tirto.id - Suara Kepala Pusat Penerangan TNI Jendral Wuryanto lantang membacakan kalimat demi kalimat yang tertulis dalam sepucuk kertas yang digenggamnya. Minggu (22/10) kemarin, dengan seragam hijau khas TNI, di hadapan sejumlah wartawan, Wuryanto berkata, “Hari Sabtu tanggal 21 Oktober (2017) Panglima TNI siap berangkat ke Amerika Serikat dengan menggunakan maskapai penerbangan Emirates pukul 18.50 WIB.”
Sambil sesekali mengalihkan pandangannya dari kertas ke para hadirin, Wuryanto melanjutkan: “Namun beberapa saat sebelum keberangkatan ada pemberitahuan dari maskapai penerbangan bahwa Panglima TNI beserta istri tidak boleh memasuki wilayah AS oleh U.S. Customs and Border Protection.”
Rencananya Panglima TNI Gatot Nurmantyo pergi ke Amerika Serikat (AS) guna memenuhi undangan Ketua Kepala Staf Gabungan Militer AS sekaligus penasihat militer utama Presiden, Sekretaris Pertahanan, dan Dewan Keamanan Nasional General Joseph F. Dunford Junior. Gatot diundang menghadiri konferensi tentang pertahanan di Washington DC yang diselenggarakan pada 23-24 Oktober 2017. Mengapa AS menolak kedatangan Panglima TNI? Alasannya masih simpang siur.
Baca juga: Jenderal Gatot dan Imajinasi Proxy War
Peristiwa ditolaknya perwira militer Indonesia memasuki wilayah AS bukan pertama kali ini terjadi. Pramono Edhie Wibowo, yang kala itu menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus, ditolak berkunjung ke AS pada 2009.
Mirip rencana Gatot, awalnya anak Lentan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo tersebut hendak menyampaikan presentasi di Pentagon, Washinton DC. AS menolak kunjungan Pramono karena disinyalir terlibat kasus pelanggaran HAM pada masa lalu, khususnya kasus Timor Timur.
Pada 2011, Poengky Indarti, yang saat itu menjadi Direktur Eksekutif Imparsial, sempat merilis catatan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pramono. Pada 1999, Pramono menjadi komandan grup 5 Kopassus (anti teroris) dan ditempatkan di Timor Timur pada 5 September 1999. Sehari setelahnya, pada 6 September 1999, rumah Uskup Bello diserang.
Catatan itu dikeluarkan bersamaan dengan dicalonkannya Pramono sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Hasilnya tidak terlalu berpengaruh, Pramono tetap dilantik sebagai KSAD di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – suami dari kakak kandungnya sendiri, Kristiani Herawati alias Ani Yudhoyono.
Campur Tangan Kerusuhan 1998 dan Timor Timur
Menjelang dan setelah diadakannya referendum pada 30 Agustus 1999, situasi di Timor Timur mencekam.
Dalam “The Fruitless Search for Smoking Gun, Tracing the Origins of Violence in East Timor”, Geoffrey Robinson mencatat pada 6 April 1999 serangan anggota grup milisi pro-integrasi Indonesia Besi Merah Putih di Liquica menewaskan 25 orang. Ironisnya, aparat keamanan Indonesia yang berjaga seperti tentara, polisi, dan Brigade Mobil (Brimob) tidak melakukan apapun ketika penyerangan terjadi.
Sepekan setelahnya, pada 17 April 1999, sebanyak 13 orang di Dili meninggal akibat diserang oleh kelompok milisi pro-integrasi Indonesia Aitarak. Mereka adalah pengungsi yang tinggal di rumah pegiat pro-kemerdekaan Timtim Manuel Carrascalao.
“Pada 10 September (1999), tiga hari setelah deklarasi darurat militer, kami menyaksikan milisi bersenjata mencapai halaman sekolah di sebelah pengungsian dan memulai penyerangan orang-orang yang berkumpul di sana,” ujar Geoffrey yang saat itu juga bertugas sebagai anggota lembaga PBB yang mengawal proses referendum di Timtim UNAMET.
Baca juga: Merdeka dari Pendudukan Indonesia
Saat peristiwa berlangsung, jabatan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dipegang Jenderal Wiranto. Human Rights Watch Indonesia melaporkan, pada Februari 2003, Wiranto didakwa atas kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Panel Khusus untuk Kejahatan Berat di Pengadilan Distrik Dili yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tuduhan terhadap Wiranto berakibat pada pandangan AS terhadapnya. Pada 2004, saat ia maju sebagai calon presiden berpasangan dengan Salahuddin Wahid, AS melarang Wiranto memasuki wilayahnya.
Selain tindak kekerasan di Timtim, Wiranto bersama Sjafrie Samsoeddin dan Prabowo Subianto dituding tersangkut kerusuhan Mei 1998. Saat itu Prabowo menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis (Kostrad) dan Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Pangdam Jaya. Keduanya dituding melakukan pembiaran atau terlibat dalam kerusuhan 1998.
Akibatnya, pada 2009, Sjafrie Sjamsoeddin, yang saat itu menjabat sebagai wakil menteri pertahanan, ditolak masuk AS. Awalnya Sjafrie hendak mendampingi Presiden SBY dalam pertemuan negara-negara G-20 di Pittsburgh, AS. Pertemuan itu diselenggarakan pada 24-25 September 2009.
New York Times melaporkan Departemen Luar Negeri AS juga menolak visa Prabowo pada 2000 tatkala dia berencana menghadiri wisuda sarjana anaknya di Boston. Belum ada penjelasan lebih rinci soal alasan di balik penolakan tersebut.
Selain memberikan larangan masuk AS kepada perwira tinggi militer, pada 1999 pemerintahan negeri Paman Sam juga menghentikan kerja sama dalam bidang persenjataan dan pelatihan bagi TNI, khususnya Kopassus. Situsweb Kedutaan Besar AS melaporkan konsekuensi yang diterima Indonesia, yakni kesulitan untuk mendapatkan suku cadang dan perawatan operasional kendaraan tempur, baik Angkatan Darat, Laut dan Udara.
Pada November 2005, AS mencabut embargo senjata. Kemudian pada Juli 2010, AS berkenan untuk menjalin kerja sama latihan militer lagi dengan Kopassus.
Ketika ditanyai kemungkinan mencabut larangan AS kepada para perwira tinggi miiliter tersebut, pada Februari 2010, Menteri Luar Negeri yang menjabat saat itu, Marty Natalegawa, mengatakan, “Mari kita tunggu dan saksikan (draf argumentasi) telah selesaikan dan segara dirilis.”
“Ada tujuh jenderal yang di-blacklist”
"Prabowo hanya satu dari tujuh jenderal yang ditolak Amerika. Ada tujuh jenderal yang di-blacklist, tidak hanya Prabowo. Catat itu! Tapi khusus Prabowo tidak ditolak secara personal," ungkap Hashim Djojohadikusumo, kala mengunjungi Trans TV, “Pak Sjafrie masih ditolak, Pak Wiranto, Pramono Edhie, Zacky Anwar Makarim. Jadi ada tujuh atau delapan jenderal yang di-blacklist."
Menurut adik kandung Prabowo tersebut, informasi itu dia dapatkan setelah sekitar delapan kali berkunjung ke negeri paman sam. Menariknya, pernyataan tersebut diucapkannya pada 12 Februari 2014 alias dua bulan sebelum dilaksanakan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan lima bulan sebelum digelarnya Pemilihan Presiden (Pilpres).
Saat itu Wiranto sedang berkampanye sebagai presiden lewat partai Hanura. Sementara Pramono lewat Konvensi Partai Demokrat.
Sehari setelahnya, 13 Februari 2014, Kolega Wiranto di Hanura, Saleh Husin, mengomentari pernyataan Hashim tersebut.
"Tak ada hujan tak ada angin tiba-tiba Pak Hashim berteriak seperti cacing kepanasan. Kami pun tidak paham apa maksudnya. Biarkanlah nanti masyarakat yang menilai, toh kami tidak merasa terganggu sama sekali atas ocehan tersebut," ujar Saleh.
Pada hari yang sama, Pramono juga angkat bicara. Dia menyatakan pada 2012 dia telah mengunjungi Pangkalan Komando Militer Amerika Serikat-US Asia Pacific Command (USPACOM) di Hawai dalam kapasitasnya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
“Saya juga heran dengan pernyataan itu. Kok bisa saya dikatakan yang termasuk dicekal AS, padahal belum lama ini saya baru pulang dari sana," ujar Pramono.
Berlawanan dengan Pramono dan Saleh, Panglima TNI periode 2002-2006 Endriartono Sutarto membenarkan pernyataan Hashim. Menurutnya AS memang "mengembargo" sejumlah jenderal Indonesia setelah terjadi kasus Timtim dan kasus Tragedi 1998 (Reformasi 98).
"Memang ada fakta kalau 7, 9, 10 jenderal kita diembargo Amerika Serikat, karena kasus pelanggaran hukum, mengapa harus dibantah? Itu fakta. Kita pernah diembargo dua kali. Itu terjadi zamannya Timor Timur dan pembakaran Jakarta tahun 1998. Tapi itu haknya Amerika untuk mengembargo jenderal-jenderal kita. Tapi, ya, nggak usah dihiraukan, yang penting kita bisa menjadi negara mandiri," ujar Endriartono, dilansir dari Merdeka.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS