Menuju konten utama

Kesaksian Tentang Penculikan Para Jenderal dalam Tragedi G30S

Kesaksian tentang penculikan para Dewan Jenderal dalam tragedi Gerakan 30 September (G30S).

Kesaksian Tentang Penculikan Para Jenderal dalam Tragedi G30S
Letnan Kolonel Untung [Foto/Blogspot.com]

tirto.id - Menjelang malam 30 September 1965, Letkol Untung selaku Komandan G30S dibantu oleh Letnan Satu Dul Arif berhasil mengumpulkan 60 anggota Cakrabirawa, yang kelak menjadi pasukan Pasopati.

Sersan Mayor Bungkus, menjelaskan, pada sore hari 30 September, dia diberi pengarahan komandan kompi, Dul Arif, untuk memberikan briefing dengan misi “menggagalkan kudeta Dewan Jenderal”. Hal itu dia sampaikan kepada Ben Anderson dan dimuat dalam Jurnal Indonesia (Oktober 2004).

Selain 60 anggota Cakrabirawa itu, ada juga pasukan dari Brigif 1 Kodam Jaya yang dipimpin Kolonel Abdul Latief. Artinya, dari total 3.000 anggota Pasukan Cakrabirawa, hanya dua persen saja yang terlibat G30S. Bahkan, ada yang tidak tahu misi apa yang sebenarnya akan dijalankan. Mereka hanya mendapat perintah untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal.

Sersan Mayor Bungkus yang ikut dalam pasukan itu menceritakan, Dul Arif telah ditugaskan oleh Letkol Untung untuk bergerak ke kawasan Lubang Buaya.

“Ada kelompok jenderal yang disebut Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Presiden Sukarno,” kata Dul Arif seperti ditirukan Bungkus.

“Saya dapat perintah dari komandan batalyon untuk memberikan briefing. Misi kita adalah menggagalkan kudeta Dewan Jenderal,” kata Dul Arif seperti ditirukan Mayor Bungkus.

Untung pergi ke Lubang Buaya untuk melihat pasukan. Tengah malam, 30 September 1965 atau dini hari 1 Oktober 1965, puluhan pasukan Cakrabirawa bergerak, menjemput paksa beberapa perwira tinggi AD dengan dalih mendapatkan panggilan untuk menghadap Presiden Sukarno.

Beberapa jenderal AD termasuk Ahmad Yani, M.T. Haryono, R. Soeprapto, D.I. Pandjaitan, Suwondo Parman, dan Sutoyo Siswomiharjo, menjadi korban dan gugur. Begitu pula dengan Pierre Tendean, K.S. Tubun, serta Ade Irma Suryani.

Jenazah para korban penculikan itu ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 3 Oktober 1965. Mereka dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 5 Oktober 1965 bertepatan dengan peringatan hari lahir TNI.

Kesaksian Ishak Bahar, Eks Pasukan Cakrabirawa

Dalam keterangan lain, Sersan Mayor Ishak Bahar, yang kala itu menjadi Komandan Regu Pengawal Istana Batalion Cakrabirawa mengaku mendapat perintah dari atasannya Letkol Untung untuk ikut bersamanya. Padahal, sore sekitar pukul 18.00 WIB dia ada tugas untuk mengawal Presiden Sukarno di Senayan.

Sebagaimana dikutip Kompas.com pada 29 September 2021, Ishak sempat bertanya kepada Untung apakah dia tetap mengawal presiden atau ikut bersamanya. Untung tetap meminta Ishak ikut dengannya. Ishak tidak bisa menolak karena itu bagian dari perintah.

Dengan membawa senjata lengkap, Ishak ikut bersama Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief. Tiba-tiba, mereka mampir ke Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) untuk bertemu Soeharto yang ketika itu sedang menjaga anaknya, Hutomo Mandala Putra karena sakit.

Ishak mengaku tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena dia tidak ikut masuk ke dalam ruangan. Akan tetapi, di perjalanan dia mendengar pembicaraan Untung dan Abdul Latief yang mengaku sudah mendapat izin dari Soeharto, yang dia sebut “mau nyulik jenderal”.

Mereka pun tiba di Lubang Buaya, Ishak sendiri diminta untuk berjaga di rumah pondok. Ketika malam tiba, dia pun melibat pasukan Batalion Cakrabirawa datang berduyun-duyun.

Sekitar pukul 01.00 WIB pada 1 Oktober, Ishak pun melihat para anggota Cakrabirawa itu bergerak menculik Dewan Jenderal, ada yang masih hidup, ada pula yang sudah tidak bernyawa lagi.

Menurut dia, Dewan Jenderal yang sudah meninggal ketika diculik adalah Letjen Ahmad Yani, Brigjen D.I Panjaitan, Mayjen MT Haryono dan Brigjen Sutoyo. Sementara yang masih hidup adalah Mayjen R. Soeprapto, Mayjen S. Parman dan Kapten Lettu Pirre Tandean.

Baik yang sudah meninggal dan masih hidup itu, kata Ishak, dimasukan ke dalam sumur tua, yang dikenal sebagai Lubang Buaya, lalu ditembak dari atas secara membabi buta.

Namun, ada satu polisi bernama Soekitman yang dia lindungi supaya tidak dibunuh. Kelak Soekitman menjadi saksi kunci dalam tragedi tersebut.

Atas situasi itu, Ishak pun merasa terjebak dalam pusaran politik padahal dia tidak tahu rencana itu. Bahkan nasibnya dari seorang patriot terhormat dicap menjadi pengkhianat negara.

Sesampainya di markas Cakrabirawa, datanglah pasukan tentara putih dan Ishak dijebloskan ke penjara dan tidak dimintai keterangan.

Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Politik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya