tirto.id - Lelaki berkacamata itu masih muda, usianya baru memasuki seperempat abad. Berkemeja batik dan peci lurik, ia dengan lihai memainkan biola yang membuat hadirin terpana.
Demi keamanan dan kelancaran acara, tidak ada lirik yang ditembangkan, apalagi dilafalkan bersama-sama. Nada-nada yang terangkai hanya berupa instrumental dengan gesekan biola. Walau begitu, semua yang hadir sudah paham bahwa inilah nantinya yang akan menjadi lagu kebangsaan jika Indonesia merdeka.
Pria penggesek dawai itu bernama Wage Rudolf Soepratman. Ia memperdengarkan alunan “Indonesia Raya” pada malam penutupan Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta. Kongres inilah yang menghasilkan rumusan Sumpah Pemuda.
Itulah pertama kalinya “Indonesia Raya” diperkenalkan meskipun tanpa syair. Atas saran Soegondo Djojopuspito selaku pemimpin kongres, lirik lagu itu sengaja disimpan karena memuat materi yang berpotensi menimbulkan perkara dengan pihak yang berwenang (Sri Sutjiatiningsih, Soegondo Djojopoespito: Hasil Karya dan Pengabdiannya, 1999:30).
Kontroversi Tanggal Lahir
Nama aslinya Wage Soepratman. Rudolf adalah nama tambahan yang diberikan seorang pria peranakan Belanda-Indonesia bernama Willem van Eldik yang menikahi kakak perempuannya, Roekijem. Semasa remaja, Wage memang tinggal bersama kakak sulungnya itu di Makassar, tempat Willem berdinas sebagai tentara.
Kapan tepatnya putra Purworejo itu lahir hingga kini masih menjadi perdebatan. Ada yang menyebut tanggal 9 Maret 1903, tapi sebagian lainnya meyakini bahwa Wage lahir 10 hari setelahnya, yakni 19 Maret (Radix Penadi, Beberapa Catatan Seputar WR Soepratman, 1988:29).
Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri, terlanjur menetapkan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional, merujuk pada tanggal yang akhirnya disepakati sebagai hari kelahiran WR Soepratman.
Penelusuran yang dilakukan oleh Dwi Rahardja, peneliti dan pembuat film dokumenter Saksi-saksi Hidup Kelahiran Bayi Wage, justru menghasilkan temuan bahwa sang pencipta lagu “Indonesia Raya” lahir tanggal 19 Maret 1903. Pendapat ini didukung keluarga Soepratman, bahkan dikuatkan dengan keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.
"Semua pihak seharusnya mengikuti ketetapan PN Purworejo. Diharapkan, Hari Musik Nasional itu dapat segera disesuaikan dengan ketetapan PN Purworejo yang menyatakan bahwa WR Soepratman lahir pada 19 Maret 1903," kata Dwi Rahardja (Kompas, 15 Maret 2008).
Akan tetapi, tanggal lahir WS Soepratman yang diabadikan sebagai Hari Musik Nasional masih diperingati setiap 9 Maret hingga detik ini.
Berjuang Lewat Nada dan Pena
Minat Wage Soepratman terhadap seni bermula dari Roekijem dan suaminya, Willem van Eldik, yang memang penyuka musik. Tak jarang, Willem dengan sejumlah teman tentaranya menggelar pertunjukan teater di mes militer mereka di Makassar. Sejak lulus sekolah dasar pada 1914, Wage sudah ikut kakak perempuannya itu ke Sulawesi.
Lingkungan seperti inilah yang membuat Wage akrab dengan nada-nada. Ia banyak membaca buku tentang musik, juga berlatih biola. Pada 1920, Wage membentuk grup band bernama Black & White di Makassar yang mengusung aliran jazz. Band ini boleh dibilang salah satu perintis jazz di Indonesia. Saban akhir pekan, Black & White memainkan musik ala Barat itu untuk mengiringi pesta dansa tuan dan nyonya Belanda.
Tahun 1924, Wage meninggalkan Makassar dan merantau ke Batavia kemudian ke Bandung. Di kota kembang, ia justru tertarik dengan dunia jurnalistik. Wage pun bekerja sebagai wartawan di surat kabar Kaoem Moeda yang pernah dipimpin oleh salah seorang dedengkot pergerakan nasional, Abdoel Moeis. Setelahnya, Wage bekerja untuk surat kabar Sin Po.
Wage Soepratman juga mulai menulis buku. Salah satu karyanya yang berjudul Perawan Desa disita dan dilarang beredar lantaran dituding bisa menimbulkan keresahan masyarakat serta dianggap menghina pemerintah kolonial (Anthony Hutabarat, Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Wage Rudolf Soepratman, 2001:84).
Walaupun sempat menggeluti ranah jurnalistik, tapi bakat bermusik Soepratman tidak luntur begitu saja. Justru dengan menjadi wartawan dan sering menulis, pengetahuan dan nalurinya akan musik semakin kuat dan kian berbobot.
Suatu hari, Soepratman membaca artikel di majalah Timboel yang isinya menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Soepratman pun tertantang untuk menulis lirik lagu dalam bahasa Melayu yang baik. Pada dekade kedua abad ke-20 itu, bahasa Belanda lebih banyak dipelajari ketimbang bahasa anak negeri sendiri.
Soepratman mulai mengotak-atik nada dan syair hingga akhirnya terangkailah untaian lirik sarat semangat nasionalisme dengan balutan aransemen yang menggugah kalbu. Itulah lagu “Indonesia Raya” yang dirampungkan Soepratman pada 1924, dan pertama kali dirilis ke publik pada penutupan Kongres Pemuda ke-II tanggal 28 Oktober 1928.
Mati Muda Sebelum Kemerdekaan
Beberapa hari setelah deklarasi Sumpah Pemuda, suratkabar Sin Po—tempat Soepratman bekerja sebagai jurnalis—mengulas tuntas tentang kongres tersebut. Bahkan, lirik lagu "Indonesia Raya" dimuat dengan jelas. Sin Po kala itu memang dikenal sebagai koran milik peranakan Tionghoa yang mendukung penuh upaya kemerdekaan bangsa Indonesia.
Nama Soepratman pun menjadi buah bibir karena semua orang akhirnya tahu bahwa ia adalah penyusun aransemen serta lirik lagu yang menggugah semangat kebangsaan itu. Terlebih pada 1929, “Indonesia Raya” direkam dalam piringan hitam dan disebarluaskan ke publik (Denny Sakrie, 100 Tahun Musik Indonesia, 2015:6).
Soepratman juga menciptakan beberapa lagu nasionalistik lainnya, termasuk “Ibu Kita Kartini”. Karya-karya Soepratman saat itu sangat populer di kalangan aktivis pergerakan karena bernafaskan semangat perjuangan. Ia kerap diminta menciptakan lagu-lagu mars untuk partai atau organisasi yang memang sedang menjamur.
Di kancah pergerakan, aksi Soepratman kian kuat. Ia pernah bergabung dengan sejumlah partai politik seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Sukarno, Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Sartono, hingga Partai Indonesia Raya (Parindra) yang digagas Dr. Soetomo (Oerip Kasansengari, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan WR Soepratman Pentjiptanja, 1967:74).
Ia adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang mampu menggelorakan semangat kebangsaan lewat musik. Di sisi lain, sepak terjang Soepratman justru membahayakan dirinya sendiri. Pergerakannya selalu diawasi oleh jejaring kolonial, bahkan ia menjadi salah satu orang yang paling dicari oleh polisi Hindia Belanda.
Awal Agustus 1938, maut semakin dekat mengintai Soepratman usai menciptakan karya terakhirnya berjudul “Matahari Terbit”. Ia ditangkap pada saat menyiarkan lagu tersebut bersama bersama kaum muda di Surabaya. Soepratman pun dikurung di rumah tahanan.
WR Soepratman meninggal dunia tanggal 17 Agustus 1938, Ia wafat di usia muda, 35 tahun. Sang penggagas lagu kebangsaan ini rupanya sudah tidak kuat lagi menahan beban sakit yang semakin merapuhkan raganya selama dikejar-kejar aparat kolonial.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 9 Maret 2017. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh Pribadi