tirto.id - Pada Sabtu (25/5), Festival Film Cannes 2019 menobatkan Parasite sebagai peraih Palme d’Or (Palem Emas)—penghargaan tertinggi dalam Cannes untuk Film Terbaik.
Parasite merupakan film komedi gelap yang mengeksplorasi dinamika kelas sosial, disutradarai oleh Bong Joon-ho yang berasal dari Korea Selatan. Prestasi Bong makin lengkap sebab ia menjadi sineas Korea pertama yang berhasil memenangkan Palme d’Or.
Pada 2017, film Bong, Okja, juga dimainkan di Cannes. Namun, Okja mendatangkan kontroversi setelah Netflix, selaku distributor, merilis film ini lewat layanan streamingtanpa lebih dulu diputar di bioskop-bioskop Perancis.
Politik dan Keluarga
Bong lahir di Daegu pada 1969. Minatnya akan film sudah tumbuh sejak kecil tatkala keluarganya mengenalkannya pada film-film Hollywood. Memasuki dewasa, terlebih saat ia menempuh studi di Universitas Yonsei dan Akademi Seni Film Korea pada warsa 1990-an, antusiasme Bong terhadap film kian tak dibendung, terpengaruh karya-karya Edward Yang, Shohei Imamura, dan Hou Hsiao-hsien.
Debut film panjang Bong terjadi manakala ia membikin Barking Dogs Never Bite (2000), sebuah black comedy yang bertutur tentang rasa frustasi seorang profesor paruh waktu terhadap anjing-anjing yang menggonggong di apartemennya. Dalam film ini, Bong mencoba mengembangkan tema-tema moralitas serta realitas yang datang seiring dengan perjuangan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Sejak saat itu, Bong konsisten membuat film-film dengan tema cerita yang unik, dua di antaranya adalah Memories of Murder (2003) dan Mother (2009). Di film pertama, Bong menghadirkan kisah dua detektif, Park Doo-Man (Song Kang-ho) dan Seo Tae-Yoon (Kim Sang-kyung), yang tengah berupaya menuntaskan kasus pembunuhan berantai dengan latar waktu Korea 1980-an.
Memories of Murder berhasil menggambarkan ketegangan demi ketegangan yang diolah secara dramatis—sekaligus realis. Penonton bakal dibawa menjelajah berbagai kemungkinan yang tak terduga dalam menemukan dalang pembunuhan.
Respons pasar terhadap film ini sangatlah positif. Selain sukses secara finansial, Memories of Murder juga meningkatkan visibilitas Jong sebagai sutradara, terutama di tingkat internasional. Ia diganjar banyak penghargaan di festival-festival di luar Asia.
Kesuksesan Bong kembali berlanjut saat ia melepas Mother, enam tahun kemudian. Narasi Mother berkutat pada upaya perempuan paruh baya (diperankan Kim Hye-ja) yang berusaha membebaskan putranya yang cacat mental (Won Bin), yang telah dituduh melakukan pembunuhan.
Lewat Mother, Bong menggali ingatan dan tekad seorang ibu dalam mencari keadilan di tengah sistem hukum yang korup, licik, dan manipulatif. Upaya sang ibu, yang tak disebutkan namanya tersebut, dibungkus secara apik dengan melodrama khas Hitchcockian—merujuk pada gaya sinematik Alfred Hitchcock.
Film-film Bong, secara garis besar, menawarkan perspektif yang unik dan berperan sebagai komentar sosial—yang pahit—tentang keluarga, politik, dan kondisi masyarakat Korea Selatan. Semua dibalut dengan penuh humor, intensitas tinggi, serta banyak rupa: fiksi ilmiah, thriller, maupun drama.
“Alasan mengapa film-film Korea mengangkat hal-hal ekstrem ialah karena masyarakat di negara ini tumbuh dengan hal itu,” tegas Bong.
Gebrakan Sinema Asia
Bong menjadi sutradara Asia kedua yang berhasil menang Palem Emas Festival Film Cannes, setelah tahun kemarin gelar serupa didapatkan sineas dari Jepang, Hirokazu Kore-eda, lewat film berjudul Shoplifters. Dua sutradara Asia menjuarai Palem Emas Cannes dalam dua tahun beruntun seketika membuka wacana: inikah momentum sinema Asia untuk unjuk muka?
Sinema Asia punya riwayat historis yang panjang. Di era sebelum milenium, publik mengenal nama-nama seperti Fei Mu (Cina), Guru Dutt (India), Mira Nair (India), Kim Ki-young (Korea Selatan), Akira Kurosawa (Jepang), Wong Kar-wai (Hong Kong), Hou Hsiao-Hsien (Taiwan), sampai Abbas Kiarostami (Iran).
Kehadiran mereka memberikan warna tersendiri bagi perkembangan film di Asia, menandakan lahirnya gerakan pembaharuan sinema di tiap negara, serta turut memengaruhi gaya-gaya sineas era kiwari.
Sekarang, perkembangan sinema Asia ditandai dengan munculnya wajah-wajah baru. Bong hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh yang ada. Di Korea Selatan, selain Bong, ada juga Park Chan-wook, kompatriotnya yang dikenal lewat film-film dengan tema balas dendam, sadisme, dan hal-hal yang tabu untuk dibicarakan.
Anda bisa menyaksikannya, misalnya, dalam Joint Security Area (2000) yang berkisah tentang bagaimana serdadu di perbatasan Korea Selatan dan Utara memandang makna unifikasi; atau Oldboy (2003), bagian dari “Trilogy of Vengeance,” yang bertutur mengenai upaya balas dendam seorang yang dipenjara selama belasan tahun tanpa alasan yang jelas; serta The Handmaiden (2015) yang mengangkat erotisme dan gejolak asmara lesbian di masa pendudukan Jepang.
Bergeser ke Iran, publik akan disuguhi nama Asghar Farhadi. Nama Farhadi sendiri bisa dibilang menjadi nama besar di jagat sinema Iran setelah Kiarostami. Ia dua kali menyabet Oscar untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik, pada 2012 dan 2017, lewat A Separation serta The Salesman. Piala Oscar-nya yang terakhir bahkan diiringi dengan aksi boikot, sehubungan dengan kebijakan larangan masuk ke AS bagi orang-orang dari negara bermayoritas penduduk muslim yang diberlakukan Donald Trump—Iran adalah salah satunya.
Lanskap sinematik Farhadi dibangun lewat tema-tema yang punya korelasi kuat dengan kehidupan masyarakat urban Iran; menautkan sisi emosional, realitas, sampai hubungan antar kelas sosial.
Di Cina, sutradara yang mencuri perhatian ialah Wang Xiaoshuai. Dalam membikin film, Wang bertumpu pada gaya bercerita naratif, yang mengambil inspirasi dari kejadian-kejadian di sekitar. Anda bisa menyaksikannya lewat sejumlah filmnya seperti The Days (1993), Suicides (1994), Beijing Bicycle (2000), hingga Shanghai Dreams (2005).
“Saya tidak membuat film yang politis. Tapi, lebih ke hal-hal yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Karena di sana ada banyak makna yang bisa dipetik,” kata Wang dalam sebuah wawancara.
Alankrita Shrivastava berdiri di garda terdepan bila berbicara soal film-film yang mengangkat masalah perempuan. Film-film sutradara asal India ini, Turning 30 (2011) dan Lipstick Under My Burkha (2016), dikenal vokal dan kritis dalam memperjuangkan keadilan maupun kesetaraan bagi perempuan. Untuk Lipstick Under My Burkha sendiri sudah diputar di lebih dari 60 film festival serta memenangkan 18 penghargaan di antaranya.
Untuk kawasan Asia Tenggara, ada Brillante Mendoza, sineas asal Filipina, yang dikenal getol menyentil masalah kekerasan, kemiskinan, dan pelanggaran HAM yang menyasar masyarakat—terutama di masa kepemimpinan Rodrigo Duterte.
Kinatay (2009), ambil contoh, bercerita mengenai kadet kepolisian yang melihat pembantaian seorang perempuan di satu gang. Sementara Captive (2012), yang ia mulai rekam pada 2001, mengisahkan aksi penculikan di daerah Dos Palmas, Palawan. Tahun lalu, Mendoza merilis Alpha, The Right to Kill, yang menggambarkan operasi pemberantasan narkoba secara besar-besaran yang digaungkan Duterte.
Melalui filmnya, Mendoza membahas masalah sosial yang berbatasan dengan sisi gelap masyarakat di Filipina. Harapannya, ia bisa mendorong audiens Filipina untuk menghadapi kenyataan dan menangani apa yang sebenarnya terjadi di sekitar mereka.
“Kita harus mengakui bahwa ada masalah yang sedang terjadi [di Filipina]. Karena selama kita tidak melakukan langkah apa pun, masalah itu tidak akan pernah terpecahkan,” tegas Mendoza.
Indonesia sendiri juga tak boleh dilewatkan bila berbicara mengenai sinema Asia era saat ini. Deretan sutradara, dengan film-film yang kualitasnya tak perlu diragukan lagi, muncul secara konsisten. Yosep Anggi Noen, Ismail Basbeth, Mouly Surya, Wregas Bhanuteja, Angga Dwimas Sasongko, Kamila Andini, maupun Edwin merupakan contoh gerbong terbaru yang kiprahnya (perlahan) menjulang.
Melawan Sensor
Di tengah geliat sinema Asia yang sedang hangat-hangatnya, terdapat momok besar berwujud penyensoran. Negara-negara macam Cina, Korea Selatan, Iran, Filipina, India, sampai Indonesia sama-sama tengah bertarung melawan masalah tersebut.
Di Cina, mengutip laporan South China Morning Post, penyensoran dibuktikan dengan ketidakjelasan aturan yang ada. Lembaga sensor di sana seringkali tak konsisten dalam memberi penilaian apakah film bersangkutan diperbolehkan tayang atau tidak.
Lanjut ke India, sensor juga jadi musuh bersama para sineas. Pada 2016, misalnya, film Udta Punjab diminta Dewan Pusat Sertifikasi Film India (CBFC) untuk memotong 94 adegan yang meliputi adegan ledakan hingga konsumsi narkoba.
Sedangkan di Korea Selatan, sensor terjadi manakala pemerintah Busan meminta penyelenggara Festival Film Internasional Busan (BIFF) untuk tidak memutar film dokumenter berjudul The Truth Shall Not Sink with Sewol (2014), yang mengkritik upaya pemerintah Korsel dalam menangani kasus tenggelamnya kapal MV Sewol yang menewaskan lebih dari 300 orang.
Masalah BIFF rupanya hanya bagian kecil dari masalah yang luas tentang penyensoran yang menimpa sinema Korea Selatan. Dalam beberapa tahun terakhir, para sineas kerap jadi korban penangkapan maupun denda ketika film-film mereka memuat kritikan terhadap rezim yang berkuasa.
“Alasan pemerintah dalam mengendalikan film—dan kesenian yang lain—adalah untuk memperkuat otoritarianisme serta membikin demokrasi tak lagi aktif,” jelas profesor film dari Universitas Sejong, Lee Jeong-guk. Ia menambahkan, apa yang terjadi di Korea mengingatkannya pada zaman pemerintahan tiran Park Chung-hee (1961-1979), yang banyak merepresi kebebasan berkesenian di Korea Selatan dengan dalih “menciptakan stabilitas nasional.”
Indonesia pun punya masalah serupa. Warisan rezim Orde Baru, yang gemar menenggelamkan film-film yang tak sesuai kaidah mereka, masih melekat pada LSF (Lembaga Sensor Film). Pada 2007, misalnya, seperti ditulis Intan Paramaditha dalam “Cinema, Sexuality and Censorship in Post-Soeharto Indonesia” (2011), LSF memotong beberapa adegan dalam film omnibus Perempuan Punya Cerita (digarap oleh Nia Dinata, Upi Avianto, Lasja Fauziah, dan Fatimah Tobing Rony) karena mempertontonkan adegan berbau seksual.
Di Indonesia, LSF lebih banyak berfungsi seperti penjaga moral daripada penjaga kualitas film-film lokal. Alasan “tak sesuai nilai-nilai dan kepribadian masyarakat Indonesia” seringkali dipakai LSF ketika memotong adegan dalam film.
Sensor memang menjadi masalah yang menyebalkan. Akan tetapi, sejarah telah membuktikan bahwa seketat apa pun sensor yang diterapkan pemerintah, para sineas, terlebih di kawasan Asia, punya cara untuk terus berkarya.
Di Iran, contohnya, pemberlakuan syariat Islam yang digaungkan Ayatollah Khomeini pasca-Revolusi 1979, nyatanya tidak memutus kreasi sineas di sana untuk membikin film-film yang sangat personal, indah, dan mempunyai banyak tafsir makna kehidupan—sekalipun mereka harus kabur untuk sementara waktu dari tanah kelahirannya.
Maka, jika kemenangan Parasite bisa dianggap sebagai wajah baru masa keemasan film Asia, wajah itu tak selamanya mulus, melainkan juga menampilkan bopeng.
Editor: Nuran Wibisono