Menuju konten utama

Jejak-Jejak CIA di Indonesia

Apa yang terjadi di sekitar hari kelam 30 September 1965 dan seterusnya di Indonesia amat terkait erat dengan peran CIA, badan intelijen Amerika Serikat. Sebelum menjadi kolaborator pembantaian pasca-1965, CIA sempat membicarakan rencana pembunuhan terhadap Presiden Sukarno.

Jejak-Jejak CIA di Indonesia
Ilustrasi dokumen CIA. Dalam dokumen berjudul "Summary of Facts: Investigation of CIA Involvement in Plans to Assassinate Foreign Leaders," disebutkan bahwa ada pembicaraan di CIA untuk membunuh Sukarno, tapi tidak disetujui pemerintah AS. [Foto/nsarchive.gwu.edu]

tirto.id - Badan intelijen ini barangkali menjadi yang paling populer sejagad. Usianya sudah 69 tahun sejak diresmikan pemerintahan federal Amerika Serikat pada 18 September 1947. Sesuai nama organisasinya, tugasnya adalah melakukan kerja-kerja intelijen.

Lewat CIA World Factbook mereka juga merilis publikasi tahunan yang berisi data-data umum suatu negara seperti jumlah penduduk, kondisi geografis demografis, isu-isu nasional transnasional dan lainnya. Hasil ini juga dapat diakses untuk umum di situs mereka.

Di sisi lain, kerja-kerja mereka juga ikut mempengaruhi tatanan suatu negara lain. TeleSUR, sebuah jaringan televisi pan-Amerika Latin, pernah menulis: “Meskipun kerja-kerja mereka untuk memperjuangkan kebebasan, tujuan sejati CIA selalu berujung imperialis. Entah minyak di Iran atau pisang di Guatemala, Amerika Serikat memiliki kepentingan materi di setiap negara yang urusannya dicampuri."

Tidak terkecuali di Indonesia.

CIA memainkan peran di Indonesia semasa pemerintahan Presiden Sukarno. Pernyataan Presiden Sukarno yang memilih untuk bersikap netral dalam Perang Dingin antara Uni Soviet melawan Amerika itu dipandang sebagai sebuah sikap ambigu. Apalagi Sukarno kemudian dekat dengan Cina. Baik Amerika, Soviet dan Cina saling berebut untuk mempengaruhi kecondongan Presiden Sukarno.

Sebagai konsekuensinya, sejak akhir 1950-an, CIA memulai upaya menggagalkan pengaruh politik komunis di Indonesia yang tampak terus menggeliat. Bahkan secara ekstrem, dalam dokumen 1975 berjudul "Summary of Facts: Investigation of CIA Involvement in Plans to Assassinate Foreign Leaders," menunjukkan kesaksian bahwa ada pembicaraan dalam CIA untuk mengakhiri hidup Presiden Sukarno. Pembicaraan itu tidak ditindaklanjuti karena Richard Nixon, wakil presiden Amerika Serikat, kala itu tidak setuju dengan rencana itu.

Rencana yang kemudian tidak dilakukan oleh CIA ini dibeberkan oleh Richard Bissel mantan wakil direktur bidang perencanaan CIA, kepada Church Committee. "Rencana tersebut berlanjut [hanya] sampai pada upaya mengidentifikasi aset [seorang pembunuh] yang diperkirakan akan direkrut untuk melaksanakan pembunuhan itu,” demikian tercatat dalam dokumen 1975 itu. Tapi, "rencana tak pernah dicapai, tak sampai pada titik di mana rencana itu dapat dilaksanakan."

Bukan cuma obrolan agar Sukarno dibunuh, pernah juga ada upaya untuk menjatuhkan karakter Sukarno di mata publik, juga khalayak internasional. Saat itu Sukarno terkenal menggandrungi wanita, maka dibuatlah rencana membuat film porno yang aktornya mirip dengan Bung Besar sebagai cara insinuasi.

Menurut Kenneth J. Conboy dan James Morrison dalam Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958, film porno itu dikerjakan di studio Hollywood yang dioperasikan Bing Crosby dan saudaranya. Film ini dimaksudkan sebagai bahan bakar tuduhan bahwa Sukarno (diperankan pria Chicano) mempermalukan diri dengan meniduri agen Soviet (diperankan perempuan pirang Kaukasia) yang menyamar sebagai pramugari maskapai penerbangan.

Proyek film porno ini pada akhirnya tidak benar-benar dirilis. Ujungnya, keberhasilan CIA menggerogoti Indonesia baru terwujud setelah 30 September 1965 malam dan hari-hari sesudahnya.

Bradley Simpson, seorang Direktur Proyek Dokumentasi Indonesia dan Timor Timur di Arsip Keamanan Nasional Amerika mengemukakan bahwa dokumen rahasia tersebut menunjukkan bahwa Amerika Serikat pada masa-masa itu memberikan bantuan ekonomi, teknis, dan militer untuk tentara sesegera setelah pembunuhan terhadap kelompok politik kiri dilakukan.

Saat itu presiden Amerika Serikat dijabat oleh Dwight D. Eisenhower—sebelumnya dijabat John F. Kennedy, teman Sukarno yang dibunuh pada 22 November 1963. Beberapa negara Barat seperti Inggris, Australia, dan tentu saja Amerika Serikat, secara aktif berusaha untuk menciptakan kondisi yang menyebabkan bentrokan kekerasan antara tentara khususnya angkatan darat dan Partai Komunis Indonesia.

PKI sendiri merupakan Partai Komunis terbesar ketiga di dunia dengan sekitar 2 juta anggota. Melalui banyak organisasinya afiliasinya, misalnya organisasi buruh dan kelompok pemuda, partai ini mengaku masih memiliki 17 juta loyalis lainnya.

Dalam rangka memfasilitasi bantuan rahasia kepada militer Indonesia, Amerika Serikat bekerja sama dengan Jenderal Sukendro yang pernah belajar di University of Pittsburgh dan salah satu penghubung dalam kontak militer untuk tingkat tertinggi CIA.

Amerika juga memiliki penghubung yang ditunjuk di Bangkok, dan dari tempat itulah dibahas segala permintaan militer yang menunjang pembersihan unsur komunis, mulai dari peralatan komunikasi, persenjataan, serta perlengkapan lainnya dengan total lebih dari $1 juta.

John Roosa dalam bukunya berjudul Dalih Pembunuhan Massal mencatatkan warta CIA yang dikirim dari Jakarta, bahwa pada hari itu jenderal-jenderal Angkatan Darat bersidang dan bersepakat untuk melaksanakan rencana mengganyang PKI. Di bawah arahan Suharto, dengan cepat Angkatan Darat menyerahkan massa sipil dan menyebarkan propaganda anti-PKI melalui pers.

Para pejabat Amerika Serikat telah mengkonfirmasi bahwa kedutaan menyerahkan daftar 5.000 nama pemimpin PKI dan kadernya untuk diserahkan kepada Angkatan Darat, yang kemudian digunakan untuk melacak anggota PKI, menangkap, dan mengeksekusinya.

Marshall Green yang menjabat duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia pada masa itu juga menyatakan kepada senat hubungan luar negeri bahwa ada sekitar 500.000 orang yang menjadi korban penumpasan.

Nasib Presiden Sukarno yang konsisten menyeimbangkan tiga unsur, nasionalis komunis dan agama (Nasakom), juga ditumbangkan kekuasaannya. Letjen Soeharto yang menumpas PKI sampai simpatisan Bung Karno, muncul sebagai pemegang transisi kepemimpinan melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Seperti kita semua tahu, ia kemudian menjadi presiden selama 32 tahun.

Kini, berbagai dokumen mengenai keterlibatan pemerintah Amerika melalui kerja-kerja intelijen CIA telah banyak beredar dan dapat diakses publik meski sebelumnya bersifat sangat rahasia. Ini juga terkait dengan kebijakan di Amerika Serikat yang mendeklasifikasi dokumen rahasia setelah beberapa puluh tahun—milai dari yang rentangnya 10 tahun sampai 75 tahun.

Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani