tirto.id - Film Parasite garapan sutradara asal Korea Selatan, Bong Joon-hoo, menjadi bahan pembicaraan dalam beberapa waktu belakangan. Mengisahkan tentang drama kelas sosial, yang dibalut dengan humor gelap dan sedikit twist di akhir durasi, Parasite mendatangkan banyak pujian.
Cannes bahkan mendapuknya sebagai film yang berhak membawa pulang Palme d’Or — penghargaan tertinggi untuk Film Terbaik.
Naiknya pamor Parasite sekaligus memperlihatkan wajah sinema Korea Selatan (Korsel) yang bergelimang potensi kepada mata dunia. Parasite barangkali adalah puncak gunung, setelah sebelumnya publik lebih dulu mengenal Oldboy (2003), Memories of Murders (2003), The Handmaiden (2016), maupun Okja (2017).
Berbicara tentang pencapaian Parasite dan juga Bong Joon-ho tidak bisa dilepaskan dari konteks bagaimana sinema Korea Selatan tumbuh dan berkembang. Parasite merupakan salah satu produk turunan dari gerakan Korean New Wave, atau Gerakan Sinema BaruKorea. Di Korsel, gerakan ini punya sejarah panjang serta berandil besar dalam membentuk citra maupun pesona sinema itu sendiri.
Gerakan Sinema Baru Korea mulai mengambil tempat saat rezim tiran Park Chung Hee berkuasa dari 1961 sampai 1979. Park, yang berlatar belakang militer, mengambil alih pemerintahan dengan melakukan kudeta terhadap Yun Po Sun. Disokong Amerika Serikat, Park lantas jadi diktator.
Salah satu ciri pemerintahan Park adalah kuatnya pemberlakuan sensor yang menargetkan banyak unsur, tak terkecuali film. Seperti dicatat Seung Hyun Park dalam "Film Censorship and Political Legitimation in South Korea" (2002, PDF), sensor dipakai untuk mengontrol kehidupan masyarakat sipil sekaligus memperkuat otoritas negara.
Kebijakan sensor, di era Park, termanifestasi lewat pembentukan First Motion Picture Law sejak 1962 yang bertujuan menjaga kualitas perfilman lokal agar mampu mempromosikan kesenian nasional. Dalam implementasinya, para pelaku film diharuskan memenuhi standar yang telah dipatok pemerintah lewat aturan ini.
Beberapa ketentuan itu antara lain kepemilikan studio dengan ukuran 790,8 meter persegi, peralatan syuting yang memadai, hingga jumlah produksi minimal 15 judul dalam satu tahun. Persyaratan ini, bagi pelaku industri film, tentu memberatkan. Imbasnya, jumlah produksi film pun sedikit, yakni 112 judul dalam setahun.
Upaya Park dalam mengontrol kesenian terus dilakukan. Usai mendeklarasikan diri untuk memerintah seumur hidup, pada 1972, Park mengeluarkan Fourth Revised Motion Picture Law, yang disusul pendirian Motion Picture Promotion Corporation (MPPC) setahun kemudian. Dengan kedua instrumen ini, Park semakin mengokohkan kuasa negara atas film.
Ia berdalih ingin membantu tumbuh-kembang industri perfilman Korea. Namun, masih mengutip makalah Seung Hyun, Park realitanya justru menggunakan film sebagai alat propaganda guna menghadapi Perang Dingin, menyebarluaskan nilai-nilai militerisme, hingga kontrol politik.
Pada masa itu, film-film Korea diharuskan menerjemahkan visi-misi Park. Para pembuat film tak boleh keluar dari koridor yang digariskan. Film tak boleh memuat kritik terhadap pemerintahan dan segala hal yang dianggap mengancam stabilitas nasional. Bila masih tetap ngeyel, maka sensor akan bekerja dan memutuskan nasib ke depan lewat pemotongan adegan hingga yang terburuk: Pembredelan.
Mekar Berkat Hollywood
Kediktatoran Park membikin masyarakat Korea muak, khususnya mereka yang masih berusia muda. Aksi protes meminta Park turun jabatan yang diinisiasi oleh mahasiswa pun bermunculan di seantero negeri.
Kekuasaan Park akhirnya tumbang pada Oktober 1979 selepas nyawanya dihabisi oleh Kepala Badan Intelijen Pusat Korea. Kematian Park memunculkan harapan akan kehidupan demokratis yang sempat hampir terwujud ketika Choi Kyu-hah naik ke kursi presiden. Namun, harapan itu sirna usai Choi dikudeta Chun Doo-hwan, seorang jenderal yang menjabat Kepala Komando Pertahanan dan Keamanan pada 12 Desember 1979.
Di bawah rezim Chun (1980-1988), sebagaimana ditulis Brian Yecies dan Ae-Gyung Shim dalam "Contemporary Korean Cinema: Challenges and the Transformation of 'Planet Hallyuwood'" (PDF), sensor tetap diberlakukan. Semua film yang hendak tayang, harus terlebih dahulu melewati pemeriksaan Performance Ethics Committee (PEC), yang sudah beroperasi sejak 1979.
Dalam perjalanannya, PEC menargetkan film-film lokal yang memuat tema-tema politik, khususnya yang memperlihatkan kecenderungan komunisme, Korea Utara, maupun anti-pemerintah. Contoh penyensoran bisa dilihat saat PEC menghapus adegan dalam film What Are You Going to Do Tomorrow? (Bong Won Lee, 1987) yang memuat dialog ketidaksukaan kepada rezim yang tengah berkuasa.
Selain itu, PEC juga membatasi distribusi film-film impor yang banyak berdatangan dari Amerika Serikat dengan maksud mencegah masyarakat mengonsumsi terlalu banyak budaya asing. Kondisi ini membuat industri film Korea seperti kembali memasuki masa kegelapan.
Di atas permukaan, perfilman Korea boleh saja mengalami degradasi akibat kebijakan rezim. Namun, hal ini tak berlaku di bawah tanah, tatkala antusiasme akan film tetap bergelora dan perlahan menyemai perlawanannya.
Geliat di bawah tanah ini dipelopori anak-anak muda yang tergabung dalam Yengsang Sidae (Visual Generation). Mereka - yang sebelumnya juga menjadi kelompok anti-Park - banyak terinspirasi dari gerakan sinema di negara lain macam British Free Cinema dan French New Wave. Di tengah keterbatasan yang ada, Yengsang Sidae menciptakan manifesto yang berisi tentang cita-cita mereka untuk sinema Korea.
Kelompok ini beranggotakan sineas seperti Chung Ji-young, Chung Sung-ill, Huh Moon-young, Jang Gil-soo, Kang Han-sup, Kim Hong-joon, Park Kwang-su, sampai Shin Chul. Biasanya, mereka mengadakan pemutaran film di Pusat Kebudayaan Perancis dan Jerman. Di dua tempat itu, mereka leluasa menyampaikan gagasan maupun idenya tanpa harus takut diciduk aparat.
Dari dunia bawah tanah itulah, mengutip Isolde Standish dalam "United in Han: Korean Cinema and the "New Wave," lahir karya-karya yang merepresentasikan kegelisahan masyarakat. Film-film mereka menyoroti kegagalan pemerintahan, sempitnya akses terhadap kehidupan yang bebas, serta kesenjangan sosial. Karena film mereka jelas tak memenuhi kriteria pemerintah, maka distribusinya hanya beredar di tempat-tempat tertentu seperti kampus.
Cahaya terang perlahan menyinari dunia perfilman Korea manakala Chun turun takhta dan digantikan Roh Tae-woo yang terpilih melalui pemilihan umum yang demokratis pada 1988. Pemerintahan Roh mulai mengendorkan sensor.
Di saat bersamaan, pemerintahan Roh juga membuka keran impor film asing dari AS ke pasar Korea. Kebijakan ini seketika membuat film-film Hollywood mudah diakses masyarakat. Statistik mencatat, dalam rentang waktu 1989 sampai 1996, ada 2.705 film asing yang masuk ke Korea, dengan rata-rata mencapai 338 judul tiap tahunnya.
Angin makin berpihak pada industri film manakala pada 1996, di bawah kepemimpinan Presiden Kim Young-sam, yang berlatar belakang sipil, sensor resmi dinyatakan ilegal. Tak cuma itu, pemerintah juga menghapus PEC dan menggantikannya dengan sistem rating. Dari sini, kebebasan berekspresi masyarakat dijamin penuh. Tak ada lagi pembatasan, tak ada lagi pengekangan.
Segala reformasi ini membuat industri film Korea melangkah ke babak baru. Ruang-ruang yang sebelumnya tertutup rapat menjadi terbuka lebar. Para sineas memperoleh kesempatan untuk menemukan dan menafsirkan kembali realisme yang telah lenyap selama militer berkuasa sejak 1961.
Dalam waktu yang relatif singkat, industri perfilman Korea dipenuhi talenta-talenta baru nan berbakat. Mereka menarik atensi penonton lokal, regional, maupun internasional. Inilah yang lantas menjadi pertanda lahirnya Gerakan Sinema Baru Korea, sebuah generasi yang diisi anak-anak muda dengan semangat membentuk wajah sinemanya sendiri, sama seperti yang terjadi di Perancis, Jerman, maupun Inggris pada era 1960-an.
Beberapa nama yang menjadi penggeraknya antara lain Lee Chang Dong (Peppermint Candy, Oasis, Secret Sunshine), Kim Jee-woon (The Quiet Family, A Tale of Two Sisters, A Bittersweet Life), Kim Ki-duk (The Isle, Real Fiction, Bad Guy), Kang Je-kyu (Shiri), Song Hae-sung (Failan), hingga, tentunya, Bong Joon-ho dan Park Chan-wook.
Karya-karya sutradara muda ini mengangkat narasi sosial yang tumbuh di Korea Selatan, dari relasi keluarga yang disfungsional, memori kelam di masa penjajahan Jepang, konflik antar-gangster, hingga kritik terhadap perilaku korup para pejabat pemerintahan. Semua dibikin dan dipoles dengan menggunakan standar Hollywood.
Sambutan akan film-film Korean New Wave begitu positif. Di dalam negeri, misalnya, seperti dicatat Taste of Cinema, enam film lokal masuk 20 besar daftar box office pada 1998. Tiga tahun berselang, 40 persen dari box office disumbang langsung oleh film-film lokal. Sementara di luar negeri, film-film Korea memenuhi festival-festival sirkuit utama, dari Cannes, Venesia, Sundance, Toronto, Hong Kong, hingga Berlin.
Era 2000-an menjadi masa keemasan untuk sinema Korea. Hampir dua dekade berselang, kilau emas itu masih tetap menyala berkat perlawanan panjang terhadap sensor dan kesadaran akan realitas sosial yang tak baik-baik saja. Karena, pada dasarnya, seperti Bong Joon-ho bilang:
"Masyarakat Korea hidup dengan drama."
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara