tirto.id - Suasana haru terasa di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, pada Minggu siang tanggal 9 September 2013 itu. Ribuan orang hadir mengiringi pemakaman Taufik Kiemas, suami tercinta Megawati Sukarnoputri. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu menjabat sebagai presiden pun hadir. Tampak pula sosok wanita berkerudung dengan poni terurai dalam acara duka itu.
Mbak Tutut, begitu masyarakat Indonesia mengenal perempuan yang dulu pernah sangat akrab di pandangan mata tersebut. Ya, Mbak Tutut atau Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung kesayangan Presiden RI ke-2, Soeharto. Salah satu sosok paling populer di era Orde Baru ini turut melepas almarhum suami Megawati ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Tanpa canggung, Tutut berbaur dengan tamu undangan lainnya, termasuk dengan saudara dan saudari Megawati. Tak lupa, ia menghaturkan ucapan belasungkawa kepada tokoh utama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang juga dilahirkan di tanggal yang sama dengannya itu.
Mbak Tutut dan Megawati lahir pada 23 Januari meskipun bukan dalam warsa yang sama. Mega yang dilahirkan pada 1947 berusia dua tahun lebih tua dari Siti Hardiyanti yang lahir pada 1949.
Antara Cendana dan Trah Sukarno
Orde Baru ala Soeharto boleh-boleh saja menjadi antitesis dari rezim sebelumnya di bawah pimpinan Sukarno, ayahanda Megawati. Namun, hubungan dua keluarga besar paling berpengaruh di tanah air itu ternyata berlangsung cukup baik terlepas dari berbagai intrik politik yang menyertai perjalanan hidup para personilnya.
“Waktu bapak (Taufik Kiemas) masih ada, beliau datang ke rumah, sempat bercengkerama dan tertawa-tawa, baik sekali. Dengan kami, almarhum menjaga silaturahmi,” ucap Mbak Tutut kepada media di acara pemakaman Taufik Kiemas saat itu.
“Atas nama keluarga Haji Muhammad Soeharto, kami turut berduka cita. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan,” tambahnya mendoakan.
Tak hanya klaim satu arah, trah Sukarno pun mengiyakan bahwa mereka tetap menjalin silaturahmi dengan Keluarga Cendana. Nyaris tepat setahun berselang setelah wafatnya Taufik Kiemas, dua keluarga itu kembali bertemu. Kali ini dalam acara perayaan ulang tahun Guntur Sukarnoputra di Menteng, Jakarta, pada 8 September 2014.
Guntur, anak pertama Sukarno yang juga kakanda Mega, kala itu bahkan secara khusus mempersembahkan potongan tumpeng ulang tahunnya kepada Tutut.
"Tumpeng ini saya berikan ke sahabat saya, Dik Tutut, yang selalu saya undang kalau ulang tahun, tetapi karena kesibukannya, dia tak pernah bisa datang. Kali ini, terima kasih, Dik Tutut bisa hadir,” kata Guntur seperti ditulis Kompas kala itu.
”Bapak selalu ajarkan, dalam berpolitik boleh saja bertempur hingga babak belur, tetapi hubungan kekeluargaan harus tetap baik,” lanjutnya.
Tutut tak datang sendirian, ia ditemani oleh adiknya, Siti Hutami Endang Adiningsih atau Mamiek Soeharto. Keduanya dengan akrab bercengkerama dengan anak-anak Sukarno, termasuk Megawati yang juga hadir di acara tersebut.
Megawati dan Orde Baru
Selama ini, perjalanan hidup Megawati dan Tutut tidak sepenuhnya serupa kendati keduanya sama-sama anak mantan presiden.
Sejak terjadinya Gerakan 30 September 1965, pamor Sukarno selaku orang nomor satu di Indonesia memang kian menurun hingga akhirnya tahta kepresidenan negara diambil-alih oleh Soeharto secara resmi pada 27 Maret 1968. Mega yang tempo itu masih berusia 21 tahun harus bersiap menjalani masa-masa sulit.
Saat akhirnya terjun ke dunia politik, laga Mega pun berkali-kali dihambat oleh jejaring kuasa Orde Baru. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dipimpinnya sejak 1993 harus jatuh bangun menghadapi tekanan, baik langsung maupun tidak langsung, dari orang-orang Soeharto.
Sebaliknya, jalan Tutut terbentang sangat mulus. Semasa ayahnya memimpin, tak hanya berbagai proyek raksasa dan perusahaan besar yang dikendalikannya, tapi juga karier politik yang dijalaninya dengan baik seiring dominasi Golkar yang sangat berpengaruh selama periode itu.
Dua srikandi ini memang mewarisi kecakapan ayah mereka, termasuk di jalur politik. Tutut menjadi salah satu orang kepercayaan Soeharto, termasuk di Golkar dan kemudian di pemerintahan. Tutut bahkan sempat menjabat sebagai Menteri Sosial jelang ayahnya benar-benar berhenti sebagai presiden pada 1998.
Megawati pun sama. Terlepas dari perselisihannya dengan saudara kandungnya sendiri, Rachmawati, selama memimpin PDI yang kemudian menjadi PDI Perjuangan, Mega mampu mempertahankan partai ini sebagai salah satu partai besar. Setelah reformasi, PDI Perjuangan selalu menjadi salah satu pemenang pemilu, dan ia pernah berhasil menduduki kursi presiden pada 23 Juli 2001.
Tutut, Mega di Era Reformasi
Usai Orde Baru tumbang dan Megawati menapaki era emasnya, Tutut kelimpungan. Beberapa kali ia terjerat perkara, imbas sepak-terjangnya di masa lalu. Bahkan, Kejaksaan Agung sempat melarangnya pergi ke luar negeri selama setahun sejak 17 Februari 2001 setelah ia ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Megawati saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Tutut yang ternyata selalu lolos dari bui sempat berbalik menyerang setelah Megawati tak menjadi presiden pada 20 Oktober 2004. Tutut kala itu menuding Megawati tidak becus mengurus negara sehingga membuat dirinya terjerat utang hingga ratusan miliar rupiah.
"Sebetulnya kami dulu tidak punya utang, tapi pekerjaan kami belum selesai dan politik-lah yang membuat kami berhutang," tukas Tutut saat itu, seperti dikutip Tribunnews.
Namun, duel terbuka di kancah politik antara Megawati kontra Tutut tidak pernah terjadi. Peluang Tutut untuk menghadapi Megawati sebenarnya sempat terbuka saat dirinya dicalonkan oleh Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) untuk maju sebagai calon presiden di Pemilu 2004, tapi gagal karena hanya mendapat 2,11% suara dan 2 kursi di DPR RI.
Megawati yang juga maju lagi ternyata juga gagal. Berpasangan dengan Hasyim Muzadi, Mega harus mengakui kemenangan pasangan SBY dan Jusuf Kalla (JK) karena hanya mampu meraup 31.569.104 suara atau 26,61 persen. Sementara SBY-JK menang cukup meyakinkan dengan perolehan suara sebanyak 39.838.184 atau 33,57 persen.
Setelah Pemilu 2004 itu, kisah antara Megawati dengan Siti Hardiyanti nyaris tidak terdengar lagi, sampai ketika Tutut melayat Taufik Kiemas dan menghadiri pesta ulang tahun Guntur Sukarnoputra satu dasawarsa kemudian.
Meski berusaha merajut silaturahmi, cerita kelam di masa lalu tetap saja terpatri dalam ingatan anak-anak Sukarno.
Hal itu setidaknya pernah disinggung oleh Guntur pada saat ia menyambut baik kehadiran wakil Keluarga Cendana di pesta hari lahirnya, 2014 lalu.
"Kalau bicara sejarah, kita tidak boleh melupakannya. Sejarah tak bisa dibolak-balik atau ditinggalkan," demikian kata Guntur.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani