tirto.id - Mantan Jaksa Agung Korea Selatan, Yoon Suk-yeol (61), adalah kandidat presiden yang paling dijagokan dalam pemilu Maret mendatang. Menurut jajak pendapat teranyar, popularitasnya lebih tinggi daripada Lee Jae-myung (57), seorang mantan kepala daerah yang juga maju dalam kompetisi.
Jika Lee didukung partai liberal Democratic Party of Korea (DPK) yang sekarang berkuasa di pemerintahan, Yoon diusung oleh partai oposisi berhaluan konservatif People Power Party (PPP).
Penumpas Koruptor
Yoon Suk-yeol lahir di Seoul pada 1960 dari keluarga berpendidikan. Sejak 1994, setelah selesai menempuh studi hukum di kampus top Seoul National University, ia meniti karier sebagai jaksa di kantor distrik di kota metropolitan Daegu.
Sejumlah figur besar pernah Yoon usut dan itu perlahan melambungkan namanya. Pada 2006, ia terlibat dalam tim yang memerintahkan penahanan terhadap bos Hyundai, Chung Mong-koo, karena diduga menggelapkan uang perusahaan untuk menyuap pejabat.
Nama Yoon semakin meroket pada 2013 saat memimpin tim yang menginvestigasi dugaan intervensi Badan Intelijen Nasional dalam pemilihan presiden yang memenangkan Park Geun-hee (2012-2017). Yoon berusaha menjatuhkan dakwaan kepada kepala Badan Intelijen Nasional. Ia bahkan menuduh atasannya sendiri, Menteri Kehakiman Hwang Kyo-ahn, telah ikut campur dalam investigasi.
Menurut kejaksaaan, segelintir agen intelijen mengerah kansedikitnya 1,2 juta kicauan di Twitter yang memuji-muji kebijakan Park dan menjelekkan lawan politik sebagai simpatisan Korea Utara.
Melansir artikel Mitch Shin di The Diplomat, ketegasan Yoon untuk menyikapi kasus tersebut ditekankan di hadapan parlemen melalui pernyataan, “Saya tidak setia terhadap seseorang, melainkan organisasi.” Semenjak itulah ia mulai dipuji oleh kalangan progresif sebagai “jaksa adil” yang mengutamakan “prinsip kesetaraan di hadapan hukum,” tulis Shin.
Tapi tindakan tersebut memicu konsekuensi tersendiri. Yoon “dihukum” dengan dipulangkan ke kantor kejaksaan daerah.
Ketika terjadi pemakzulan Presiden Park Geun-hye yang berlangsung sejak Desember 2016 sampai Maret 2017, Yoon adalah bagian dari tim yang menginvestigasi penyalahgunaan kekuasaan sang presiden dan kawan lamanya, Choi Soon-sil. Terseret dalam mega skandal ini beberapa konglomerat chaebol, termasuk dari Samsung dan Hyundai, yang sudah memberikan suap untuk menyokong kepentingan sang presiden dan kroninya.
Setelah Park dipenjara dan Presiden Moon Jae-in menang pemilu 2017, Yoon dipromosikan ke Kantor Kejaksaaan Distrik Seoul. Seiring itu, kasus-kasus yang ditanganinya terus menarik perhatian. Misalnya, pada 2018, Yoon ikut menginvestigasi Lee Myung-bak, presiden periode 2008-2013. Lee akhirnya dihukum penjara 15 tahun karena menerima suap dari chaebol dan menggelapkan uang miliaran won.
Pada 2019, kantor kejaksaan Yoon berhasil mengungkap praktik keuangan busuk di Samsung. Mereka meminta Lee Jae-yong, bos Samsung generasi ketiga yang sudah pernah dijatuhi hukuman penjara karena skandal Presiden Park, agar diadili lagi.
Kasus ini mendapat sorotan luas terutama karena selama ini sistem peradilan Korsel dipandang terlalu tumpul untuk mengusut kejahatan para konglomerat chaebol—karena skandal mereka dikhawatirkan dapat mengguncang ekonomi Korsel.
Selama dua tahun lebih sedikit, kantor kejaksaan Yoon telah menginvestigasi lebih dari 100 mantan pejabat dan elite bisnis. Termasuk yang dikirim ke jeruji besi adalah dua mantan presiden dan sejumlah petinggi Badan Intelijen Nasional.
Dengan semua rekam jejak tersebut, tidaklah mengejutkan jika Presiden Moon, yang salah satu agendanya adalah pemberantasan korupsi, mengangkat Yoon jadi Jaksa Agung begitu jabatannya kosong pada 2019. Di mata sang presiden, Yoon adalah “orang yang tepat” karena “menunjukkan kompetensi sangat bagus dalam pengusutan kasus korupsi saat berada di garda terdepan dalam berbagai investigasi.”
Yoon kemudian memakai otoritasnya untuk mengusut berbagai dugaan kasus di tubuh administrasi Presiden Moon. Salah satunya menyeret Menteri Kehakiman Cho Kuk, juga profesor hukum yang sebelumnya merupakan penasihat kepresidenan. Meskipun Yoon idealnya bekerja sama dengan Cho dalam penegakan hukum, relasi keduanya belum sempat terjalin baik karena Yoon terlanjur memerintahkan investigasi terhadap sang menteri yang dihujani bertubi-tubi skandal sehingga mengundurkan diri setelah hanya satu bulan menjabat.
Kejaksaan menjatuhkan lebih dari 10 dakwaan terhadap Cho, di antaranya suap, pemalsuan berbagai dokumen untuk dana investasi, dan mempermulus anak-anaknya diterima di kampus elite.
Menurut pengacara keluarga Cho, tudingan tak lebih dari “dakwaan politik berdasarkan imajinasi dan karya fiksi oleh kejaksaan.” Apa pun itu, peristiwa ini akhirnya membuat hubungan Yoon dan Presiden Moon retak.
Seiring itu semua berlangsung, Yoon mulai diperhitungkan sebagai calon presiden oleh kalangan konservatif dan politikus anti-Moon. Kubu konservatif adalah oposisi setelah mengalami kekalahan dalam pemilu 2018 dan 2020.
Gesekan antara Yoon dan administrasi Moon berlanjut ketika pada 2020 Menteri Hukum Choo Mi-ae—anggota parlemen sekaligus pemimpin partai berkuasa DPK—memberhentikan sementara Yoon dari posisi Jaksa Agung. Kasus ini adalah kali pertama dalam sejarah Korsel di bawah konstitusi demokratis. Keputusan ini didasarkan atas anggapan bahwa Yoon dekat dengan tokoh media tertentu, menghalangi audit terkait kasus mantan perdana menteri, sampai menggerus netralitas kejaksaan karena pernah menyampaikan minat terjun ke politik praktis.
Penangguhan terjadi beberapa kali sampai akhirnya Yoon lelah lalu memutuskan untuk pensiun pada Maret 2021. Kemudian ia maju sebagai kandidat presiden mewakili kubu oposisi, PPP, yang merupakan hasil peleburan dari sejumlah partai konservatif termasuk Saenuri, penyokong Presiden Park Geun-hee yang dimakzulkan lima tahun silam.
Janji Kampanye
Nuansa permusuhan antara capres Yoon dan administrasi Moon masih terasa pada masa kampanye yang dimulai pada 15 Februari lalu.
Dengan slogan kampanye “hukum dan keadilan”, Yoon mengaku jika terpilih ingin mengusut kasus korupsi pemerintahan Presiden Moon.
Sejumlah pihak mengatakan Yoon tidak sepatutnya mengucap janji demikian. Pasalnya, dilansir dari situs media Hyankoreh, dengan menganggap administrasi sekarang korup sehingga perlu dihukum, Yoon artinya sudah memperlakukan lawan politik sebagai sasaran yang harus disingkirkan alih-alih rekan dialog. Ia juga dipandang sudah mengaburkan prosedur hukum dengan balas dendam politik.
Para pejabat dari kubu Demokrat menilai komentar Yoon mengindikasikan niat kejaksaan untuk “menghasut kudeta” sekaligus menunjukkan ambisinya untuk mengubah Korsel jadi “Republik Kejaksaan”.
Memperkuat otoritas kejaksaan memang menjadi janji kampanye andalan Yoon. Reformasi hukum ini termasuk memperluas kewenangan jaksa untuk mengusut kasus-kasus pejabat papan atas sampai mengizinkan kejaksaan agar mengatur anggaran sendiri. Lebih spesifik, Yoon ingin mereformasi Corruption Investigation Office for High-ranking Officials (CIO)—semacam KPK-nya Korsel—agar tidak mendominasi atau memonopoli investigasi kasus-kasus korupsi besar. Pendek kata, jaksa dan polisi diharapkan bisa ikut melakukan investigasi bersama CIO.
Yoon juga berwacana menghapus kewenangan Menteri Kehakiman untuk memerintahkan investigasi langsung kepada Jaksa Agung. Berkaca pada pengalamannya diberhentikan, Yoon menyayangkan betapa kekuasaan tersebut sudah “disalahgunakan” karena mencerminkan “kontrol sipil terhadap otoritas jaksa.”
Janji kampanye lain dari Yoon yang dianggap cukup menarik perhatian adalah tentang Korea Utara. Sebagai tanggapan terhadap uji coba rudal berturut-turut Korut pada Januari silam, Yoon merasa Korsel perlu punya kemampuan untuk mengerahkan serangan lebih dulu.
Ia juga ingin memperkuat kerja sama militer dengan pemerintah Amerika Serikat dan Jepang. Selama administrasi Moon, ketiga negara ini tampak kurang kompak karena relasinya diperkeruh oleh gesekan Seoul-Tokyo yang masih kental dengan luka sejarah kolonial.
Selain itu, Yoon ingin Korsel lebih menjaga jarak dari pemerintah Cina yang selama ini merupakan mitra dagang terbesar.
Pendekatan Yoon terhadap isu luar negeri berbeda dari kandidat presiden dari kubu Demokrat, Lee Jae-myung. Lee justru mau mendorong kerja sama dagang termasuk meringankan sanksi-sanksi ekonomi untuk Korut. Lee juga ingin mempertahankan hubungan dekat dengan Cina sembari meminta dukungan AS agar Korsel punya kapal selam bertenaga nuklir sebagai salah satu cara untuk lebih mandiri dalam mempertahankan diri.
Di mata Yoon, sikap “pro-Korut, pro-Cina, anti-AS” ini sekadar menunjukkan bahwa lawan politiknya bersikap lembek.
Kehebohan lain dari kampanye Yoon adalah janji menghapus Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga karena dianggap gagal menjalankan tugas selama dua dekade berdiri. Seruan ini dipandang tak lebih dari usaha Yoon untuk mendulang suara dari kaum laki-laki muda yang marah dengan gerakan feminisme di Korsel belakangan ini—kelompok demografi yang juga lahan rebutan dengan kandidat presiden dari Demokrat.
Menurut Yoon, salah satu faktor dari tingkat kelahiran rendah di Korsel adalah feminisme yang “diselewengkan secara politis” sehingga merusak relasi sehat antara laki-laki dan perempuan. Ia juga ingin mencapai “kesetaraan gender yang sesungguhnya” termasuk menjatuhkan hukuman lebih keras terhadap klaim bohong tentang kejahatan seksual yang diyakini kerap terjadi menurut kalangan antifeminis, meskipun sebenarnya statistiknya sangat rendah.
Dalam wawancara dengan Hankook Ilbo awal Februari silam, Yoon berkata, “Tidak ada lagi yang namanya diskriminasi seks struktural. Diskriminasi adalah urusan personal.” Menurutnya, “Hanya di masa lalu perempuan diperlakukan secara tidak setara dan laki-laki lebih diutamakan.”
Janji kampanye Yoon lain meliputi pemberian tunjangan bulanan sampai satu juta won per bulan (sekitar Rp12 juta) selama satu tahun untuk pasangan suami-istri yang baru saja memiliki bayi. Sedangkan untuk menarik suara kalangan militer, Yoon menjanjikan kenaikan tunjangan veteran sampai dua kali lipat dan menambah gaji para wajib militer.
Skandal
Sebagaimana kandidat dari kubu Demokrat, Lee Jae-myung, Yoon Suk-yeol juga diselimuti beragam skandal. Salah satu yang cukup disorot adalah tindak tanduk istri Yoon, Kim Kun-hee, yang diduga terlibat dalam manipulasi harga saham dengan dealer BMW.
Tak hanya itu, Kim juga ketahuan pernah memalsukan biodata saat mendaftar menjadi dosen. Skandal ini dipandang bisa menjadi bumerang untuk Yoon, yang dulu pernah mengusut Menteri Kehakiman Cho Kuk salah satunya terkait pemalsuan sertifikat agar anaknya bisa diterima di kampus bergengsi.
Beberapa waktu lalu istri Yoon juga terungkap pernah berkomentar tidak etis tentang korban pelecehan seksual. Menurut Kim, skandal seks jarang terdengar di kalangan elite politik konservatif karena mereka selalu memberikan upah atau bayaran kepada para korban supaya tutup mulut. Kim saat itu tengah menyindir maraknya skandal seks para politikus dari kubu liberal.
Ibu mertua Yoon juga disorot karena tahun lalu menerima vonis beberapa tahun penjara karena menjalankan fasilitas medis tanpa izin, menerima tunjangan kesehatan pemerintah secara ilegal, serta memalsukan dokumen keuangan. Kendati demikian, Januari kemarin pengadilan banding membatalkan vonis-vonisnya.
Yoon sendiri tidak lepas dari sorotan karena asosiasinya dengan dunia perdukunan. Oktober silam, saat tampil di acara televisi, tertulis di telapak tangannya karakter Cina berartikan “raja”—suatu praktik takhayul yang menurut para pengamat sudah mendiskreditkan proses demokrasi.
Belum lama ini, tersebar laporan bahwa seorang dukun ikut mengarahkan kampanye Yoon. Istri Yoon, Kim, juga pernah mengaku sebagai seorang yang “spiritual” dan selama ini dikabarkan suka memperkenalkan dukun-dukun tertentu kepada suaminya.
Praktik perdukunan di dunia politik bukan hal baru di Korsel. Pemakzulan Presiden Park beberapa tahun silam turut melibatkan pihak yang erat asosiasinya dengan dukun dan ikut campur urusan negara.
Masih ada beberapa komentar konyol dari Yoon yang membuatnya jadi bulan-bulanan publik. Salah satunya adalah pernyataan yang merendahkan orang miskin. “Mereka yang hidup dalam kemiskinan dan tidak terdidik, tidak tahu apa artinya kebebasan dan kenapa itu penting,” katanya.
Yoon juga menganggap gerakan prodemokrasi pada dekade 1980-an sudah disokong oleh “ideologi impor dari negara asing.” Tahun lalu, ia bahkan memuji diktator Chun Doo-hwan karena “[rekam jejak yang] bagus dalam berpolitik.”
Desember silam, ketika ditantang untuk berdebat oleh kandidat Partai Demokrat, Yoon menjawab dengan pertanyaan retorik: “Memangnya saya orang bodoh?” Tak butuh lama, potongan kalimat di atas dijadikan meme di forum daring dan bahan ejekan di Twitter.
Pertanyaan apakah Yoon orang bodoh bahkan dijadikan bahan survei di Blind, layanan perpesanan untuk pegawai. Dari sekitar 500-an responden, nyaris 98 persen menjawab: “ya.”
Editor: Rio Apinino