tirto.id - Pembantaian terhadap orang-orang yang dituding sebagai dukun santet di Banyuwangi, Jawa Timur, menjadi sorotan pada 1998 silam. Sejarah kelam ini memakan korban jiwa hingga ratusan orang dan saat ini masih belum menemui titik akhir.
Hasil penelitian bertajuk “HAM dan Politik Pasca Orde Baru (Konstruksi Pelanggaran HAM pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Kabupaten Banyuwangi Tahun 1998)" yang disusun Rhayi Permata Juang,Tedi Erviantono, dan Muhammad Ali Azhar, menyebutkan, peristiwa sadis tersebut menimbulkan trauma mendalam bagi warga Banyuwangi.
Tak hanya itu, tragedi pembantaian dukun santet itu juga memberikan efek buruk terhadap citra Kota Banyuwangi yang mendapat persepsi miring sebagai kota santet. Akibatnya, keturunan atau keluarga korban enggan memperpanjang masalah lantaran tidak ingin dianggap sebagai pewaris ilmu santet.
Kejadian yang Berulang
Suatu pagi di Desa Pondoknongko, Banyuwangi, pada September 1998, seorang bocah menerima kabar bahwa ayahnya tewas. Untung Hadi, nama anak itu, bergegas pulang dan mendapati sang ayah tergeletak dengan bersimbah darah.
Tak hanya nyawa yang hilang, rumah dan kebun korban juga dihancurkan. Ironisnya, tidak ada satu pun aparat desa yang datang saat peristiwa tragis tersebut terjadi.
Berita ini adalah satu dari sekian banyak aksi pembantaian terhadap orang yang diduga sebagai dukun santet di Banyuwangi. Peristiwa ini menjadi perbincangan di berbagai media nasional maupun internasional.
Menurut tulisan Jason Brown bertajuk Perdukunan, Paranormal, dan Peristiwa Pembantaian: Teror Maut di Banyuwangi 1998 (1999) kejadian tersebut merupakan hal yang berulang.
Bahkan, Saiful Rahim dalam Merah Darah Santet di Banyuwangi (1998) mengungkapkan bahwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituding telah mempraktekkan ilmu hitam alias dukun santet itu pernah terjadi pada 1991 dan 1996.
Tanggal 6 Februari 1998, Purnomo Sidik selaku Bupati Banyuwangi saat itu menyuruh seluruh camat di wilayahnya untuk mengumpulkan data tentang orang-orang yang bekerja sebagai paranormal, dukun pengobatan tradisional, dan sejenisnya untuk memudahkan penanganan jika terjadi sesuatu.
Kendati mereka sudah terdata, kasus pembunuhan ternyata tetap saja terjadi. Sejak Februari hingga September 1998, jumlah korban pembunuhan orang dalam daftar semakin meningkat, seakan memperlihatkan adanya kebocoran rahasia data.
Data Jumlah Korban
Kabar angin terkait pelaku aksi pembantaian dukun santet di Banyuwangi pun berhembus liar. Ada isu yang muncul bahwa aksi keji itu dilakukan oleh orang-orang yang berpakaian serba hitam mirip ninja.
Dalam buku Geger Santet Banyuwangi yang disusun oleh Abdul Manan, Imam Suma Atmadja, dan Veven Sp. Wardhana, disebutkan bahwa para ninja itu membawa benda sejenis handy-talky untuk berkomunikasi dan mampu bergerak dengan gesit, terlatih, dan sistematis.
Terungkap pula bahwa terdapat dua data berbeda mengenai korban pembantaian dukun santet di 18 kecamatan pada 1998 itu.
Pertama, adalah versi dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Melalui data yang telah dikumpulkan, versi ini menyebut bahwa terdapat 115 orang yang menjadi korban tews.
Versi kedua dikeluarkan oleh Tim Pencari Fakta Nahdlatul Ulama (NU) yang mencatat jumlah korban meninggal dunia mencapai 147 orang.
Pada 2015, kasus pembantaian massal ini kembali diusut oleh tim ad hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Kejahatan kemanusiaan itu adalah kejahatan yang dilakukan oleh warga-warga sipil dalam keadaan tidak perang. Dalam kasus Banyuwangi ini memenuhi sebagai pelanggaran HAM berat karena terdapat dua unsur yaitu unsur sistematis dan unsur meluas," tukas Ahmad Baso, Komisioner Komnas HAM saat itu, dalam wawancara dengan TVOne.
Temuan tim ad hoc dari Komnas HAM menyatakan bahwa keseluruhan korban tewas yang terdata mencapai 309 orang. Di antaranya 194 orang di Banyuwangi, 108 orang di Jember, dan 7 orang di Malang.
Penyelidikan tersebut akhirnya dilanjutkan ke Kejaksaan Agung pada 12 Januari 2019 agar segera mendapatkan langkah selanjutnya. Namun, hingga kini, siapa otak atau dalang aksi pembantaian belum sepenuhnya terungkap.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya