Menuju konten utama

Mengenal Chaebol, Konglomerasi Raksasa ala Korea Selatan

Tulang punggung ekonomi negara sejak 1970-an, tapi rajin dikritik monopolistik, korup dan tidak pro-buruh/pengusaha kecil.

Mengenal Chaebol, Konglomerasi Raksasa ala Korea Selatan
Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dalam sebuah konferensi pers di istana kepresidenan di Seoul, Korea Selatan (10/9/18). AP Photo/Lee Jin-man.

tirto.id - Film Parasite (2017) adalah gambaran terkini tentang ketimpangan sosial di masyarakat Korea Selatan. Ada keluarga yang sangat kaya dan luar biasa miskin. Kekayaan keluarga Park bisa membangkitkan beragam imajinasi. Karakter Ki-taek dan anak-istrinya, misalnya, berhasrat untuk menggenggam nasib yang sama meski melalui jalur penipuan berantai.

James Marsh, kritikus yang biasa menulis tentang film-film Asia di harian South China Morning Post, tidak ragu untuk menempatkan film berjudul asli Gisaengchung itu sebagai karya terbaik sutradara Bong Joon-ho. Ia juga menyebut keluarga Park mewakili “jenis yang dijalankan konglomerat chaebol”.

Tapi, apa itu chaebol?

Secara etimologis chaebol berasal dari kata jaebeol yang diromantisasi berdasarkan sistem McCune-Reuschauer. Akarnya suku kata “jae” yang berarti kekayaan atau properti dan “beol” yang berarti faksi atau klan (kekerabatan).

Chaebol merujuk pada grup konglomerasi raksasa yang menaungi sejumlah perusahaan dan dipimpin oleh satu keluarga pendiri beserta keturunannya. Contohnya, dengan produk-produk yang distribusinya telah mendunia serta mengandung nama yang familier, ialah Samsung Group, LG Corporation, Hyundai Kia Automotive Group, dan Lotte Corporation.

Jejak sejarahnya merentang panjang. Rhyu Sang-young pernah membahasnya dalam publikasi di The Korean Journal of International Relations (Volume 45, 2005). Judulnya "The Origins of Korean Chaebols and their Roots in the Korean War".

Rhyu mencatat Chaebol mengemuka setelah berakhirnya Perang Dunia II. Di masa yang bersamaan Semenanjung Korea masih terbakar konflik antara pihak utara dan selatan, yang akhirannya melahirkan Korea Utara dan Korea Selatan.

Setelah perang berakhir pada 1953, korporasi-korporasi yang dulunya dimiliki Jepang beralih kepemilikan ke tangan keluarga-keluarga asli Korsel.

Rezim pemerintahan Syngman Rhee kemudian melakukan intervensi dalam upaya membesarkan perusahaan-perusahaan tersebut agar cepat berkembang. Imbas yang diharapkan antara lain penyerapan tenaga kerja, menambah pemasukan negara, dan meluaskan pembangunan infrastruktur.

Beberapa sejarawan menyebutnya sebagai model “kapitalisme terpimpin”. Banyak perusahaan yang mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah, termasuk intervensi finansial agar perusahaan tidak mudah bangkrut. Kondisi ini berjalan pelan tapi pasti selama Syngman Rhee berkuasa hingga 1960.

Pada dekade 1970-an dan 1980-an, strategi tersebut menuai keberhasilan yang signifikan. Ekonomi Korsel melesat jauh meninggalkan negara-negara industri lain.

Ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi kesuksesan chaebol. Misalnya, sejak 1970-an strateginya adalah ekspansi melalui ekspor, bukan impor, melalui berbagai jenis produk (menghindari ketergantungan satu produk).

Kemudian pemanfaatan pinjaman dari luar negeri untuk mengembangkan teknologi penunjang produksi. Manuver ini didukung kebijakan pemerintah yang menyeleksi perusahaan-perusahaan chaebol sebagai penyalur dana dari luar negeri maupun pelaksana proyek-proyek vital.

Pada akhir 1980-an, perusahaan-perusahaan chaebol telah menjadi korporasi yang mandiri dan aman secara finansial. Saking independennya, bantuan dan intervensi pemerintah bisa ditekan seminimal mungkin.

Hingga pertengahan 1990-an, (sebelum Asia dihantam krisis finansial) Korsel adalah salah satu negara industri baru yang paling kuat dan besar. Masyarakatnya, yang pada masa perang semiskin negara Sub-Sahara Afrika, pada saat itu memiliki standar hidup yang setara dengan negara-negara industri maju.

Meski demikian, chaebol bukan sistem yang tanpa cacat. Ian Marlow dari Globe and Mail memaparkan tata kelola manajemen yang amat terpusat serta elitis membuat sejumlah ekonom meyakini bahwa chaebol adalah representasi kapitalisme kroni (crony capitalism).

Melalui perilaku monopolistik, kapitalisme kroni memanjakan para pebisnis yang berada di lingkar kekuasaan, sementara yang di luar relatif berumur singkat, stagnan, atau tumbuh amat pelan. Pada dasarnya sistem ini berlaku tidak adil, khususnya bagi yang memiliki modal lebih kecil.

Pada krisis finansial 1997 banyak pihak yang tidak mengkhawatirkan chaebol. Berbeda dengan non-chaebol, pemerintah mempersilahkan chaebol untuk melakukan peminjaman uang tiap kali tidak mampu membayar hutang. Sekali lagi: bentuk intervensi finansial agar chaebol tidak mudah bangkrut.

Teorinya: semakin banyak meminjam, semakin aman posisi chaebol. Kenyataannya: perusahaan-perusahaan chaebol tetap kolaps. Banyak yang kena efek berantai. Pasca-krisis, chaebol perlu waktu lama untuk memulihkan diri.

Analis kerap menyinggung bagaimana chaebol bertindak sebagai pemilik perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah payung grup. Mereka punya kekuatan serta kekuasaan yang amat dominan.

“Keluarga pendiri, entah itu generasi ketiga atau keempat, mereka tidak menghadapi tantangan yang benar-benar berkuasa dalam grup. Jadi mereka bisa memutuskan apa pun yang mereka mau,” kata Lee Ji-soo, pengacara di Centre for Good Corporate Governance, dalam laporan Financial Times.

“Problemnya adalah mereka tidak hanya berkuasa di dalam grup, tapi juga di luar, hingga ke sendi-sendi masyarakat di Korea Selatan,” imbuhnya.

Konsep manajemen chaebol selalu dipromosikan mengandung aspek-aspek positif. Kembali merujuk pada Financial Times, chaebol membuat perusahaan lebih cepat dalam mengambil keputusan, terutama yang menyangkut rencana-rencana jangka panjang.

Di satu sisi, rencana-rencana jangka panjang itu dimaksudkan agar usaha keluarga menurun ke anak dan cucu-cucu. Di sisi lain, metode pengambilan keputusan yang agresif mendorong perusahaan-perusahaan untuk berkembang secara pesat.

Sayangnya, tidak semua pihak silau akan narasi pencapaian chaebol, atau jasa besarnya bagi ekonomi Korsel. Serikat buruh, misalnya, menganggap chaebol menjalankan konsep manajemen yang tidak selalu mendatangkan berkah untuk golongan pekerja.

Aksi protes terhadap chaebol adalah pemandangan yang lazim di Korsel. Isunya seputaran imbas-imbas negatif dari kebijakan ngawur yang ditetapkan para petinggi chaebol. Para pekerja menilai petinggi perusahaan dan elite chaebol itu rakus serta terlalu pelit dalam mengalokasikan dana kesejahteraan buruh.

Sejarah membuktikan bahwa kekuasaan absolut pasti korup. Kekuasaan besar yang menempel pada chaebol juga menaikkan potensi korupnya. Apalagi di masa terdahulu, saat perusahaan chaebol sangat yang tidak akuntabel karena kedekatan dengan penguasa sukses mengendorkan fungsi pengawasan.

Infografik Gurita Chaebol

Infografik Gurita Chaebol. tirto.id/Quita

Pada pertengahan Februari 2017, misalnya, pejabat Korsel bernama Lee Jae-yong dituduh melakukan tindak penyuapan kepada orang kepercayaan presiden.

New York Times melaporkan Jae-yong adalah wakil ketua Samsung yang berasal dari keluarga chaebol. Secara de facto, ia menjabat sebagai pemimpin Samsung sejak ayahnya, Lee Kun-hee, yang hampir berusia hampir 80 tahun, menderita serangan jantung pada 2014.

Jae-yong bertanggung jawab atas seluruh bisnis Samsung, antara lain di bidang alat elektronik, konstruksi, pembuatan kapal, asuransi, kartu kredit, hingga tentu saja telepon pintar. Kesemuanya menyumbang seperlima dari total ekspor Korsel (per 2017).

Jae-yong pada akhirnya menghirup udara bebas setelah dinyatakan tidak bersalah pada persidangan di akhir tahun 2018. Berbagai spekulasi muncul. Termasuk yang menyatakan posisinya tentu saja terlindungi, sebab ia bagian dari salah satu chaebol paling berpengaruh dalam sejarah Negeri Gingseng.

Baca juga artikel terkait KOREA SELATAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf