tirto.id - “Tanpa mempedulikan jerit dan tangisan para perempuan dan anak-anak Tionghoa, seluruh anggota masyarakat yang terdapat di Ngawi, habis dibantai. Tubuh-tubuh yang telah terpotong-potong dibiarkan bergelimpangan di muka pintu, jalanan, dan rumah-rumah yang penuh lumuran darah.”
Begitulah Benny G. Setiono melalui buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) meriwayatkan tragedi pembantaian etnis keturunan Cina yang terjadi di Ngawi pada 23 September 1825 (hlm. 173).
Pagi pada hari Jumat sebelum tragedi terjadi, datang ratusan prajurit berkuda ke Ngawi, menuju pemukiman orang-orang Tionghoa di daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur tersebut. Tanpa basa-basi, pasukan kavaleri itu langsung membantai setiap orang peranakan Cina yang mereka temui.
Pemimpin pasukan berkuda itu adalah seorang perempuan, bernama Raden Ayu Yudakusuma. Ia salah satu anak Pangeran Mangkubumi atau yang sejak 1755 mendeklarasikan diri sebagai pemimpin Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I (1755 -1792).
Nenek Panglima Diponegoro
Raden Ayu Yudakusuma adalah putri Hamengkubuwana I dari salah satu selirnya. Ibundanya yang diperistri sultan, Raden Ayu Srenggoro, merupakan putri Adipati Natayuda III yang pernah menjabat sebagai Bupati Kedu.
Sejak mulai bertakhta sebagai raja pertama Yogyakarta, perkawinan menjadi satu dari sekian cara yang dilakukan Hamengkubuwana I untuk mempertahankan sekaligus meluaskan pengaruhnya. Maka, sang sultan pun menikahkan putra-putrinya dengan para penguasa lokal yang tersebar di berbagai wilayah.
Raden Ayu Yudakusuma salah satunya. Ia dikawinkan dengan Raden Tumenggung Wirasari, Bupati Ngawi. Sesuai isi Perjanjian Giyanti yang diteken pada 13 Februari 1755, Ngawi—yang semula milik Kasunanan Surakarta—termasuk wilayah bekas Mataram yang diberikan kepada Pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwana I.
Pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa yang terjadi pada 23 September 1825 itu ternyata masih ada kaitannya dengan Perang Jawa melawan Belanda yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Antara Raden Ayu Yudakusuma dan Pangeran Diponegoro masih terbilang kerabat dekat. Diponegoro adalah salah satu putra Hamengkubuwana III. Sultan yang dua kali berkuasa (1810-1811 dan 1812-1814) ini merupakan anak Hamengkubuwana II yang tidak lain adalah kakak Raden Ayu Yudakusuma. Dengan demikian, Raden Ayu Yudakusuma masih terhitung nenek Pangeran Diponegoro meskipun sebenarnya mereka berusia sepantaran.
Raden Ayu Yudakusuma diperkirakan lahir tahun 1787, sementara Diponegoro pada 1785. Hubungan nenek-cucu antara Raden Ayu Yudakusuma dan Diponegoro dimungkinkan karena Hamengkubuwana I—yang wafat pada 1792—memiliki banyak istri. Raden Ayu Srenggoro, ibunda Raden Ayu Yudakusuma, diperkirakan lahir pada 1752.
Ketika Perang Jawa mulai meletus sejak 1825, Raden Ayu Yudakusuma turut membantu perjuangan cucunya, Diponegoro, melawan Belanda, sebagai komandan pasukan wanita. Peter Carey dalam The British in Java 1811-1816: A Javanese Account (1992) menyebut Raden Ayu Yudakusuma sebagai “perempuan yang sangat cerdas dengan kecerdikan yang benar-benar jantan” (hlm. 30).
Carey juga menulis bahwa Raden Ayu Yudakusuma, secara pribadi, adalah orang yang bertanggung jawab atas pembantaian terhadap komunitas Tionghoa dalam jumlah yang cukup besar, di Ngawi, dekat Sungai Sala (Bengawan Solo), pada 23 September 1825 itu.
Retaknya Harmonisasi Pribumi-Cina
Dalam bukunya yang lain, Orang Jawa & Masyarakat Cina 1775-1825 (1985), Peter Carey menyebut bahwa sebelum penyerbuan itu terjadi, antara orang-orang peranakan Cina dan warga lokal di Ngawi sebenarnya terjalin relasi yang cukup harmonis. Dua golongan ini saling membantu. Tidak jarang Raden Ayu Yudakusuma meminta bantuan kepada warga keturunan Tionghoa. Istri Bupati Ngawi ini bahkan pernah meminjam uang kepada saudagar Cina di wilayah itu (hlm. 84).
Namun, kemesraan tersebut mulai retak karena ulah sejumlah oknum orang Tionghoa yang oleh Belanda dipercaya sebagai petugas pemungut pajak, atau petugas yang berjaga di jalan-jalan utama, jembatan, bandar dagang atau pelabuhan di dermaga maupun di sungai-sungai, hingga di pasar-pasar.
Tak hanya Belanda, para pejabat lokal, termasuk raja, juga merangkul kaum Tionghoa untuk tugas serupa. Menurut Benny Setiono, para pejabat lokal itu sering berutang uang kepada orang-orang Cina kaya yang ada di wilayahnya (hlm. 175). Tanah-tanah milik kerajaan banyak yang disewakan kepada orang Tionghoa yang kemudian menggarapnya dengan baik.
Peter Carey menyebut, sebagian orang Tionghoa itu justru bertindak seenaknya karena memperoleh “jabatan” dari pemerintah (Belanda) dan merasa dibutuhkan oleh pejabat pribumi. Inilah yang menjadi salah satu pemicu kebencian rakyat lokal terhadap mereka (hlm. 242).
Jabatan petugas pemungut pajak pun menjadi lahan basah yang menggiurkan sehingga semakin banyak orang Tionghoa yang mengajukan penawaran untuk mendapatkan izin memungut pajak. Para raja atau pejabat-pejabat pribumi maupun Belanda, terutama di daerah, memanfaatkan situasi ini dengan menaikkan uang sebagai persyaratan bagi orang-orang Tionghoa yang mengajukan penawaran.
Akibatnya, seperti dipaparkan Benny Setiono (hlm. 176), para bandar pajak mencari jalan untuk memungut pajak yang sebesar-besarnya dengan cara yang lebih kejam kepada penduduk. Bahkan, pungutan yang lebih tinggi diterapkan kepada sesama orang Tionghoa yang terkadang harus membayar sampai tiga kali lebih banyak daripada yang harus dibayar orang Jawa.
Oknum bandar pajak dari kalangan Tionghoa ini bertindak sewenang-wenang tanpa rasa takut, karena mereka mendapatkan perlindungan hukum dari raja, sultan, pejabat lokal, juga pemerintah Belanda. Kedudukan mereka baru dapat diganti jika memperoleh persetujuan dari kompeni.
Dalam beberapa kasus di sejumlah daerah, termasuk di Ngawi, situasi semakin memanas setelah bandar-bandar pajak yang orang Tionghoa itu membentuk pasukan pengawal khusus dan bertindak selayaknya pejabat yang mahakuasa.
Kebencian penduduk lokal pun memuncak, seperti yang digambarkan oleh A.R.T. Kemasang dalam disertasinya bertajuk “The 1740 Chinese Massacres In Java: How Dutch Colonialism a Problem Minority in Its Effort to Thwart Indonesia’s Domestic Bourgeoisie” (1988) berikut ini:
“[…] belum pernah terjadi sebelumnya, mereka yang berasal dari berbagai ‘kebangsaan’ merasa mempunyai persamaan, yaitu menghadapi musuh bersama: orang-orang Tionghoa, yang seperti biasa dianggap ‘eksklusif’. Satu-satunya ras yang tidak muncul di jalan bersama-sama mereka, termasuk para majikan mereka (yaitu) orang-orang Belanda” (hlm. 1-2).
Pembantaian di Tepi Bengawan Solo
Hingga akhirnya, tanggal 23 September 1825, Raden Ayu Yudakusuma menggerakkan pasukan berkuda ke area permukiman warga keturunan Tionghoa yang terletak tidak jauh dari aliran sungai Bengawan Solo. Di sisi lain, Bupati Ngawi, suami Raden Ayu Yudakusuma, tidak mampu bertindak tegas karena sedang terbaring sakit-sakitan.
Ngawi, tulis Nurhadiantomo dalam Hukum Reintegrasi Sosial: Konflik-konflik Sosial Pri-Non pri dan Hukum Keadilan Sosial (2004), saat itu menjadi menjadi pos perdagangan yang sangat penting, dihuni oleh banyak etnis Tionghoa yang terdiri dari bandar beras, pedagang kecil, kuli, tukang, dan lain-lain (hlm. 152).
Untuk menghadapi serbuan pasukan kavaleri pimpinan Raden Ayu Yudakusuma, orang-orang Tionghoa setempat sudah berusaha membangun pertahanan, akan tetapi serangan yang mereka hadapi ternyata terlalu sukar untuk ditangkal.
Hanya saja, para serdadu Jawa itu tidak pandang bulu dalam menjalankan tugasnya. Setiap orang keturunan Cina, tidak peduli siapa dan apa profesinya, termasuk wanita dan anak-anak, yang mereka temukan pasti dihabisi, tanpa terkecuali.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia (1996) menuliskan bahwa sekitar seratus orang Tionghoa tewas dalam aksi pembantaian di Ngawi itu (hlm. 359). Sementara yang bisa lolos kemudian menyelamatkan diri ke daerah-daerah pesisir pantai utara Jawa yang mereka anggap relatif lebih aman, atau ke kota-kota di mana terdapat pasukan Belanda yang diharapkan dapat memberikan perlindungan.
Tragedi berdarah di Ngawi tersebut menjadi salah satu peristiwa pilu dalam perjalanan sejarah Indonesia, khususnya sejarah Jawa, dalam hubungannya dengan orang-orang keturunan Tionghoa. Peristiwa ini juga memicu sejumlah kejadian serupa di daerah lain, atau yang kerap disebut dengan istilah geger pecinan.
Terlebih lagi, retaknya hubungan antara warga lokal dengan kaum Tionghoa di Ngawi itu berbarengan dengan meletusnya Perang Jawa. Moch. Sa'dun dalam Pri dan Nonpri: Mencari Format Baru Pembauran (1999) bahkan menyebut, perang Diponegoro bukan hanya terbatas sebagai perlawanan terhadap Belanda, tapi juga peluang yang tidak disia-siakan orang Jawa guna melampiaskan kebencian kepada kaum peranakan Cina (hlm. 61).
Meskipun sering mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan, namun orang-orang keturunan Tionghoa di Jawa, dan di wilayah-wilayah Nusantara lainnya, tetap menjalin relasi positif dengan kaum bumiputra. Relasi macam itu bahkan terjadi selama Perang Jawa, atau tidak seberapa lama usai terjadinya peristiwa pembantaian di Ngawi.
Benny Setiono (hlm. 174) mengungkapkan, banyak orang Tionghoa yang ikut berjuang bersama pasukan Diponegoro, terutama dalam menyediakan uang, perak, senjata, candu, dan lain-lain untuk keperluan perang. Bahkan, tidak sedikit para pemuda keturunan Cina yang turut bertempur melawan Belanda, misalnya dalam pertempuran di Lasem yang dipimpin ipar Diponegoro, Raden Tumenggung Sasradilaga, pada 1827-1828.
Barangkali tidak terhitung kejadian-kejadian miris terkait konflik antara “pribumi” dengan warga keturunan, khususnya peranakan Tionghoa. Namun, sekali lagi, setiap kali ada masa “surut”, pasti akan datang masa “pasang”. Relasi pasang-surut itu mewarnai hampir setiap babak perjalanan sejarah Indonesia, terjalin abadi melintasi zaman dan generasi, bahkan hingga saat ini.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan