Menuju konten utama
17 November 1948

Sikap Legowo Oerip Soemohardjo Ubah Sejarah Tentara RI

Oerip Soemohardjo kalah satu suara dari Soedirman dalam voting pemilihan Panglima TKR. Ia menerimanya dengan legowo.

Sikap Legowo Oerip Soemohardjo Ubah Sejarah Tentara RI
Oerip Soemohardjo. tirto.id/Sabit

tirto.id - Anak ini terkenal nakal di kampungnya, sebuah desa kecil bernama Sindurjan yang berada di wilayah Purworejo, sebelah barat Yogyakarta. Lahir tanggal 22 Februari 1893, ia menyandang nama Muhammad Sidik, seorang bocah yang enerjik tapi sangat mbeling dan susah diatur. Tak ada yang menyangka, bocah ini kelak menentukan jalannya sejarah militer Indonesia.

Sidik berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Soemohardjo, adalah seorang kepala sekolah dan putra tokoh ulama setempat. Sang ibu lebih mentereng lagi karena merupakan anak perempuan kesayangan Raden Tumenggung Widjojokoesoemo, Bupati Trenggalek, Jawa Timur kala itu.

Nakalnya Sidik tidak melulu bermuara miring. Di balik tingkah-polahnya itu, Sidik sejak kecil sudah memperlihatkan karakter kepemimpinan yang kuat. Ia menjadi pemimpin teman-teman sebayanya. Juga ketika bertanding bola di lapangan kampung, Sidik selalu tampil sebagai pemain yang paling menonjol.

Hingga suatu ketika, Sidik tak sadarkan diri usai jatuh dari pohon saat bermain. Beruntung, nyawanya selamat. Ibunya kemudian mengirim surat ke Trenggalek untuk meminta nasihat kepada ayahnya yang bupati itu. Sesuai kepercayaan orang Jawa, Widjojokoesoemo menyarankan agar nama Sidik diganti agar terhindar dari petaka.

Nama baru yang dipilih adalah Oerip, dalam bahasa Jawa berarti “hidup” atau “selamat”. Kendati tetap saja sulit menghilangkan tabiat buruknya, tapi kenakalan di masa kecil itu justru membentuk Oerip sebagai manusia berprinsip kuat.

Berpengalaman vs Pendatang Baru

Di masa awal kemerdekaan, Oerip pernah melontarkan kata-kata yang kemudian sangat dikenang dalam sejarah militer Indonesia: "Aneh suatu negara zonder tentara". Tentu saja ia berkesimpulan demikian karena ia sudah berkecimpung lama di dunia ketentaraan sebagai perwira Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), korps tentara bentukan Belanda yang melibatkan kalangan pribumi.

Saat itu, Oerip—yang kini menyertakan nama ayahnya, Soemohardjo—menjadi salah satu kandidat terkuat panglima angkatan perang Republik Indonesia yang saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Oerip semula paling dijagokan. Selain dinilai punya pengalaman dan kemampuan yang mumpuni, ia juga berstatus sebagai petahana.

Sebulan sebelum pemilihan itu, tepatnya 14 Oktober 1945, Presiden Sukarno secara langsung menunjuk Oerip untuk menjabat sebagai kepala staf umum tentara merangkap panglima sementara TKR. Sukarno menilai, Oerip adalah sosok yang paling pantas mengingat prestasi dan rekam-jejak panjangnya di ranah kemiliteran sejak era kolonial.

Namun, yang berpengalaman sekaligus petahana tak selalu jadi pemenang. Munculnya sosok baru bernama Soedirman membuat kalangan pemilih terbelah dua. Sentimen kelompok pun turut bermain dalam ajang pemilihan orang nomor satu di TKR tersebut.

Oerip adalah pensiunan KNIL. Menurut Ben Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance (2005), karier militernya kala itu sangat bagus, bahkan Oerip berpangkat mayor yang menjadikannya sebagai perwira pribumi dengan jabatan tertinggi di KNIL (hlm. 233).

Sebaliknya, Soedirman, yang 23 tahun lebih muda dari Oerip, merupakan mantan personil PETA atau Pembela Tanah Air, kesatuan militer yang dibentuk Jepang setelah menyingkirkan Belanda dari Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, kekuatan angkatan perang republik memang disangga dua kubu ini, yakni mantan anggota KNIL dan PETA.

Jika dibandingkan dengan Soedirman, Oerip masih unggul jauh, baik pengalaman maupun kemampuannya. Oerip lulus akademi militer pada 1914 dan telah terlibat dalam berbagai tugas ketentaraan hingga mencapai pangkat tinggi. Sejarawan Petrik Matanasi dalam Pribumi Jadi Letnan KNIL (2012)menyebutkan bahwa selama 24 tahun berdinas di KNIL, Oerip sebenarnya hampir berpangkat letnan kolonel sebelum pensiun (hlm. 44).

Di sisi lain, Soedirman baru 2 tahun mengenal militer sejak gabung PETA pada 1944. Ia sebelumnya seorang guru dan aktivis Muhammadiyah. Situasi yang masih amat labil saat itu membuat karier Soedirman melesat. Pada 20 Oktober 1945, ia menjabat Komandan Divisi V Purwokerto dan justru ditunjuk langsung oleh Oerip sebagai panglima tertinggi sementara TKR.

Rela Kalah demi Keutuhan

A.H. Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas (1982) mencatat, suasana pemilihan pada 12 November 1945 itu berlangsung panas. Pemungutan suara telah dilakukan dua putaran, hasilnya selalu identik, baik Oerip Soemohardjo maupun Soedirman mendapat suara sama kuat. Dan, di tahap ketiga, Soedirman akhirnya menang tipis, unggul satu suara atas Oerip (hlm. 196).

Soedirman sejatinya tak enak hati kepada Oerip yang notabene atasannya. Ia berniat mengembalikan jabatan panglima kepada Oerip. Tapi, seperti diungkapkan Sardiman dalam Guru Bangsa: Biografi Jenderal Sudirman (2008), pendukung Soedirman menolak tegas usulan itu. Para bekas anggota PETA ini tidak rela dipimpin orang yang disinyalir telah bersumpah setia kepada kerajaan Belanda terkait riwayat militer Oerip sebagai mantan KNIL (hlm. 133).

Sebelum pemungutan suara dilakukan, Oerip sebenarnya berpeluang besar untuk tetap menjabat sebagai panglima tertinggi TKR karena jejak-rekam dan kemampuan memimpinnya. Adapun Soedirman datang belakangan bersama seorang tokoh militer yang mewakili suara dari Sumatra Selatan.

Dari situlah muncul usulan untuk digelar voting, bukan langsung dipilih seperti yang semula hendak dilakukan, yang kemudian dimenangkan Soedirman berkat tambahan suara dari Sumatra Selatan yang dititipkan kepada satu orang, yakni orang yang datang bersama Soedirman itu. Fakta tersebut didukung pernyataan A.H. Nasution yang hadir di forum dan ikut terlibat dalam pemungutan suara.

Dikutip dari Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009) karya Ahmad Syafii Maarif, Nasution yang sekaligus menepis dugaan adanya perselisihan antara eks KNIL dengan PETA dalam proses pemungutan suara itu menuturkan kesaksiannya: “Kami yang menentukan pemilihan saat itu. Yang hadir di situ tidak ada yang berebutan, cuma tentunya kita mengusulkan Pak Oerip karena ia telah lebih dulu menjadi Kepala Staf Umum Tentara. Pak Dirman datang setelah itu. Tapi yang terpilih adalah Pak Dirman karena mendapat tambahan suara dari Sumatera Selatan” (hlm. 123).

Infografik Mozaik Oerip Soemohardjo

Oerip dengan legowo mengakui hasil pemungutan suara tersebut. Ia tidak mempersoalkan dinamika yang terjadi di saat-saat terakhir dan justru merasa sedikit lega karena bebannya kini sedikit berkurang, bukan lagi menjadi orang yang paling bertanggungjawab sebagai pucuk pimpinan TKR.

Bahkan, Oerip dengan kerendahan hati menerima tawaran Soedirman yang tetap mempertahankan posisinya sebagai kepala staf umum dengan pangkat letnan jenderal. Dua tokoh besar militer itu pun bersama-sama menyelesaikan selisih paham antara eks KNIL dan PETA hingga akhirnya terbentuklah Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak 15 Mei 1947.

Oerip Soemohardjo terus mengabdi untuk negara meskipun prinsipnya sangat keras. Ia tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah Republik yang menempuh jalur diplomasi dengan Belanda. Oerip memilih tetap bergerilya dan menentang Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 yang disebutnya merugikan Indonesia.

Itulah yang menjadi pertimbangan Oerip mundur dari TNI, juga sejumlah alasan lain. Ia muak dengan intrik politik yang terjadi di pemerintahan saat itu.

Setelah tidak terlibat aktif lagi di militer, Oerip sempat menjadi penasihat Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta, hingga akhirnya wafat pada 17 November 1948, tepat hari ini 70 tahun lalu, di Yogyakarta. Ia meninggal karena serangan jantung.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 22 Februari 2017 dengan judul "Belajar Legowo Dari Oerip Soemohardjo". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Nurul Qomariyah Pramisti