Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Republik Lanfang, Republik Pertama di Nusantara

Lanfang adalah republik pertama di Nusantara (Indonesia), didirikan oleh kaum imigran Cina di Kalimantan Barat pada 1777.

Republik Lanfang, Republik Pertama di Nusantara
Lukisan Lo Fang Pak datang dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Propinsi Kanton dengan membawa 100 keluarganya dan mendarat di Siantan, Pontianak Utara, pada 1772. FOTO/Istimewa

tirto.id - Gelombang imigran Cina menerpa Kalimantan Barat pada pertengahan abad ke-18 itu. Mereka didatangkan oleh Kesultanan Mempawah dan Sambas untuk dipekerjakan di tambang-tambang emas dan timah yang banyak terdapat di kawasan tersebut. Nantinya, kaum pendatang ini bersatu dan membentuk republik pertama di Nusantara, bernama Republik Lanfang.

Yang pertama kali mendatangkan pekerja dari Cina adalah Kesultanan Mempawah pada 1740. Semula, Mempawah adalah kerajaan Dayak dan sempat akrab dengan Majapahit sebelum berganti menjadi kesultanan Melayu seiring masuknya agama Islam. Wilayah Mempawah terletak antara Pontianak dan Sambas, berjajar dalam satu garis pantai di Selat Karimata.

Tahun 1750, Kesultanan Sambas menerapkan kebijakan serupa, yakni menghadirkan orang-orang Cina. Saat itu, banyak ditemukan tambang emas baru di kawasan tersebut sehingga dibutuhkan pekerja dalam jumlah besar (Timothy Lindsey, et.al., Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting, 2005:105).

Dari Kongsi Menjadi Otonomi

Populasi masyarakat Cina di Kalimantan Barat berkembang pesat. Jumlahnya mencapai ribuan orang yang membengkak menjadi puluhan ribu pada sekitar tahun 1767. Kehadiran kaum imigran dari Cina di Borneo itu pun menjadi bagian dari sejarah perdagangan dan politik Asia kala itu (Sejarah dan Masyarakat Cina di Kalimantan Barat, 1981).

Saking banyaknya, orang-orang Cina tersebut membentuk kelompok atau kongsi dagang berdasarkan wilayah pertambangannya. Masyarakat Cina di dalam area kongsi –yang sebenarnya lebih mirip perkampungan– itu menjalani kehidupan seperti di negeri asal mereka, yakni menerapkan tradisi Cina dalam kehidupan sehari-harinya (Hidayat Zenal Mutakin, Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia, 1993:75).

Semula, kongsi-kongsi itu berjumlah 8 kelompok, kemudian bertambah hingga menjadi 14 kongsi. Mereka berada di bawah naungan Kesultanan Sambas maupun Mempawah, namun diberi keleluasaan untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam hal pengangkatan pemimpin. Dari sinilah benih-benih republik itu mulai terbentuk.

Baca Juga: Tragedi Pembantaian Bulungan di Perbatasan Malaysia

Baik Kesultanan Sambas maupun Mempawah tidak mempersoalkan bagaimana cara para imigran dari Cina itu mengatur diri mereka sendiri, juga tidak menerapkan macam-macam aturan dalam pekerjaan mereka, yakni menambang emas. Pihak kesultanan hanya meminta masing-masing kongsi itu menyetor 1 kilogram emas tiap bulannya.

Pembangkangan Kaum Imigran

Memasuki tahun 1770, kongsi-kongsi masyarakat Cina yang jumlahnya telah bertambah menjadi 10 kelompok mulai melakukan aksi pembangkangan. Mereka menolak menyerahkan 1 kilogram emas per bulan kepada kesultanan, dan hanya bersedia menyetor separuh saja dari kesepakatan sebelumnya (Abang Ishar, Sejarah Kesultanan Melayu Sanggau, 2016:85).

Keberanian orang-orang Cina melakukan perlawanan salah satunya disebabkan karena kehidupan ekonomi mereka yang sudah lebih mapan ketimbang rata-rata orang Melayu maupun Dayak. Kaum pendatang ini pada akhirnya benar-benar terlibat peperangan dengan warga lokal dan menewaskan sejumlah pejabat kesultanan dari Suku Dayak.

Insiden ini membuat pihak kesultanan habis kesabaran, terutama Sambas. Pemimpin Sambas saat itu, yakni Sultan Umar Aqamaddin II, kemudian mengirimkan pasukan untuk membasmi aksi pemberontakan tersebut. Terjadi pertempuran dalam skala kecil selama 8 hari sebelum akhirnya kelompok-kelompok imigran Cina tersebut menyerah karena merasa kalah kuat.

Sultan Sambas ternyata tidak menjatuhkan hukuman berat kepada orang-orang Cina yang sebenarnya telah terbukti membangkang itu. Mereka diperbolehkan kembali bekerja di pertambangan seperti biasa namun tetap harus menyetor upeti sebanyak 1 kilogram emas saban bulannya kepada kesultanan (M.D. La Ode, Politik Tiga Wajah, 2013:105).

Baca Juga: Utusan Vatikan di Kalimantan

Hingga tahun 1776, jumlah kongsi masyarakat Cina yang ada di Kalimantan Barat sudah bertambah menjadi 14 kelompok. Dari 14 kongsi itu, 12 kelompok di antaranya berada di wilayah Kesultanan Sambas dengan pusatnya di Montraduk. Sedangkan 2 kongsi lainnya ada di wilayah Kesultanan Mempawah dan berpusat di Mandor. Jumlah orang-orang Cina sendiri sudah lebih dari 20 ribu orang pada 1770.

Ke-14 kongsi tersebut kemudian membentuk aliansi dalam satu organisasi bernama Hee Soon pada 1777. Tujuannya untuk memperkuat persatuan sekaligus meminimalisir terjadinya polemik antar-kongsi seperti yang pernah terjadi pada 1774 (Bingling Yuan, Chinese Democracies: A Study of the Kongsis of West Borneo 1776-1884, 2000:329). Terbentuknya Hee Soon inilah yang menjadi embrio berdirinya Republik Lanfang.

infografik lan fang

Bersatu dalam Republik

Penggagas dibentuknya wadah persatuan bagi kumpulan masyarakat Cina di Kalimantan Barat adalah Lo Fang Pak yang baru tiba di Sambas pada 1775 atau tidak lama setelah konflik sesama kongsi Cina berakhir. Lo Fang Pak memiliki hubungan yang baik dengan Dinasti Qing di Cina, ia berkeinginan agar kaum perantauan di Borneo bersatu dan tidak terpecah-belah satu sama lain.

Baca Juga: Panglima Islam Kekaisaran Cina Merambah Nusantara

Berdirinya Kesultanan Pontianak pada 1778 membuka peluang bagi kongsi-kongsi Cina untuk mendapat perlindungan jika sewaktu-waktu mereka bermasalah lagi dengan Sambas, Mempawah, maupun pihak-pihak lain. Terlebih lagi, posisi Pontianak lebih kuat karena didukung VOC/Belanda. Lo Fang Pak yang piawai dalam hal diplomasi pun berhasil menjalin kedekatan dengan Sultan Pontianak, Syarif Abdurrahman Al Qadri.

Intuisi Lo Fang Pak ternyata tepat. Pada 1789, Kesultanan Pontianak dengan bantuan Belanda berhasil merebut wilayah Kesultanan Mempawah. Hee Soon yang dipimpin Lo Fang Pak turut mendukung penyerangan ini. Alhasil, sejak tahun 1793, Sultan Pontianak memberikan kewenangan yang lebih luas lagi kepada Lo Fang Pak untuk mengelola kongsi-kongsi Cina yang berada di bawah pengelolaannya.

Republik Lanfang pun dideklarasikan meskipun masih bernaung di bawah Kesultanan Pontianak dan sebagian lagi berada di wilayah Kesultanan Sambas. Lo Fang Pak terpilih sebagai presiden dalam pemilihan umum (pemilu) pertama (Sinergi Indonesia, Masalah 34-39, 2006).

Baca Juga: Tionghoa-Nasionalis Petinggi MUI

Status Republik Lanfang memang seperti negara yang berdiri di dalam wilayah negara lain. Namun, republik pertama di Nusantara ini memperoleh kewenangan yang sangat luas untuk mengelola wilayah dan rakyatnya sendiri. Pemerintah Republik Lanfang hanya harus membayar upeti bulanan kepada dua Kesultanan Pontianak dan Sambas. Republik Lanfang juga mendapat pengakuan dari Dinasti Qing di Cina dan secara rutin mengirimkan upeti ke negeri asal mereka itu.

Republik yang merupakan penyatuan dari 14 kongsi Cina ini punya undang-undang sendiri untuk mengatur berbagai aspek kehidupan rakyatnya, dari tata negara, hukum, ekonomi, pendidikan, dan sektor-sektor penting lainnya. Layaknya sebuah negara, Republik Lanfang telah dilengkapi dengan dewan pemerintahan, pengadilan, penjara, bahkan pasukan bersenjata (M.D. La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik, 2012:229).

Runtuhnya Republik Lanfang

Perjalanan riwayat Republik Lanfang di Kalimantan Barat berlangsung cukup lama, hingga 107 tahun. Dalam kurun waktu selama itu dengan segala dinamikanya termasuk berpolemik dengan orang-orang Dayak, Kesultanan Landak, juga Mempawah, hingga mengekspansi tambang emas di wilayah lain, Republik Lanfang telah dipimpin oleh 13 presiden yang dipilih langsung oleh rakyatnya melalui pemilihan umum.

Sinyal kemunduran Republik Lanfang mulai terlihat memasuki tahun 1880 seiring dengan semakin kuatnya pengaruh Belanda di Borneo, termasuk Kalimantan Barat. Presiden Republik Lanfang saat itu terpaksa meneken perjanjian di Batavia. Dengan demikian, Republik Lanfang berada di bawah kendali Belanda.

Baca Juga: Gubernur Pembantai Cina di Batavia

Beberapa kongsi di Republik Lanfang yang tidak sepakat dengan perjanjian itu kemudian menyerang Belanda. Perlawanan ini berakibat fatal. Belanda menggempur Republik Lanfang dan berhasil ditaklukkan pada 1884. Presiden terakhir, Liu Ah Sin, tewas yang membuat Republik Lanfang mengalami kehancuran total (Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, 2005:137),

Rakyat Republik Lanfang yang lolos dari serbuan Belanda beramai-ramai menyelamatkan diri dengan mengungsi ke pulau-pulau seberang. Sebagian orang Cina pelarian dari Republik Lanfang ini kemudian membangun kehidupan baru di suatu wilayah yang nantinya dikenal dengan nama Singapura.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti