tirto.id - Presiden Korea Selatan (Korsel), Yoon Suk Yeol dimakzulkan pada Sabtu (14/12/2024) lalu tepat diumumkan pukul 19.24 waktu setempat. Presiden Yoon harus lengser dari jabatannya, imbas dari status Darurat Militer yang sempat viral. Sementara waktu, posisi Presiden Korsel kini diduduki Perdana Menteri, Han Deok-soo.
Pemungutan suara pemakzulan Yoon Suk Yeol dilakukan pada Sidang Pleno Majelis Nasional alias parlemen Korsel pada Sabtu lalu. Rancangan Undang-undang (RUU) Pemakzulan Yoon disetujui 204 anggota, sedangkan 85 anggota menentang pemakzulan, 3 abstain, dan 8 membatalkan.
“Saya tidak akan pernah menyerah. “Saya akan menerima semua kritik, dorongan, dan dukungan terhadap saya dalam hati dan melakukan yang terbaik untuk negara hingga saat-saat terakhir,” kata Yoon sebelum RUU pemakzulan disahkan, Sabtu (14/12/2024), seperti dikutip Hani.
Yoon menjadi Presiden Korsel ke-3 yang dimakzulkan ketika sedang menjabat. Pemakzulan sebelumnya juga dialami Park Geun-hye pada Desember 2016 dan Roh Moo-hyun pada Maret 2004.
Apa Alasan Presiden Korsel Yoon Dimakzulkan?
Presiden Korsel, Yoon Suk Yeol dimakzulkan Majelis Nasional, Sabtu (14/12/2024) lalu, buntut atas kegaduhan negara tersebut usai pengumuman Darurat Militer. Status Darurat Militer sebelumnya sempat dideklarasikan Yoon pada Selasa (3/12) malam sekira pukul 22.20 waktu setempat.
Namun Darurat Militer di Korsel hanya bertahan 6 jam setelah pengumuman dan mendapat penolakan dari parlemen pada Rabu (4/12) dini hari sekira pukul 01.00. Yoon mendapat tuntutan pemakzulan berdasarkan Pasal 65 Konstitusi dan Pasal 130 Undang-Undang Majelis Nasional.
Melansir Hani, Yoon didakwa bersalah atas Darurat militer dan kejahatan perang saudara yang inkonstitusional dan ilegal, serta dilakukan bertentangan dengan Konstitusi Nasional.
“Partai oposisi dan banyak pakar konstitusi setuju bahwa deklarasi Darurat Militer pada tanggal 3 oleh Presiden Yoon Suk Yeol adalah inkonstitusional dan ilegal,” tulis Hani, Sabtu (14/12/2024) lalu.
“Dan bahwa invasi dan blokade pasukan Darurat Militer terhadap Majelis Nasional dan Komisi Pemilihan Umum Nasional, yang merupakan lembaga konstitusional, termasuk dalam dua definisi gangguan konstitusional,” sambung Hani.
Darurat Militer digambarkan Hani dalam laporannya, terjadi melalui rentetan peristiwa. Pada November 2024 lalu, Yoon disebut tidak puas terhadap Majelis Nasional yang menggunakan hak konstitusional untuk mengawasi pemerintah.
Kemudian, Menteri Pertahanan saat itu, Kim Yong-hyun menginstruksikan Komandan Komando Operasi Khusus Angkatan Darat, Kwak Jong-geun, untuk mengamankan dan memblokir Majelis Nasional, Komisi Pemilihan Umum, dan Pusat Penelitian Opini Publik.
“Terdakwa (Yoon) secara pribadi meninjau dan merevisi proklamasi yang akan diumumkan oleh Komando Darurat Militer segera sebelum Darurat Militer, dan kemudian menyampaikannya kepada Kepala Staf Angkatan Darat sekitar pukul 19.00 tanggal 3 Desember 2024,” sebut Hani.
“Ia (Yoon) juga menyampaikan dokumen daftar organisasi dan orang-orang yang akan diambil alih oleh polisi kepada Komisaris Jenderal Badan Kepolisian Nasional,” tambah Hani.
Lantas Darurat Militer diumumkan Korsel melalui Yoon. Kejadian itu membuat polisi memblokir Majelis Nasional dan pasukan Darurat Militer memasuki Majelis Nasional untuk mencegah anggota Majelis Nasional berkumpul di kantornya dan membuat keputusan pencabutan Darurat Militer.
Pasukan Darurat Militer bersenjata api, disebut sempat memecahkan jendela gedung Majelis Nasional dan mengancam staf Majelis Nasional. Yoon kemudian memerintahkan penangkapan politisi seperti Ketua Majelis Nasional dan anggota Majelis Nasional, profesional hukum seperti mantan Ketua Hakim dan mantan Hakim Agung, lembaga penyiaran, dan tokoh masyarakat sipil.
Pasukan Darurat Militer juga disebut berupaya mencari tempat untuk memenjarakan orang-orang yang akan ditangkap, dan Kementerian Kehakiman sedang berusaha menyiapkan tempat untuk memenjarakan politisi dan jurnalis yang akan ditangkap di Pusat Penahanan Timur di bawah Markas Besar Pemasyarakatan.
Pelanggaran lain yang dilakukan Yoon ialah saat pencabutan status Darurat Militer. Diamatkan, bahwa pencabutan harus segera dilakukan tanpa penundaan, apabila keputusan untuk mencabut itu sudah dikeluarkan parlemen. Namun, Yoon baru mencabut Darurat Militer pukul 05.40 atau lebih dari 4 jam sejak parlemen memutuskan.
Yoon dianggap berlebihan menilai situasi di Korsel sebelum Darurat Militer. Disebutkan, bahwa Darurat Militer hanya dapat diberlakukan ketika terjadi perang, insiden, atau keadaan darurat nasional yang serupa. Serta ketika diperlukan untuk menanggapi kebutuhan militer dengan kekuatan militer atau menjaga perdamaian dan ketertiban umum.
“Darurat militer tidak dapat diberlakukan jika keadaan darurat tersebut dapat diatasi dengan kekuatan polisi saja, dan Darurat Militer hanya dapat diumumkan jika keadaan darurat tersebut tidak dapat diatasi tanpa penggunaan kekuatan militer,” tulis Hani.
“Namun, hingga Darurat Militer diumumkan pada tanggal 3 Desember 2024, tidak ada tanda-tanda abnormal yang dapat dianggap sebagai keadaan darurat nasional, dan tidak ada situasi yang memerlukan respons dengan kekuatan militer,” tambah Hani.
Kesimpulannya, Darurat Militer yang dideklarasikan Yoon, merupakan tindakan inkonstitusional dan tidak sah. Sedangkan tindakan kerusuhan dengan militer dan polisi, merupakan kejahatan pemberontakan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Setelah RUU Pemakzulan Presiden disetujui, Mahkamah Konstitusi Korsel harus mencapai kesimpulan dalam waktu 180 hari setelah menerima perkara. Dalam kasus lain, penyelesaian pemakzulan Presiden Roh Moo-hyun membutuhkan waktu 63 hari dan Park Geun-hye dibutuhkan waktu 91 hari.
Berikut ini rincian singkat beberapa alasan pemakzulan Presiden Korsel, Yoon Suk Yeol:
- Darurat militer dan kejahatan perang saudara yang inkonstitusional dan ilegal yang dilakukan bertentangan dengan konstitusi nasional
- Pelanggaran konstitusi dan hukum
- Perbuatan tidak tertib konstitusi negara yang disamakan dengan perang saudara
- Inkonstitusionalitas dan ilegalitas deklarasi Darurat Militer
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Dipna Videlia Putsanra