Menuju konten utama

Jenderal Gatot dan Imajinasi Proxy War

Dari peredaran narkoba sampai penguasaan media. Dari persoalan pangan sampai energi. Semuanya dinilai sebagai ancaman proxy war.

Jenderal Gatot dan Imajinasi Proxy War
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu (kiri) dan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo berbincang saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR, Jakarta, Selasa (25/7). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Suara Try Sutrisno rendah, pelan, namun tetap terdengar tegas. Jumat (22/9) pekan lalu, dengan kemeja lengan panjang berwarna kekuningan, di depan hadirin Silaturahmi Purnawirawan TNI, Try berkata: "Intinya kewaspadaan kepada PKI harus tetap ada, karena itu ideologi predator Pancasila.”

Lalu sembari sesekali memainkan gesture lewat tangan kirinya, wakil Presiden ke-6 Republik Indonesia tersebut meramalkan Indonesia akan jatuh karena proxy war. Menurut laki-laki yang pernah menjadi Panglima ABRI periode 1988-1993 itu, proxy war akan menghancurkan Indonesia lewat ideologi politik, ekonomi, budaya.

Istilah proxy war yang disebut Try Sutrisno bukan barang baru dalam perbincangan. Dalam tiga tahun terakhir, istilah proxy war menjadi trending topic terutama di kalangan militer. Berdasarkan penelusuran arsip berita di situs web Mabes TNI, istilah tersebut mulai dipopulerkan oleh Gatot Nurmantyo pada 2014.

Baca juga: Kain Kafan dan Lantunan Yasin saat Benny Moerdani Wafat

Kala itu Gatot masih menjabat sebagai Panglima Kostrad. Saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Indonesia (UI), 11 Maret 2014, Gatot secara eksplisit mengambil tema "Peran Pemuda dalam Menghadapi Proxy War”. Dalam kuliah umumnya, Gatot mengatakan sifat dan karakteristik perang telah bergeser seiring perkembangan teknologi.

Gatot mengungkapkan pada tahun 2043 energi fosil akan habis dan digantikan dengan bio-energi. Di sisi lain populasi penduduk dunia tumbuh pesat dan tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan, air bersih dan energi. Menurut Gatot, hal-hal tersebut akan memunculkan konflik-konflik baru: perang asimetris, perang hibrida, dan perang Proxy. Bagi Gatot, Indonesia berpotensi dijadikan sasaran perebutan sumber daya alam.

Hal serupa juga disampaikan Gatot saat memberikan kuliah umum di kampus Universitas Brawijaya (UB), 26 Maret 2014 dan Insitut Teknologi Bandung (ITB), 2 Mei 2014. Pernyataan Gatot pun khas, setelah membeberkan tentang proxy war dia akan mengajak para peserta untuk ikut andil dalam bela negara dan menjaga keutuhan NKRI dari berbagai ancaman yang tidak kasat mata itu.

“Intinya yang terbaik adalah back to basic, mengerti bahwa cinta dan peduli akan kepentingan Negara harus menjadi kepentingan tertinggi di atas kepentingan segala-galanya,” ujar Gatot di UB.

Proxy war dan Gatot pun seolah tidak bisa dilepaskan. Saat Gatot mulai menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad), Juli 2014, dia terus bergerilya dari kampus ke kampus untuk memberikan kuliah umum tentang proxy war. Sejak dipopulerkan Gatot, proxy war pun dijadikan tema yang sering disampaikan oleh para petinggi TNI AD di daerah ketika melakukan kunjungan ke kampus dan pertemuan resmi.

Laki-laki kelahiran 13 Maret 1960 itu bahkan memberikan perintah kepada seluruh komando utama jajaran TNI AD melaksanakan Latihan Bela Negara secara serentak dan menyeluruh. Tujuannya agar para peserta memiliki kesadaran untuk membela Indonesia yang sedang menghadapi proxy war.

Cara Tentara Masuk ke Ranah Sipil?

Kini, Gatot menjadi Panglima TNI. Jabatan tersebut disematkan oleh Presiden Jokowi kepadanya pada Juli 2015.

Bagaimana tentang proxy war? Tampaknya memang istilah tersebut tidak akan pernah lepas dari Gatot, bahkan semakin meluas dan digunakan juga oleh orang sipil. Menarik untuk menalaah lebih lanjut hal-hal apa saja yang digolongkan oleh Gatot dan beberapa tokoh lainnya sebagai proxy war.

Selain perebutan sumber pangan dan energi, Gatot menyatakan demonstrasi massa, sistem regulasi yang merugikan, bentrok antar kelompok, penguasaan media dan peredaran narkoba adalah proxy war. Lepasnya Timor Timur dari Indonesia juga kerap dijadikan contoh proxy war oleh Gatot.

Saat Gatot mulai memopulerkan proxy war semasa menjabat Pangkostrad dan Kasad, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI tidak ikut bicara. Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) bertanggal 25 Mei 2015 menyatakan sikap Gatot tersebut adalah contoh yang jelas perlunya pemerintah membuat pedoman tegas untuk perumusan dan persetujuan pengumuman kebijakan yang dibuat perwira senior.

“Seorang perwira pensiunan mengatakan bahwa fungsi kepala tentara adalah untuk meningkatkan, melatih, dan mempersiapkan tentara untuk digunakan oleh komandan TNI, untuk tidak mempromosikan gagasannya sendiri kepada publik dan (karena itu) dia seharusnya ditarik ke garis (komando) baik oleh Panglima TNI atau Presiden,” sebut laporan bertajuk The Expanding Role Of The Indonesian Military tersebut.

Namun, ketika Gatot menjadi Panglima TNI, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu ikut bicara soal proxy war. Pada Februari 2016 Ryamizard menyatakan LGBT adalah bentuk proxy war.

"(LGBT) bahaya, dong. Kita tak bisa melihat (lawan), tahu-tahu dicuci otaknya, ingin merdeka segala macam, itu bahaya," ujar Ryamizard kepada Antara, "Kalau perang proksi, tahu-tahu musuh sudah menguasai bangsa ini. Kalau bom atom atau nuklir ditaruh di Jakarta, Jakarta hancur, di Semarang tak hancur. Tapi, kalau perang modern semua hancur. Itu bahaya.”

Presiden ke-4 Indonesia Megawati pun angkat bicara. Pada Juli 2017, dia menyebut kejahatan keuangan internasional, perdagangan manusia, peredaran narkotika, dan terorisme lintas negara sebagai proxy war.

Nyatanya berbagai bidang yang digolongkan sebagai proxy war tersebut adalah bidang-bidang sipil. IPAC menyatakan ‘proxy war’ ala Gatot tersebut adalah salah satu dari empat cara TNI guna memperluas cakupan bidang yang ditanganinya hingga ranah sipil. Selain proxy war, tiga hal lainnya adalah perlindungan objek vital, masuknya TNI dalam progam pemerintah, dan TNI sebagai penegak hukum.

Baca juga: Modus TNI Membantu Petani

Di Mana Krisis 98 dan Tragedi 65?

“Apakah sebuah proxy war benar-benar terjadi di Indonesia? Atau apakah ini hanya usaha militer - terutama Angkatan Darat - untuk mendapatkan kembali relevansi politiknya?”

IGB Dharma Agastia, kandidat Ph.D bidang kajian strategis S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) NTU Singapura, mengajukan pertanyaan itu dalam artikelnya A case against the military's newfound 'proxy war' obsession.

Dalam Proxy Warfare, Andrew Mumford mendefinisikan proxy war sebagai keterlibatan tidak langsung dalam konflik yang dilakukan oleh pihak ketiga atas dasar ingin memengaruhi hasil agar sesuai dengan tujuan strategis untuknya.

Keterlibatan itu merupakan relasi konstitutif antara benefactor – aktor negara atau non-negara yang berada di luar dinamika konflik yang ada – dan proxy. Benefactor dapat diartikan sebagai mereka yang menyalurkan senjata, pelatihan dan pendanaan kepada proxy. Intervensi dari jauh dilakukan untuk alasan memaksimalkan kepentingan sementara pada saat yang sama meminimalkan risiko.

“Singkatnya, proxy war adalah pengganti logis bagi negara-negara yang ingin mencapai tujuan strategis mereka sendiri namun pada saat bersamaan menghindari terlibat dalam peperangan langsung yang kerap mahal dan bertumpah darah,” sebut Mumford.

infografik proxy war

Masa Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet menjadi peristiwa yang kerap diingat sebagai contoh proxy war. AS dan Uni Soviet sadar jika mereka berhadapan langsung, mereka akan menyebabkan perang nuklir. Mereka pun akhirnya memanfaatkan konflik yang terjadi di negara-negara yang lebih kecil untuk mengambil tujuan politik mereka.

Salah satu proxy war yang terjadi adalah Perang Saudara Angola 1975. AS, Uni Soviet dan China dengan Kuba dan Zaire (Republik Demokratik Kongo) memberikan kepada proxy mereka masing-masing tenaga kerja, dana, senjata, amunisi, dan bahkan propaganda.

Apa yang digolongkan proxy war kadang terlalu gampangan diucapkan. Dalam kasus LGBT sebagai proxy war, tidak ada bukti bahwa melalui mereka kepentingan asing akan memuat kacau situasi dalam negeri. Dalam peredaran narkotika, dalam beberapa kasus bisa saja hal tersebut digolongkan sebagai proxy war, tetapi hak menangani kasus tersebut ada pada pihak kepolisian, bukan militer.

Terry Russell, dalam Proxyphobia’ in Indonesia, menyebutkan ironi yang terdapat dalam isu proxy war yang diangkat Gatot. Laki-laki lulusan Akademi Militer 1982 itu kerap menyebut kasus Timor Timur, tetapi kasus Bank Dunia pada krisis 1997 absen dari pernyataannya.

Russell menyitir pernyataan mantan Kepala Ekonom Bank Dunia Joseph Stiglitz. Menurutnya, ekonomi Indonesia runtuh pada 1997-98 karena pemerintah Soeharto telah berkolaborasi dengan Bank Dunia untuk secara cepat 'meliberalisasi' sektor perbankan di Indonesia.

“Kerja sama tersebut menciptakan akses mudah terhadap pinjaman namun membuat Indonesia sangat rentan terhadap spekulan mata uang asing,” ujar Russell.

Baca juga: Jejak-jejak CIA di Indonesia

Selain itu, sesungguhnya AS menjadikan kelompok Soeharto dan kroni-kroninya sebagai proxy dalam peristiwa Gerakan September 30 dan penumpasan anggota dan mereka yang dituduh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Amerika memiliki penghubung yang ditunjuk di Bangkok. Dari tempat itulah dibahas segala permintaan militer yang menunjang pembersihan unsur komunis, mulai dari peralatan komunikasi, persenjataan, serta perlengkapan lainnya dengan total lebih dari $1 juta.

Para pejabat Amerika Serikat menyerahkan daftar 5.000 nama pemimpin PKI dan kadernya untuk diserahkan kepada Angkatan Darat, yang kemudian digunakan untuk melacak anggota PKI, menangkap, dan mengeksekusinya.

Baca juga artikel terkait PANGLIMA TNI atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS