tirto.id - Sabtu, 14 Desember pekan lalu, ribuan warga Korea Selatan alias Republik Korea, berteriak girang menyambut pengumuman pemakzulan Yoon Suk Yeol. Mereka berkumpul khidmat di luar gedung Majelis Nasional, lembaga legislatif di Korsel. Sekitar pukul 19.24, sidang pleno parlemen akhirnya mengetok pemakzulan Presiden Yoon lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disetujui 204 dari 300 anggota.
Jin Yu Young melaporkan untuk New York Times menulis: kerumunan warga bersorak-sorai, melambaikan bendera dan spanduk protes yang mereka bawa dengan penuh kemenangan di udara. “Para pengunjuk rasa melompat-lompat, saling berpelukan, dan menatap ke langit, beberapa di antaranya berlinang air mata,” tulis Jin yang melaporkan langsung reaksi warga di luar gedung Majelis Nasional usai pengumuman pemakzulan. Usai pemakzulan itu, musik mengalun dari pengeras suara, makanan serta kopi gratis dibagikan kepada para pengunjuk rasa, dan mereka saling bersalaman: bagus sekali, kita berhasil.
Ribuan warga Korsel tumpah ruah ke jalan setelah Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan status darurat militer (martial law) yang kontroversial pada 3 Desember lalu. Selang satu jam usai Yoon mengumumkan status darurat militer –tengah malam lewat saat kejadian– warga Korsel sudah berdemonstrasi melakukan protes di depan gedung Majelis Nasional. Anggota parlemen turut berlarian menembus kepungan militer bersenjata demi berkumpul melakukan upaya menghentikan darurat militer. Parlemen akhirnya menyatakan status darurat militer yang diumumkan Yoon sebagai langkah inkonstitusional. Hanya bertahan selama enam jam, darurat militer resmi dicabut.
Setelahnya adalah drama politik atas keruntuhan kekuasaan Presiden Yoon. Parlemen yang dikuasai parpol oposisi menuding Yoon melakukan pemberontakan. Partai pendukung juga berbalik arah akibat keputusan darurat militer Yoon yang absurd.
Selain itu, Yoon ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian dan dilarang bepergian ke luar negeri. Puncaknya, pekan lalu, Majelis Nasional resmi memakzulkan Yoon dari posisi presiden Korsel. Saat ini, pucuk pimpinan pemerintahan Korsel didapuk oleh Perdana Menteri Han Deok-soo. Sementara itu, nasib Yoon akan ditentukan oleh hasil putusan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa bulan ke depan.
Sebelumnya, Korsel dipimpin oleh beberapa tokoh diktator dari militer dan pemimpin tangan besi seperti Syngman Rhee, Park Chung-hee, hingga Chun Doo-hwan. Sudah ada 16 kali darurat militer sebelum Chun Doo-hwan akhirnya lengser pada 1987 usai gelombang protes warga terjadi. Setelah itu, Korsel mulai menata pemerintahan yang lebih demokratis lewat pemilu. Meski begitu, bayang-bayang pemimpin otoritarian dan penyelewengan kekuasaan presiden masih terus mewarnai sirkulasi pucuk pimpinan Republik Korea.
Darurat militer yang diumumkan Yoon dinilai masyarakat sebagai jalan mundur yang nyata atas upaya Korsel mempertahankan ruh demokrasi. Trauma darurat militer kala kediktatoran mencengkram warga Korsel di masa lalu, tidak boleh terulang dan direnggut oleh pemimpin berhasrat otoritarian.
Pemakzulan Yoon menjadi contoh kolaborasi apik dari masyarakat sipil serta parlemen Korsel dalam mempertahankan demokrasi di negeri ginseng.
Sejumlah pengamat politik dan hukum tata negara memandang upaya warga dan parlemen di Korsel dapat menjadi pelajaran penting bagi perjuangan menjaga demokrasi di Indonesia. Dengan sistem pemerintahan presidensial yang hampir serupa dan multi-partai yang berada di kursi parlemen, sangat memungkinkan penguatan demokratisasi seperti di Korea mampu dilakukan di Indonesia. Hal ini akan berguna untuk menjaga negeri ini dari pemimpin otoriter yang berhasrat mengembalikan Indonesia seperti era kediktatoran Orde Baru.
Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Herlambang P Wiratraman, menilai representasi kekuatan parlemen Korsel benar-benar merupakan cerminan dari politik kewargaan. Majelis Nasional Korsel menangkap aspirasi masyarakat sipil yang berhari-hari sudah mengajukan protes dan mendorong pemakzulan presiden Yoon imbas darurat militer.
“Parlemen Korsel merespons protes itu secara baik dan mengartikulasikannya secara tegas di muka politik,” kata Herlambang kepada reporter Tirto, Senin (16/12/2024).
Herlambang menilai praktik demokrasi di Korsel memperlihatkan bahwa parlemen memiliki posisi untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif. Terdapat pemisahan kekuasaan yang tegas antara legislatif dan eksekutif, sehingga Korsel menanamkan kultur partai yang tegas terkait konflik kepentingan.
Menurut Herlambang, parlemen Indonesia perlu mengoreksi atau memiliki keberanian untuk memakzulkan seorang presiden bila diduga melanggar hukum dan konstitusi. Terlebih, hal tersebut memang secara legal telah diatur pada Undang-Undang Dasar 1945. Namun, yang terjadi di Indonesia upaya pemakzulan selalu layu sebelum berkembang. Terlebih, parlemen yang seharusnya menjadi pengawas eksekutif malah menjadi perangkat yang tunduk pada kemauan pemerintah.
“Korea Selatan juga tidak mentolerir adanya politik dinasti,” ucap Herlambang.
Tantangan di Indonesia
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, memandang pelajaran penting dari perjuangan rakyat Korsel mempertahankan demokrasi mereka adalah kehadiran lembaga legislatif dan yudikatif yang tidak terkooptasi seperti halnya di Indonesia. Secara sistem pemerintahan, Bivitri menilai Korsel sebetulnya amat mirip dengan Indonesia. Namun harus diakui, kata Bivitri, partai politik di Korsel lebih demokratis secara internal.
“Jadi pemisahan antara eksekutif sama legislatif bisa terbangun. Nggak kayak di kita, di kita itu kan dengan sengaja [bercampur] karena ada politikus-politikus yang tidak bermoral, tidak etis,” ujar Bivitri kepada reporter Tirto, Senin (16/12/2024).
Menurut dia, penyumbang terbesar untuk membentuk demokrasi yang kokoh adalah parpol. Namun di Indonesia, parpol-parpol justru berkoalisi di pemerintahan eksekutif dan senada di kursi legislatif. Alhasil terbentuk satu koalisi gemuk baik di eksekusi maupun legislatif. Hal ini akan mengaburkan peran oposisi dan fungsi pengawasan parlemen terhadap presiden.
Bivitri mencontohkan, diskursus pemakzulan presiden misalnya sudah berkali-kali menyasar Jokowi. Teranyar saat Jokowi diduga cawe-cawe dalam Pilpres 2024. Namun, kata dia, wacana ini selalu macet di DPR sebab fraksi didominasi parpol pendukung pemerintah. Hal ini jadi mengabaikan hak-hak istimewa DPR dalam mengawasi presiden seperti hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat.
“Jadi [di Indonesia] presiden sama dengan parlemen, presiden sama dengan DPR,” kata Bivitri.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Violla Reininda, menyatakan pemakzulan presiden Yoon di Korsel menunjukkan pemerintah atau negara secara umum, mampu melakukan penghormatan terhadap kebebasan sipil dan juga mendukung adanya perluasan ruang pendapat masyarakat.
Pemahaman aparat dalam mengawal kebebasan sipil di Korsel juga dilakukan cukup baik. Di Korsel, kata Vio, anggota kepolisian atau aparat penegak hukum ditempatkan sebagai pihak yang mengawal kebebasan sipil, bukan pihak yang memberangus ruang berpendapat.
“Tidak seperti yang terjadi di Indonesia,” kata Vio kepada reporter Tirto.
Protes yang dilakukan warga Korsel hingga malam dapat dilakukan dengan damai selama menyampaikan ekspresi politiknya. Mereka tidak diserang gas air mata atau dipaksa bubar oleh aparat kepolisian seperti demonstrasi di Indonesia. Tidak terjadi penggunaan kekuatan kekuasaan yang berlebihan oleh aparat dalam menertibkan massa protes di Korsel.
Selain itu, parlemen Korsel menunjukkan fungsi sesungguhnya prinsip check and balances. Lembaga legislatif menempatkan diri sebagai pihak yang objektif dalam mengawal kebijakan eksekutif. Saat presiden mengeluarkan darurat militer yang membahayakan kebebasan sipil dan memusatkan akumulasi kekuasaan eksekutif, parlemen Korsel secara sigap langsung menjalankan fungsi kontrol.
“Harusnya parlemen menjalankan fungsi-fungsi kontrol. Tapi tantangan di Indonesia saat ini adalah mayoritas parpol pendukung presiden,” ucap Vio.
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menjelaskan meski sama-sama menganut sistem presidensial, namun bentuk pemerintahan Korea Selatan dan Indonesia berbeda. Korsel, kata dia, memiliki seorang Perdana Menteri yang membuat kekuasaan presiden tidak sebesar di Indonesia. Namun, terlepas dari hal itu, parlemen dan eksekutif di Indonesia juga memiliki budaya yang berbeda dari Korea Selatan.
Usai pemakzulan Gus Dur pada 2001, Presiden di Indonesia memiliki budaya politik untuk cenderung merangkul sebanyak mungkin partai politik di pemerintahan. Ini dilakukan untuk menjaga stabilitas kekuasaan pemerintahan. Sementara di Korea Selatan, ataupun di banyak negara lain, budaya politik saling rangkul seperti di Indonesia tidak terjadi.
“Karena ada ideologi partai yang tegas, sangat jarang oposisi masuk ke pemerintahan. Oposisi akan bertarung sampai mereka yang akhirnya menjadi pemenang di pemilu,” ucap Musfi kepada reporter Tirto.
Musfi menilai kasus pemakzulan Gus Dur menjadi pelajaran berharga. Pemakzulan hanya akan terjadi apabila Presiden Indonesia memiliki hubungan buruk dengan parlemen. Dengan budaya politik Indonesia saat ini, dengan presiden yang sangat menjaga hubungan dengan parlemen, pemakzulan sepertinya sangat sulit terjadi.
“Di Indonesia juga memiliki budaya politik yang sangat menghormati presiden dan mantan presiden. Sejak reformasi, tidak ada presiden dan mantan presiden yang pernah diperiksa atas tuduhan apa pun. Ini kan sangat berbeda dari Korea Selatan,” jelas Musfi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz