tirto.id - Belanda menggelar sayembara pada akhir Oktober 1946 itu. Bunyinya, barangsiapa yang berhasil menemukan seorang pemuda pejuang republik bernama Ali Anyang, maka ia akan diganjar dengan hadiah uang sebesar 25.000 gulden.
Ali Anyang memang sukses membikin tentara NICA kesal bukan kepalang. Tanggal 8 Oktober 1946, pasukan Belanda kecolongan. Tangsi militer mereka di Bengkayang, Kalimantan Barat, diserbu secara mendadak oleh laskar republik yang dipimpin oleh Ali Anyang.
Bengkayang pun berhasil direbut. Bahkan, Ali Anyang dan kawan-kawan dengan berani mengibarkan bendera Merah Putih serta mengumandangkan lagu Indonesia Raya di kota yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia bagian timur itu.
Namun, sayembara tersebut tiada guna. Ali Anyang masih berkeliaran, terus melakukan perlawanan yang merepotkan Belanda. Pada 10 Januari 1949, misalnya, tangsi NICA di Sambas diserang. Delapan hari berselang, terjadi bentrokan lagi di Kampung Acan, dekat perbatasan Sarawak, serta menyusul sejumlah kontak bersenjata selanjutnya.
Siapakah Ali Anyang yang membuat Belanda gusar itu? Ia adalah pejuang putra asli Suku Dayak, penegak kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di Kalimantan Barat.
Dari Perawat Menjadi Pejuang
Namanya aslinya Anjang atau dibaca Anyang, putra dari pasangan suami-istri Lakak dan Liang. Anyang lahir pada 20 Oktober 1920 di Desa Nanga Menantak, suatu permukiman Suku Dayak Uud Danum yang terletak di pedalaman Sintang, Kalimantan Barat. Ia anak paling bontot dari 7 bersaudara.
Ketika Anyang berusia 8 tahun, ia diangkat anak oleh seorang kepala sekolah di Sintang bernama Raden Mas Suadi Djoyomiharjo. Dari namanya, sosok ini termasuk bangsawan tinggi Jawa yang entah bagaimana bisa bermukim di wilayah yang terletak sisi barat Pulau Borneo itu.
Anyang kemudian masuk Islam, mengikuti agama keluarga barunya. Sang ayah angkat pun memberinya nama anyar: Mohammad Ali. Tapi, Anyang tidak lantas menghilangkan nama asli pemberian orangtua kandungnya. Jadilah ia dikenal sebagai Mohammad Ali Anyang.
Keluarga Raden Mas Suadi Djoyomiharjo memperlakukan Anyang dengan sangat baik, termasuk dengan menyekolahkannya di Holland Inlandsche School (HIS) Pontianak. Ini adalah sekolah dasar yang dikelola pemerintah kolonial dan diperuntukkan bagi anak-anak priyayi dan anak-anak dari keluarga berada (Soewarsono, Berbareng Bergerak, 2000:41).
Anyang ingin mengabdikan hidupnya untuk orang-orang yang butuh pertolongan, ia ingin jadi tenaga medis. Raden Mas Suadi Djoyomiharjo merespons keinginan mulia itu dengan mengirimkan Anyang jauh ke Semarang, Jawa Tengah, untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Juru Rawat bernama Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichting (CBZ).
Setelah lulus, ia sempat membantu di Rumah Sakit Umum Semarang sebelum akhirnya pulang ke Kalimantan Barat untuk bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Umum Sei Jawi Pontianak selama beberapa tahun.
Namun, garis takdirnya berkata lain. Anyang nantinya menjadi pejuang tangguh dan memimpin perlawanan menghadapi pasukan Belanda (NICA) yang ingin berkuasa lagi di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat (Taufiq Tanasaldy, Regime Change and Ethnic Politics in Indonesia: Dayak Politics of West Kalimantan, 2012:73).
Pengawal Martabat RI di Borneo
Tanda-tanda kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya semakin kentara di medio tahun 1945 itu. Para pemuda di berbagai daerah di tanah air pun mencermati perkembangan situasi dan bersiap-siap jika akhirnya Jepang benar-benar kalah dari Sekutu. Jika itu terjadi, mimpi Indonesia untuk merdeka bisa saja terwujud.
Maka, kaum muda pun mendirikan suatu panitia untuk menyambut kemerdekaan itu dengan nama Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI) walaupun pada mulanya secara diam-diam (Alqadrie & Sastrowardoyo, Sejarah Sosial Daerah Kotamadya Pontianak, 1984:90). Dan, akhirnya Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Ali Anyang, yang semula bekerja sebagai petugas medis di rumah sakit itu, ternyata turut terlibat dalam pembentukan PPRI di Pontianak. Salah satu tugas utama PPRI Pontianak adalah untuk menyebarluaskan kabar kemerdekaan Indonesia ke seluruh Kalimantan Barat sekaligus untuk menjaga situasi agar tidak terjadi perebutan kekuasaan lantaran kekosongan pemerintahan usai kekalahan Jepang.
Namun, udara kemerdekaan tidak terlalu lama dihirup oleh masyarakat Kalimantan Barat, dan juga wilayah-wilayah lainnya di tanah air. Pada 29 September 1945, datang tentara Australia yang diboncengi pasukan Belanda (NICA) di Pontianak, mereka adalah bagian dari Sekutu. Dengan segera, Belanda mengambil-alih kekuasaan di Kalimantan Barat.
Tak urung situasi ini membuat para pemuda bergolak. Ali Anyang bersama laskar pejuang rakyat pun menyerbu ke tangsi dan gudang amunisi Belanda di Pontianak pada 12 November 1945. Beberapa pemuda gugur, sementara Ali Anyang ditangkap dan ditahan oleh NICA.
Beruntung, pada Februari 1946 ia dibebaskan. Namun, perjuangan belum selesai. Atas perintah Dokter Soedarso sebagai Ketua PPRI, Ali Anyang memimpin pasukan pejuang republik untuk terus melakukan perlawanan di berbagai titik di Kalimantan Barat, termasuk Pontianak, Mempawah, Singkawang, hingga Sambas.
Saat Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) —dengan maksud melakukan pemberontakan/perlawanan terhadap NICA/Belanda —dibentuk, Ali Anyang ditunjuk sebagai komandan untuk wilayah Kalimantan Barat. Ia lalu memprakarsai Barisan Pemberontak Indonesia Kalbar (BPIKB) sebagai kepanjangan tangan dari BPRI.
Serangan demi serangan digencarkan, termasuk perebutan Bengkayang yang membuat NICA murka hingga menggelar sayembara berhadiah uang demi menangkap Ali Anyang itu. Peperangan baru terhenti ketika Belanda mengaku kedaulatan Indonesia secara penuh pada 27 Desember 1949.
Akhir Hayat Sang Wakil Rakyat
Setelah perang mempertahankan kemerdekaan usai, Ali Anyang memerintahkan kepada seluruh anggota pasukannya untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Ali Anyang sendiri tak lama berselang menikahi pujaan hatinya, seorang gadis asal Sambas bernama Siti Hajir, yang kebetulan berprofesi sebagai perawat.
Selama beberapa tahun berikutnya, Ali Anyang menemani sang istri yang ditugaskan ke mana-mana, terlebih ia juga pernah menjadi juru rawat. Mereka pernah bertugas di Ciawi, Indramayu, kemudian ke Banjarmasin di Kalimantan Selatan, balik lagi ke Jawa menuju Jakarta, hingga akhirnya kembali ke Kalimantan Barat.
Pulang ke Kalimantan Barat, Ali Anyang melanjutkan kiprahnya dengan mengabdi sebagai wakil rakyat dan masuk ke parlemen daerah. Ia meniti karier di parlemen dengan sangat baik hingga terpilih sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sambas.
Sayangnya, usia Ali Anyang tidak sempat menyentuh angka setengah abad. Pada umur 49 tahun, ia wafat, meninggalkan istrinya tercinta, Siti Hajir, dan 8 orang anak. Tepat tanggal 7 April 1970 atau 47 tahun lalu, sang putra Dayak penegak kedaulatan NKRI itu meninggal dunia dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Bambu Runcing, Singkawang.
Nama Ali Anyang mengabadi hingga kini dan sangat meninggalkan kesan bagi masyarakat Kalimantan Barat sehingga diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di Kota Singkawang. Tak hanya itu, sebagai pengingat jasa baktinya, dibangunlah Monumen Ali Anyang dan diresmikan Panglima TNI Agus Suhartono pada Oktober 2011.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani