tirto.id - Pada apel malam 30 September 1965 itu, Letnan Satu Dul Arif hanya bisa memperoleh 60 anggota Cakra saja untuk dilibatkan dalam gerakan yang dipimpin oleh Letkol Untung. Kesemuanya berasal dari Batalyon 454 Banteng Raider, yang merupakan pasukan raider di wilayah KODAM Diponegoro. Pasukan ini pernah dikomandani Untung saat operasi pembebasan Irian Barat.
Pasukan itu kemudian dimasukkan ke dalam Resimen Cakrabirawa, pengawal Presiden Soekarno, sebagai Batalyon Kawal Kehormatan II Cakrabirawa, di mana Untung memimpin lagi pasukan ini.
Ke-60 Cakra itu dilibatkan dalam pasukan Pasopati yang dipimpin oleh Dul Arif. Selain ke-60 Cakra, terdapat juga pasukan dari Brigif 1 KODAM Jaya yang dipimpin Kolonel Latief. Pasukan Pasopati bertugas menculik para jenderal Angkatan Darat. Dari tujuh jenderal sasaran, pasukan ini hanya mendapatkan enam, yakni Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT Haryono, Mayor Jenderal S Parman, Brigadir Jenderal Soetoyo Siswomihardjo, dan Brigadir Jenderal DI Pandjaitan.
Mereka gagal mendapatkan Nasution dan hanya membawa ajudannya yang masih muda dan mirip Nasution. Semua dibawa ke Lubang Buaya, Cililitan, hidup atau mati. Ahmad Yani dan Pandjaitan termasuk yang tak bernyawa ketika sudah di Lubang Buaya.
Di antara ke-60 Cakra itu, ada prajurit bernama Bungkus. Seperti Dul Arif dan Pembantu Letnan Dua Djaharup, Bungkus berasal dari daerah Tapal Kuda di Jawa Timur yang kental budaya Maduranya. Bungkus awalnya adalah pejuang dalam pasukan Andjing Laut di Jawa Timur. Setelah 1949, Bungkus pernah dikirim melawan Republik Maluku Selatan di Buru. Belakangan, pasukannya dimutasi ke Jawa Tengah, kemudian pasukannya menjadi pasukan pemukul andalan Banteng Raider.
Di sinilah letak ironinya: Ahmad Yani yang diculik sebagian anggota Cakra itu adalah pendiri pasukan Banteng Raider, kesatuan asal ke-60 Cakra tersebut. Yani membentuk pasukan itu di Jawa Tengah ketika hendak mengatasi pemberontakan DI/TII Amir Fattah. Pasukan itu diberi keterampilan khusus antigerilya.
Pasukan ini dibentuk setelah Yani menjalani latihan di Magelang dan sebelum ia diterjunkan melawan DI/TII. Selanjutnya, pasukan ini berkembang menjadi hingga 2 batalyon. Salah satunya kemudian menjadi Batalyon 454 di Srondol. Pasukan ini diberi kualifikasi sebagai pasukan penerjun. Ketika Untung menjadi Komandan Batalyon 454, batalyon ini dikirim ke operasi pembebasan Irian Barat, di mana Untung sebagai komandan mendapat Bintang Sakti.
Sebelum Untung, Ali Ebram yang dianggap terlibat pengetikan Supersemar pernah juga jadi Komandan Batalyon 454, pada 1961-1963. Begitu pula Letnan Kolonel Sugiyono, korban 1965 di Kentungan. Ia pernah memimpin batalyon ini dari 1954 hingga 1957. Ia dianggap komandan kedua setelah Kapten Hardoyo. Yasir Hadibroto, orang yang terlibat dalam kematian Ketua CC PKI, Dipa Nusantara Aidit, juga pernah jadi komandan keempat, 1959-1960.
Setelah G30S, Mayor Rudini yang pernah jadi Menteri Dalam Negeri pernah juga memimpin batalyon ini. Juga perwira bernama Sahirman, sejak 1960 hingga 1961. Kala menjabat, pangkatnya mayor. Dalam sejarah Jawa Tengah, Sahirman disebut sebagai nama Komandan G30S cabang Jawa Tengah. Pasukan ini belakangan berubah menjadi Batalyon 401 lalu berubah menjadi 400. Namun ia tetaplah pasukan pemukul reaksi cepat.
Untung Yang Buntung
“Kami jumpai kawan-kawan kelompok pimpinan militer pada malam sebelum aksi dimulai, dalam keadaan sangat letih disebabkan kurang tidur. Misalnya: kawan-kawan Untung tiga hari berturut-turut mengikuti rapat-rapat Bung Karno di Senayan dalam tugas pengamanan,” tulis Soepardjo dalam tulisannya soal kegagalan G30S, seperti dilampirkan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008). Koordinasi gerakan terhadap yang mereka sebut Dewan Jenderal pun kacau. Bahkan ada perwira-perwira yang semula ikut dalam rapat-rapat sebelum gerakan mulai mengundurkan diri.
Setelah 1 Oktober 1965, dan gerakannya berantakan, Untung lebih banyak diam. Di rumah Anis Sujatno, Sersan AURI yang terjebak G30S dalam kesaksiannya di persidangan Untung, Untung hanya berdiam di ruang makan dari siang hingga sore. Jelang senja, sekitar pukul 05.30, Untung akhirnya bicara pada Anis, hendak meminjam pakaian sipil. Untung akhirnya menghilang dan muncul di Tegal pada 11 Oktober 1965. Dia hendak menuju Komando G30S di Jawa Tengah.
Seandainya bersikap tenang dan tidak lompat dari bis setelah melihat tentara, Untung barangkali tidak akan bernasib apes. Sekali lagi, setelah di Lubang Buaya, Untung sial lagi. Orang-orang yang melihatnya melompat mengira dia copet yang habis mencopet di bus tersebut. Sialnya Untung salah lompat. Dia menerjang tiang listrik. Setelahnya dikeroyok hingga babak belur.
Setelah dipermak massa hingga babak belur, Untung bukannya ditangkap polisi kombatan macam Brimob atau Polisi Militer. Untung digiring Pertahanan Sipil (Hansip). Penerima Bintang Sakti, atas jasanya dalam perebutan Irian Barat itu, tidak gagah lagi, meski dirinya berusaha bersikap layaknya seorang perwira.
”Letkol Untung, pimpinan Dewan Revolusi, tetap memperlihatkan gengsinya sebagai perwira, meskipun pakaiannya sudah lusuh dan hanya mengenakan sendal jepit. Ketika ditanya interogator tentang jabatan apa nanti di pemerintahan yang bakal dia dapat jika PKI menang, Untung mengatakan dengan sikap tegas bahwa pertanyaan interogator itu tidak relevan. karena itu ia tidak mau menjawab. Padahal di ruangan itu sebuah aula, penuh dengan tahanan PKI yang sedang diperiksa sambil dipukuli dan dibentak-bentak. 'Suaranya hiruk pikuk,' jawabnya sambil senyum," Misbach Yusa Biran menulis tentang Untung dalam Kenang-kenangan Orang Bandel (2009).
Untung akhirnya diadili dan dihadiahi vonis mati pada 6 Maret 1966. Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat membubuhkan tandatangan surat eksekusi esok harinya, pada 7 Maret 1966. Untung mencoba meminta grasi kepada Presiden Soekarno yang mulai ompong kekuasaannya pada April 1966, dan permohonan itu ditolak oleh Mahkamah Agung. Padahal Untung meyakini Soeharto akan menolongnya. Kematian pun menyapa Untung alias Kusman yang bernasib buntung.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Maulida Sri Handayani