Menuju konten utama
Obituari

Diktator Korsel Chun Doo-hwan yang Selalu Menyangkal hingga Mati

Diktator Korsel Chun Doo-hwan meninggal dunia. Di bawah pemeritahannya banyak terjadi pelanggaran HAM, termasuk pemerkosaan dan pembunuhan.

Diktator Korsel Chun Doo-hwan yang Selalu Menyangkal hingga Mati
Mantan presiden Korea Selatan Chun Doo-hwan (kanan) melambaikan tangan selamat tinggal saat ia dikawal oleh agen dinas rahasia di luar dinding Penjara Anyang ke mobil yang menunggu tak lama setelah dibebaskan dari penjara dengan pengampunan khusus di Anyang 22 Desember 1997. Mantan Presiden Chun Doo-hwan, yang menjabat sebagai presiden kelima Korea Selatan dari 1980 hingga 1988, meninggal pada usia 90 tahun pada hari Selasa (23/11/2021). ANTARA FOTO/ARSIP FOTO-REUTERS/Paul Barker/HP/sa

tirto.id - Presiden Korea Selatan yang pernah menakhodai rezim militer sepanjang dekade 1980-an, Chun Doo-hwan, meninggal dunia pada 23 November 2021 dalam usia 90 tahun. Chun dikabarkan terkena serangan jantung, di samping punya riwayat kanker dan alzheimer.

Selama berkuasa, citra yang melekat padanya adalah diktator beringas yang melindas gerakan prodemokrasi.

Naiknya Chun ke tampuk kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari serangkaian kejadian setelah kematian Park Chung-hee, presiden terlama Korsel sekaligus pemimpin junta militer. Park dibunuh pada pengujung Oktober 1979. Chun ditugaskan menginvestigasinya. Sekitar dua bulan kemudian, pada 12 Desember, Chun berkesimpulan bahwa pembunuh Park adalah Kepala Staf Angkatan Darat yang berkonspirasi dengan Direktur Badan Intelijen Korsel (KCIA).

Kudeta militer tak terhindarkan. Chun mengambil alih kekuasaan Kementerian Pertahanan, Angkatan Darat, juga KCIA. Semenjak itulah Chun bisa disebut sebagai pemimpin de facto Korsel. Presiden interim berlatar belakang sipil, Choi Kyu-hah, sekadar jadi simbol dan pajangan.

Bersimbah Darah di Gwangju

Rakyat Korsel sebenarnya muak dengan militer. Pada 14 Mei 1980, dilansir dari buku Asia's Unknown Uprisings Volume 1: South Korean Social Movements in the 20th Century (2012) karya George Katsiaficas, protes untuk menentang kembalinya junta militer lantang disuarakan oleh 70 ribu mahasiswa di ibu kota Seoul. Angkanya bertambah menjadi 100 ribu lebih sehari kemudian.

Demonstrasi juga muncul di banyak tempat, termasuk Gwangju, kota di selatan semenanjung Korea, sekitar 3 jam perjalanan darat dari Seoul. Di sana puluhan ribu mahasiswa Chonnam National University protes dengan menduduki kampus. Menurut Katsiaficas, pelajar dan mahasiswa di sana memang punya pengalaman aktivisme kuat. Mereka sempat terlibat aksi besar menuntut kebebasan akademik pada 1978.

Chun yang telah menerapkan darurat militer mengirimkan banyak pasukan ke Gwangju, termasuk tentara payung paling berpengalaman. Selama 10 hari, dalam aksi yang disebut Gerakan Demokratisasi Gwangju 18 Mei ini, mahasiswa dan warga berhadapan dengan 18 ribu polisi anti huru-hara dan 3 ribu tentara.

Tentara bertindak melebihi batas dengan menyiksa, membunuh, hingga memerkosa. Polisi yang bersimpati pada demonstran dan membebaskan tahanan justru ditikam bayonet, sementara kepala polisi diculik dan disiksa karena menolak perintah Chun untuk melepas tembakan ke demonstran.

Tidak ada statistik pasti terkait jumlah korban. Pemerintah menyebut korban meninggal mencapai 164 jiwa, sementara UNESCO yang mengabadikan Tragedi Gwangju dalam Memory of the World Program menyebut korban meninggal termasuk 165 warga sipil dan 27 tentara. Sebanyak 102 lain meninggal setelah sekian lama mengidap penyakit akibat kekerasan yang dialaminya saat demonstrasi. Belum lagi 76 orang hilang dan 3.000-an terluka. Sementara soal kekerasan seksual, jumlahnya mencapai 17, menimpa remaja bahkan ibu hamil.

Posisi politik Chun semakin mapan setelah berhasil menundukkan Gwangju. Tiga bulan setelah itu presiden interim Choi mengundurkan diri. Setahun kemudian Chun resmi “terpilih” dalam pemilu sebagai Presiden Korsel. Ia kemudian memimpin dengan tangan besi sampai undur diri pada 1988.

Pengganti Chun adalah kolega dekatnya sendiri sekaligus kawan kejahatannya sedari lama, Jenderal Roh Tae-woo, yang menang tipis dalam pemilu langsung dan demokratis pertama di Korsel.

Karier Si Anak Petani Miskin

Chun lahir dari keluarga petani miskin di Gyeongsang Selatan pada 1931. Ia punya sembilan saudara kandung. Mereka hidup berpindah-pindah karena sang bapak sempat jadi buronan penagih utang, bahkan diburu oleh polisi Jepang karena pernah membunuh seorang kempetai. Kala itu Korea masih berada di bawah kolonialisme Jepang sampai Perang Dunia II berakhir pada 1945.

Begitu menyelesaikan sekolah menengah, Chun melanjutkan pendidikan gratis ke Akademi Militer Korea. Di bawah kepemimpinan seniornya, Presiden Park, karier Chun meroket.

Setelah mengambil alih kekuasaan pascapembunuhan Park, Chun menjalankan roda pemerintahan yang tak kalah otoriter dan represif dibanding pendahulunya. Di bawah pengawasan Chun, selain menggilas aksi massa prodemokrasi di Gwangju, muncul pula cara-cara brutal untuk menumpas kemiskinan. Ini disebut dengan “Proyek Pemurnian Sosial”.

Sejak musim panas 1980 sampai Januari 1981, lebih dari 57 ribu orang sudah “diperingatkan dan diberi edukasi ulang,” sementara 38 ribu di antaranya dikirim untuk “program-program koreksional di kamp militer.” Selain gelandangan dan pengemis, mereka termasuk orang dengan disabilitas dan anak yatim piatu. Alih-alih mendapat pelatihan atau diperlakukan secara manusiawi, orang-orang kurang beruntung ini justru dianiaya. Diperkirakan sedikitnya 500 orang meninggal akibat kekerasan di pusat detensi swasta, sementara lainnya disiksa bahkan diperkosa.

Tak satu pun elemen dalam pemerintahan dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM tersebut.

Ketika melihat rakyat sendiri sebagai ancaman, Chun justru bersahabat dengan negara adidaya Amerika Serikat. Relasi baik dengan Paman Sam ini memang Chun butuhkan, pasalnya hubungan mereka sempat memburuk di akhir periode Park sebab ia berambisi menciptakan senjata nuklir. Setelah Chun menghentikan rencana tersebut, ketegangan AS-Korsel pun berkurang.

Paman Sam jugalah yang selama ini memberikan sinyal hijau kepada Chun untuk menebas aksi-aksi protes. Hal ini berdampak pada munculnya sentimen anti-Amerika yang kuat di kalangan mahasiswa dan aktivis prodemokrasi Korsel.

Sementara hubungan Korsel dengan tetangganya sendiri, Korea Utara, cukup rumit. Tahun 1983, ketika berkunjung ke Myanmar, Chun nyaris jadi korban pengeboman oleh intelijen Korut. Setahun kemudian, ketika bencana banjir melanda Korsel, Korut justru menggelontorkan bantuan beras, kain, dan obat-obatan. Chun juga mengizinkan pertemuan keluarga yang terpisah karena Perang Korea (1950-1953). Menjelang akhir kediktatoran pada 1987, agen Korut mengebom pesawat Korean Airlines dan menyebabkan korban tewas mencapai 115. Pemimpin Korut, Kim Il-sung dan putranya Kim Jong-il, disinyalir berada di balik teror tersebut untuk menghalangi penyelenggaraan Olimpiade Seoul 1988.

Bagaimana dengan ekonomi domestik? Pada masa awal pemerintahannya Chun dihadapkan dengan tantangan besar. Pada 1979-1980, krisis minyak dunia mendorong inflasi di dalam negeri. Di samping itu, seperti dijelaskan oleh Uk Heo, dkk. dalam “The Political Economy of South Korea: Economic Growth, Democratization, and Financial Crisis” (2008), meroketnya inflasi juga dipengaruhi oleh kebijakan administrasi pendahulu Chun yang cenderung fokus mengejar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Untuk meredam inflasi, Chun membekukan anggaran belanja negara pada 1984, menaikkan suku bunga, dan mengurangi kredit. Chun juga berusaha mengurangi ketergantungan ekonomi pada konglomerat chaebol dan industri kimia berat. Caranya dengan memberikan dukungan ekstra kepada industri kecil dan menengah.

Selama administrasi Chun (1981-1987), rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 8,7 persen. Pencapaian ini mencengangkan mengingat pada 1980 pertumbuhan mengalami minus 1,5 persen.

Restrukturisasi era Chun ini kelak membuka jalan bagi ekonomi yang lebih liberal sekaligus memuluskan jalan menuju kemajuan ekonomi pada pemerintahan-pemerintahan selanjutnya.

Tumbang dan Selalu Menyangkal

Meski menorehkan prestasi di sektor ekonomi, Chun tumbang juga oleh massa aksi. Betul bahwa kediktatoran Chun berdampak pada menciutnya gerakan buruh dan aktivis mahasiswa, akan tetapi, dilansir dari artikel Eric Toussaint di Economic and Political Weekly (2006), gerakan mahasiswa mulai memupuk kekuatan kembali pada 1983-1984 melalui serangkaian radikalisasi dan politisasi yang intensif.

Pada paruh pertama 1986 tercatat lebih dari 160 ribu mahasiswa berdemonstrasi memprotes rezim militer dan pendudukan tentara AS di Korsel. Pada awal tahun itu pula faksi oposisi New Korean Democratic Party (NKDP) mengajukan petisi untuk menyelenggarakan pemilihan presiden dengan suara populer, alih-alih melalui sistem elektoral. Sepanjang Juli-Agustus 1987 muncul lebih dari seribu aksi mogok buruh—padahal dalam satu dekade terakhir rata-rata hanya ada 200 mogok per tahun. Protes bahkan merambat ke korporasi milik chaebol, seperti perusahaan pembuat kapal Hyundai yang punya 24 ribu pegawai. Mereka menuntut pengakuan pemerintah terhadap serikat buruh yang independen dan demokratis.

Situasi ini akhirnya memaksa Chun untuk menyetujui penyelenggaraan pemilu dengan suara populer pada pengujung 1987. Kubu oposisi kala itu masih terpecah sehingga sulit dapat suara yang satu. Akibatnya yang keluar sebagai pemenang adalah kolega Chun sendiri, sesama penjahat, Roh Tae-woo.

Setelah undur diri pada awal 1988, Chun, kala itu berusia 56, meminta maaf melalui siaran televisi atas segala tindakan otoriter yang dilakukannya selama berkuasa. Pernyataan maaf itu meliputi tindakan menyingkirkan jurnalis dan pejabat negara yang tidak disukai, kematian aktivis oposisi di kamp-kamp tahanan, sampai kasus korupsi yang menimpa orang-orang terdekatnya.

“Saya sungguh menyesali dosa-dosa saya. Saya siap menghadapi penderitaan apa pun dan tidak akan melalaikan tanggung jawab atas hasil perbuatan saya,” ujar Chun, yang dikabarkan akan bersembunyi di desa terpencil jauh dari gemerlap ibu kota, sebagaimana tradisi politikus Korea yang tersandung skandal.

Namun ungkapan tersebut tak bermakna apa pun di mata publik. “Bukan tindakan Chun yang bikin orang tidak senang padanya, namun juga pembangkangannya, kegagalannya untuk bertobat. [Rakyat Korsel] tidak mencari ketulusan, melainkan penghinaan. Mereka ingin Chun kelihatan menyedihkan,” ujar seorang komentator politik kenamaan.

Kala itu Chun berkenan menyerahkan harta pribadi kepada negara, mulai dari rumah senilai 1,4 juta dolar, dua kartu keanggotaan golf, uang kontan 3,3 juta dolar, dan dana politik 20 juta dolar (total pada kurs hari ini sekitar Rp800 miliar). Tindakan itu dilakukan tak lain agar ia terhindar dari tuntutan hukum.

Kendati demikian, Chun tetap diadili atas kudeta militer, represi di Gwangju, dan beragam kasus suap. Pada 1996, jaksa mengungkap bahwa Chun sudah menerima suap sampai 275 juta dolar atau nilainya sekarang menembus Rp 9 triliun. Uang berasal dari perusahaan-perusahaan yang mau menghindari pajak. Namun sampai akhir Chun tetap mengelak bahwa ia terlibat korupsi.

Vonis mati pun dijatuhkan. Tapi hukuman ini kelak diringankan jadi penjara seumur hidup. Setahun kemudian Chun bahkan diampuni oleh Presiden Kim Young-sam, yang berkonsultasi dengan Kim Dae-jung, presiden terpilih periode 1998-2003.

Menarik untuk dicatat bahwa Kim Dae-jung adalah orang yang di masa lalu pernah divonis mati oleh Chun karena dituding menggerakkan aksi massa di Gwangju. Kim selamat berkat campur tangan otoritas AS, lalu menjadi eksil di negara tersebut sebelum kembali berpolitik ke Negeri Gingseng menjelang kejatuhan Chun.

Ketika menghabiskan masa tua di luar jeruji besi, Chun masih juga menyangkal fakta-fakta tentang kebrutalan rezimnya. Salah satunya dari buku memoar. Di sana Chun menolak keterlibatan dalam represi, mengelak pembantaian sipil dan penembakan dari atas helikopter, serta menuding Korea Utara sebagai pemicu kerusuhan. Atas dasar itu pada 2017 Pengadilan Distrik Gwangju memutuskan melarang publikasi dan peredaran buku memoar tersebut.

Persis setahun silam, ketika berusia 89, Chun mendapat hukuman 8 bulan penjara karena mencemarkan nama baik aktivis prodemokrasi sekaligus pendeta Katolik bernama Cho Chul-hyun dalam memoarnya. Di situ Chun menyebut Cho sebagai “pembohong” dan “setan” karena testimoninya tentang tentara yang menembaki rakyat sipil dari atas helikopter.

Penyangkalan Chun selama ini bikin gusar banyak orang, terutama para aktivis prodemokrasi di Gwangju. Sehari setelah kematian Chun, sebanyak 70 korban menuntut ganti rugi kepada pemerintah. “Sangat disesalkan dia meninggal tanpa dimintai pertanggungjawaban, meminta maaf, atau mengungkapkan penyesalan,” ungkap Lawyers for a Democratic Society, grup pengacara yang mewakili para korban.

Pada akhirnya, jenazah Chun—serta presiden penerusnya, Roh, yang meninggal lebih dulu—tidak dapat jatah liang di pemakaman nasional, tempat para pahlawan bangsa disemayamkan. Terlepas kejahatannya pernah diampuni, mereka tetap dipandang sebagai pengkhianat negara atas aksi kudeta militer pada 1979.

Baca juga artikel terkait DIKTATOR atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino