya itu adalah mega mendung,” ujar Hilmy.
Hilmy menambahkan, diangkatnya batik mega mendung tidak hanya meningkatkan rekognisi motifnya. Bersamaan dengan dana CSR dari OREO, industri batik Cirebon disebut menerima lebih banyak manfaat.
“(Bantuan dana) ini satu hal yang luar biasa karena kebanyakan para industri batik ini di kalangan UMKM di mana pengolahan limbahnya belum teredukasi,” ungkapnya.
Keberlangsungan industri batik, kata Hilmy, bisa lebih menghadapi tantangan terkait aspek lingkungan yang menyertainya dengan memanfaatkan dana CSR OREO.
“Dengan adanya (bantuan) ini, artinya lingkungan bisa terselamatkan. Ini pertama kali 21 unit bisa dibagikan kepada UMKM batik,” ucap Hilmy.
Sepakat dengan Hilmy, Ketua Umum APPBI, Komarudin Kudiya, yang menjembatani kegiatan ini, mengatakan bahwa pihaknya telah mendiskusikan lebih lanjut terkait penerimaan manfaat dana yang diberikan.
“Pihak OREO menanyakan, sebenarnya apa yang paling dibutuhkan oleh para pengrajin itu? Selain yang dibutuhkan oleh pengrajin batik itu, apa gitu? Saya bilang, kalau bahan baku, kita masih bisa beli, alat-alat juga masih bisa, tapi ketika sudah bicara tentang bagaimana agar pengrajin ini concern atau ada perhatian kepada lingkungan? Alat yang biasa umum digunakan untuk limbah itu harganya ratusan juta dan harus besar,” jelasnya.
Para pengrajin batik, tambah Komar, membutuhkan alat yang bisa menyadarkan sekaligus memudahkan mereka dalam menekuni keseharian membatik, tetapi tetap acuh pada dampak limbah terhadap lingkungannya.
Karena itu, Komar menyebut, besaran dana yang dihimpun dari OREO telah disalurkan kepada 1.450 pembatik yang berada di 8 desa. Di antara dana ini juga digunakan untuk 21 unit ramah lingkungan yang dapat menyokong aktivitas membatik, serta alat membatik untuk SMK Negeri 1 Gunung Jati.
Ihwal penyaluran terakhir, Komang menyampaikan, “Tujuannya adalah regenerasi. Jadi, agar anak-anak itu mengenal secara holistik semua, bagaimana itu membuat batik yang benar?”
Menurut Komar, regenerasi dalam industri batik berperan turut berperan penting dalam menjaga ekosistemnya. ‘Regenerasi’ ini ditambahkan Komar dalam tujuan mengingat persentase pembatik yang menurun sebesar 30-35 persen di Cirebon.
Persoalan lebih lanjut, industri batik tidak henti menghadapi berbagai tantangan, termasuk pesaing dari tekstil bercorak motif. Produksi macam ini, kata Komar, seakan menjatuhkan kembali industri batik yang baru pulih pascapandemi.
“Makanya itu, kita selalu ingin mengedukasi, memberikan sosialisasi, tentang apa itu batik, apa itu tekstil bercorak batik, banyak generasi muda yang hampir lupa,” ucapnya.
Karenanya, Komar meyakini bahwa kolaborasi berbagai pihak bersama OREO ini bisa menjaga batik agar tetap lestari.
Editor: Tim Media Service