Menuju konten utama
17 Januari 1948

Manuver AS Merugikan Indonesia di Perjanjian Renville

Kapal mengapung.
Menelan pil pahit di
atas geladak.

Manuver AS Merugikan Indonesia di Perjanjian Renville
Ilustrasi Amir Sjarifuddin dan Perjanjian Renville. tirto.id/Gery

tirto.id - Mulanya adalah pelanggaran atas Perundingan Linggarjati, demikian klaim pihak Republik Indonesia. Sementara Belanda menganggap diri sudah tidak terikat lagi dengan mufakat yang disahkan pada 25 Maret 1947 itu. Agresi Militer I menyusul kemudian, dan melumpuhkan sejumlah titik penting di Pulau Jawa, Madura, serta Sumatera.

Dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (1995), George McTurnan Kahin menyatakan, agresi pertama ini bukan soal harga diri bangsa semata. Kekalahan paling krusial Indonesia pada agresi pertama lantaran Belanda merebut banyak daerah penghasil sumber daya alam terbaik (hlm. 298).

Sejarah mencatat, Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu anggota Komisi Tiga Negara (KTN) yang sukses mendamaikan Belanda-Indonesia dalam Perjanjian Renville. Namun, Kahin justru menemukan banyak keganjilan dalam manuver AS.

Posisi AS sebagai juru damai idealnya netral serta memperlakukan pihak-pihak yang terlibat dengan setara. Sayangnya, manuver mereka berujung pada kekecewaan mendalam bagi para elit politik Indonesia dan turut membuat posisi Indonesia lemah selama perumusan perjanjian.

Pada awalnya, AS sebenarnya satu gerbong dengan Inggris sebagai pihak yang tak menyetujui agresi Belanda. Keduanya juga mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto. Namun dukungan semacam itu tak cukup menjadi solusi konflik Indonesia-Belanda.

Sebagai dua raksasa Barat, AS dan Inggris memilih tidak melaksanakan tindakan efektif untuk menghentikan agresi Belanda. Di tahap ini, kecurigaan menyebar di kalangan elit politik Indonesia. Mereka menganggap AS bersikap licik dan sebenarnya memihak Belanda.

Di sisi lain, India dan Australia bersikap lebih tegas dengan mengajukan konflik Indonesia-Belanda ke Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB).

Dalam laporan harian New York Times (25/7/1947), Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru menyatakan, “Apa yang terjadi dengan Piagam PBB? Semangat Asia baru tidak akan toleran dengan hal-hal semacam itu. Tidak satu pun bangsa Eropa mana pun, berhak menggunakan tentaranya terhadap bangsa Asia. Bila terjadi demikian, Asia tidak akan menerimanya.”

Australia menegaskan, Belanda telah melanggar Pasal 39 Piagam PBB. Mereka mendesak PBB untuk mengeluarkan resolusi agar Belanda-Indonesia menghentikan kontak senjata dan menyerahkan kesepakatan perdamaian pada pihak ketiga—sebagaimana tercantum dalam Perundingan Linggarjati.

AS menolak usulan tersebut. Pihak Indonesia kecewa. Cara kompromi AS membuat negara adidaya pemenang Perang Dunia II itu dinilai lebih dekat kepada penjajah. Sementara itu, Rusia, musuh ideologis AS, mendukung Indonesia dengan menyetujui usul Australia.

Satu usulan penting lain antara Rusia bersama Polandia adalah agar Belanda mundur dari wilayah-wilayah yang direbut setelah agresi. Bagi Rusia, terlaksananya usulan tersebut akan membuat kedudukan Belanda dan Indonesia menjadi setara selama proses menuju perdamaian. Sayangnya, usulan ini juga ditolak DK PBB.

Setelah menemui jalan buntu tentang bagaimana konflik akan diselesaikan, pada 24 Agustus 1947, AS mengusulkan pembentukan sebuah dewan yang berisi tiga negara untuk memfasilitasi perundingan. Dalam catatan Charles Wolf di bukunya, The Indonesian Story - The Birth, Growth And Structure of The Indonesian Republic (1948), AS menyebut usulan ini sebagai “jasa baik” (hlm. 142).

“Jasa baik” AS dimaksudkan agar perundingan khusus nantinya diikuti satu negara yang dipilih Indonesia, satunya Belanda, sisanya dipilih keduanya sebagai pihak netral. Peserta konflik setuju. Pada 18 September, Belanda memilih Belgia, Indonesia memilih Australia, dan kedua negara memilih AS. Dengan demikian, terbentuklah Komisi Tiga Negara (KTN).

Belanda Tak Menghormati DK PBB dan Menyepelekan Indonesia

Selama perundingan berlangsung, Belanda bersikap sangat tak menghormati Indonesia maupun para fasilitator. Pada 29 Agustus, misalnya, mereka memproklamirkan teritori baru di wilayah Indonesia dengan batas “Garis van Mook”. Penciptanya adalah gubernur Hindia Belanda de facto yang terakhir, Hubertus Johannes van Mook.

Di Jawa, misalnya, sesuai klaim van Mook, teritori Indonesia menyusut kurang dari sepertiganya. Di Sumatera, Belanda merebut banyak daerah pertanian paling subur. Menurut memorandum PBB nomor S/649 tentang kondisi ekonomi Indonesia, pemerintah kekurangan hasil panen beras hingga berpuluh-puluh kuintal (hlm 37). Dalam pidatonya di Belanda, van Mook secara tegas menyatakan bahwa tujuan dari klaim teritori adalah untuk menghancurkan Republik Indonesia.

Putusan DK PBB bak dikencingi Belanda yang terus mendesak maju di berbagai daerah di Indonesia. Permintaan Indonesia agar Belanda mundur didukung Rusia dan Australia. Namun, lagi-lagi AS menentang usul ini.

Pada 9 Oktober, AS mengirim wakilnya ke DK PBB untuk mendukung penolakan Belanda untuk mundur dengan dalih akan “melanggar Piagam PBB dengan kemungkinan mencurigai hak masing-masing pihak dalam pertikaian itu,” demikian menurut arsip sidang DK PBB yang dikutip Kahin.

Tanggal 31 Oktober, Rusia mengeluarkan resolusi agar Belanda menarik mundur pasukannya hingga ke posisi-posisi sebelum agresi militer. Resolusi ini mendapat dukungan dari Australia, Kolombia, dan Polandia, tapi ditentang AS. Inggris, Perancis, dan Belgia menyusul kemudian untuk satu suara dengan AS, sementara anggota DK PBB lain memilih abstain.