tirto.id - Perintah darurat militer dari Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol menimbulkan kontroversi. Muncul dugaan bahwa peristiwa ini dikaitkan dengan peristiwa Korean Coup, apa itu?
Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer pada Selasa (3/12/2024), larut malam. Ia membuat perintah tersebut dengan menuduh bahwa oposisi melakukan “kegiatan anti-negara untuk merencanakan pemberontakan.”
“Darurat militer ditujukan untuk membasmi kekuatan pro-Korea Utara dan untuk melindungi tatanan konstitusional kebebasan,” ucap Yoon Suk Yeo, dalam pidato yang disiarkan di saluran televisi, seperti yang dikutip dari Kantor Berita Yonhap.
Keputusan tersebut diambil setelah Partai Demokrat–sebagai oposisi–mengkritik rancangan anggaran Yoon yang diusulkan sebesar 677 triliun won. Selain itu, mereka juga mengajukan mosi tidak percaya terhadap auditor negara dan kepala jaksa.
Namun, pada Rabu (4/12/2024) pagi, Yoon mencabut deklarasi darurat militer yang baru saja ia tetapkan beberapa jam sebelumnya. Langkah ini diambil setelah Yoon menghadapi penolakan besar dari parlemen terhadap usahanya melalui darurat militer untuk melarang aktivitas politik dan menyensor media.
Kebijakan ini juga memicu gelombang protes dari masyarakat, yang menggelar aksi di depan gedung parlemen Majelis Nasional.
Arti Korean Coup
South Korean Coup adalah istilah dalam bahasa Inggris yang artinya “kudeta Korea". Istilah Korean Coup merujuk pada pengambilalihan kekuasaan menggunakan militer dalam sejarah Korea Selatan atau yang dikenal sebagai Kudeta Militer Korsel.
Melansir AP News, peristiwa South Korean Coup sebelumnya sudah pernah terjadi pada 1961 dan 1979, selama era rezim ditaktor Korsel. Peristiwa pertama melibatkan mantan ditaktor Korsel, Park Cung Hee.
Park, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Korsel, mengerahkan ribuan tentara ke Seoul, pada 16 Mei 1961. Pengerahan tentara dengan dalih Darurat Militer Korsel itu dilakukan Park untuk membungkam oposisi dan menekan protes anti pemerintah.
Pertistiwa Kudeta Militer yang dilakukan Park dikenal dengan nama South Korean Coup 16 May. Peristiwa yang sama kembali terulang di akhir pemerintahan Park, tepatnya dua bulan setelah Park terbunuh pada 1979.
Kala itu, Presiden Chun Doo-hwan mengerahkan ribuan tentara pada 12 Desember 1979. Pengerahan pasukan militer dilakukan oleh Chun untuk menumpas pemberontakan pro-demokrasi di Gwangju, yang menewaskan ratusan orang.
Gelombang besar protes rakyat pada 1987 memaksa pemerintah Chun untuk menerima pemilihan presiden langsung. Momen ini menjadi titik awal demokrasi Korsel.
Sayangnya, pengalaman kelam terkait darurat militer ini meninggalkan luka sejarah yang masih membayangi ingatan kolektif bangsa.
Dua peristiwa penting itu membuat rakyat Korsel menganggap perintah "darurat militer" sebagai isu yang sensitif. Hal inilah yang membuat masyarakat Korsel khawatir, pemberlakukan darurat militer Presiden Yoon Suk Yeol dapat menimbulkan kudeta militer.
Pemberlakukan darurat militer oleh Yoon diduga untuk mencegah kegiatan politik para parlemen oposisi. Pasalnya, dalam laporan Taipei Times, Yoon menuduh partai oposisi melumpuhkan pemerintah dengan tujuan memakzulkannya.
“Tanpa memperhatikan hajat hidup orang banyak, partai oposisi melumpuhkan pemerintahan hanya demi pemakzulan, penyelidikan khusus, dan melindungi pemimpin mereka dari keadilan,” ucap Yoon dalam pidato mendeklarasikan kebijakan darurat militer.
Deklarasi darurat militer oleh Yoon inilah yang kemudian dikaitkan dengan sejarah kudeta di Korsel pada masa lalu.
Kontroversi Darurat Militer Yoon Suk Yeol
Deklarasi darurat militer yang dikeluarkan oleh Presiden Yoon Suk Yeol mendapatkan kecaman keras dari pemimpin partai oposisi utama. Melansir The Korea Times, Lee Jae-myung, pemimpin Partai Demokrat, menyebut tindakan tersebut sebagai "ilegal" dan "tidak konstitusional."
“(Deklarasi) ini ilegal dan tidak konstitusional karena sama sekali tidak memenuhi persyaratan yang sebenarnya untuk deklarasi darurat militer yang diatur dalam Konstitusi dan Undang-Undang Darurat Militer,” jelas Lee, pada Rabu (4/12/2024).
Selaras dengan hal tersebut, sejumlah pakar hukum juga menyebut deklarasi darurat militer sebagai tindakan yang “jelas ilegal” dan “tanpa pembenaran.”
Dikutip dari The Korea Herald, beberapa ahli hukum yang memberikan keterangan secara anonim, menyamakan deklarasi Yoon dengan darurat militer yang diumumkan oleh mantan Presiden Chun Doo-hwan, pada 17 Mei 1980.
Insiden ini berujung pada penindasan militer terhadap pengunjuk rasa di Gwangju. Pakar hukum mengutip keputusan pengadilan 1997 terhadap Chun dan pejabat lainnya yang menetapkan bahwa penggunaan darurat militer untuk menekan hak-hak sipil bertentangan dengan Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 91 Undang-Undang Pidana, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai subversi konstitusional, yang mengarah pada penggulingan atau penghalangan fungsi-fungsi negara yang sah.
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Yonada Nancy & Iswara N Raditya