Menuju konten utama

Kenapa Soeharto Tidak Ikut Diculik dalam Peristiwa G30S 1965?

Tiga teori kenapa Soeharto tidak ikut diculik dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang disebut-sebut dilakukan PKI.

Kenapa Soeharto Tidak Ikut Diculik dalam Peristiwa G30S 1965?
Jenderal Soeharto, duduk selama upacara di Jarkata, Indonesia, di mana ia secara resmi dilantik oleh Kongres sebagai penjabat presiden baru menggantikan Presiden Sukarno. FOTO/AP

tirto.id - Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang kerap disebut-sebut melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor utamanya menjadi sejarah kelam yang menjadi cikal bakal peringatan Hari Kesaktian Pancasila.

Peristiwa berdarah ini menewaskan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Kenapa Soeharto tidak ikut diculik dan dibunuh dalam G30S 1965?

Peristiwa G30S 1965, disebut juga sebagai Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu), atau Gerakan Satu Oktober (Gestok). Kejadian ini berlangsung pada malam 30 September sampai 1 Oktober 1965.

Ada banyak kontroversi yang mewarnai fakta sejarah peristiwa tersebut. Beberapa kontroversi G30S 1965 menyangkut dalang hingga motif pembunuhan para jenderal.

Menurut John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008), sejarah ini layaknya rumus kubus rubik yang belum terpecahkan inti keterhubungannya.

Terlepas dari kontroversi tersebut, peristiwa ini faktanya menewaskan sejumlah petinggi TNI Angkatan Darat. Para jenderal yang tewas dalam peristiwa G30S 1965 adalah Ahmad Yani, Raden Suprapto, M.T. Haryono, Siswono Parman, D.I. Panjaitan, dan Sutoyo Siswomiharjo.

Korban pembunuhan G30S 1965 yang juga anggota TNI berpangkat di bawah jenderal adalah Pierre Andreas Tendean, Katamso Darmokusumo, dan Sugiono. Ada juga korban berasal dari Polri, yaitu Karel Sadsuit Tubun, dan warga sipil di bawah umur, yaitu Ade Irma Suryani, putri A.H. Nasution.

Delapan korban G30S 1965 kemudian diberi gelar sebagai pahlawan revolusi. Tujuh di antara para pahlawan revolusi diabadikan dalam patung Monumen Pancasila Sakti, di Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur.

Alasan Kenapa Soeharto Tidak Diculik dan Dibunuh dalam G30S 1965

Fakta sejarah G30S 1965 masih menuai banyak pertanyaan hingga saat ini. Salah satu yang menyita perhatian publik adalah alasan kenapa Soeharto tidak diculik dan dibunuh saat peristiwa G30S 1965 terjadi.

Pertanyaan ini muncul bukannya tanpa alasan. Hal ini karena fakta bahwa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan para pelaku G30S 1965 menargetkan jenderal-jenderal petinggi TNI Angkatan Darat (AD).

Saat peristiwa terjadi, Soeharto sudah berpangkat Mayor Jenderal TNI AD dan menjadi Panglima Kostrad. Pangkat Soeharto kala itu sama dengan tiga korban G30S 1965 lainnya, yaitu Mayjen TNI Raden Suprapto, Mayjen TNI M.T. Haryono, dan Mayjen TNI Siswondo Parman.

Sejauh ini belum diketahui mengapa Soeharto tidak diculik dan dibunuh dalam peristiwa G30S 1965. Namun, terdapat tiga teori yang dijabarkan para sejarawan untuk menjelaskan alasan kenapa Soeharto tidak diculik saat peristiwa G30S 1965.

Berikut ini teori sejarawan tentang alasan kenapa Soeharto tidak diculik dan dibunuh pada 1965:

1. Soeharto dianggap tidak berbahaya bagi pelaku?

Teori pertama menyebut bahwa Soeharto dianggap tidak berbahaya bagi pelaku penculikan dan pembunuhan G30S 1965. Teori ini ditulis oleh A. Kardiyat Wiharyanto dalam Sejarah Indonesia dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009 (2011).

Teori ini mendukung anggapan bahwa pelaku G30S 1965 adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Wiharyanto, Soeharto tidak ikut diculik karena bersikap diam dalam rapat pimpinan TNI AD untuk menghadapi PKI.

Berdasarkan teori ini, rapat pimpinan TNI AD itu digelar karena terjadi konflik antara TNI AD dan PKI di akhir pemerintahan Soekarno. Kedua kubu diklaim sedang berebut pengaruh di pemerintahan.

Saat rapat berlangsung, Soeharto tidak menyetujui strategi yang diputuskan oleh TNI AD dan memilih bersikap diam. Sikap diam Soeharto inilah yang membuatnya tidak termasuk dalam daftar penculikan G30S 1965.

2. Soeharto memiliki kedekatan dengan Untung dan Latief?

Teori kedua menyebut dugaan bahwa Soeharto memiliki kedekatan dengan pelaku G30S 1965, sehingga tidak termasuk dalam target penculikan. Dua pelaku yang dianggap dekat dengan Soeharto, yaitu Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief.

Teori ini berdasar pada kesaksian Soeharto dalam wawancara Der Spiegel, edisi 19 Juni 1970. Kesaksian Soeharto juga tercantum dalam buku Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI (2006), oleh Eros Djarot, dan kawan-kawan (dkk).

Abdul Latief adalah Komandan Garnisun Kodam Jaya yang dekat dengan Soeharto. Menurut Djarot, dkk., Latief selalu mengikuti jejak Soeharto dalam karier kemiliterannya.

Hubungannya dengan Soeharto bahkan bukan lagi sekadar atasan dan bawahan, melainkan seperti saudara. Hubungan yang erat ini membuat Soeharto yakin, Latief tidak mungkin melukai dirinya.

Hubungan yang sama juga dijalin Soeharto dengan Untung. Berdasarkan riwayat karier militernya, Untung adalah anak buah Soeharto saat berdinas di Banteng Raiders Jawa Tengah.

Soeharto juga menjadi satu-satunya perwira tinggi TNI AD yang menghadiri pernikahan Untung di Kebumen, Jawa Tengah.

3. Soeharto merestui gerakan G30S 1965?

Teori ketiga menyebut bahwa Soeharto merestui gerakan G30S 1965. Dugaan ini tercantum dalam buku Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008), karya John Roosa.

Teori ini muncul berdasarkan keterangan Latief dan Soeharto. Baik Latief maupun Soeharto membenarkan saling bertemu beberapa jam sebelum peristiwa G30S.

Menurut Roosa, Latief menyampaikan dalam pledoinya bahwa ia telah memberi tahu Soeharto tentang G30S sebelum peristiwa terjadi dan mendapat restu darinya secara diam-diam.

Pertemuan itu dibenarkan oleh Soeharto dalam wawancaranya dengan Der Spiegel, yang menyebut bahwa dirinya bertemu dengan Latief di RSPAD.

Meskipun Soeharto tahu akan rencana itu, ia tidak melapor ke atasannya, sehingga dianggap menyetujui rencana penculikan para jenderal. Menurut Soekarjo Wilardjito dalam Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden (2008), Soeharto baru bertindak setelah para jenderal terbunuh.

"(Soeharto) muncul ke arena seperti koboi yang menunggang kuda putih dengan peluru yang tak meleset dari sasaran, dan membereskan lawan-lawannya," tulis Wilardjito, "dan ia, 'menjadi pahlawan'."

Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Aktual dan Tren
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Yonada Nancy & Iswara N Raditya