tirto.id - 30 September 1965 adalah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia, yang sering dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut data Komnas HAM pada 23 Juli 2012, jumlah korban tewas akibat tragedi itu bisa mencapai 500 ribu hingga 3 juta jiwa.
Presiden Sukarno menyebut kejadian itu sebagai Gestok (Gerakan Satu Oktober). Sedangkan Presiden Soeharto menyebutnya Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), kemudian Soeharto mengubahnya G30S/PKI (Gerakan 30 September PKI).
Yoseph Yapi Taum dalam Sastra dan Politik Representasi Tragedi Negara Orde Baru (2020) menuliskan, G30S PKI adalah narasi resmi yang dipakai Pemerintah Orde. Istilah itu dipakai sejak tahun 1966 dan dimuat di berbagai buku-buku sejarah. Setelah Orde Baru runtuh, istilah G30S PKI tak dipakai lagi dan diganti menjadi G30S atau G30S 1965.
Masyarakat Sejarawan Indonesia pernah menggelar seminar berjudul “Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih” untuk mempertanyakan ulang sejarah kelam itu. Mereka mengajukan beberapa pertanyaan mengenai peristiwa apa yang sebenarnya terjadi?
Apakah ada kaitannya dengan produk konspirasi politik? Apakah ada persaingan kekuasaan di lingkungan elit Angkatan Darat atau manuver tunggal PKI?
Narasi Pemerintah Orde Baru menyebut dalang di balik peristiwa 30 September itu adalah PKI dengan tujuan untuk merebut kekuasaan negara.
Edy Suparjan dalam Pendidikan Sejarah untuk Membentuk Karakter Bangsa (2019), PKI dituduh sebagai dalang G30S karena tiga alasan: Pertama, hubungan yang tidak akur antara PKI dan Angkatan Darat di masa Presiden Soekarno sedang sakit keras.
Kedua, PKI khawatir apabila Soekarno meninggal, maka AD akan menjadi ancaman bagi PKI. Sebagai ketua PKI, D.N. Aidit, berkeliling banyak partai untuk meyakinkan bahwa isu Dewan Jenderal ingin mengambil alih kekuasaan Soekarno benar adanya.
Ketiga, PKI membangun kekuatan fisik sejak September 1965 di sebuah wilayah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Sebanyak 2.500 orang terlibat, termasuk di antaranya anggota PKI, Pemuda Rakyat, Gerwani, dan SOBSI.
Apa yang Terjadi dalam Peristiwa G30S 1965?
Petrik Matanasi dalam Cerita Seputar Para Penculik G30S menuliskan, penculikan tujuh perwira dalam G30S itu melibatkan pasukan Pasopati yang terdiri dari 60 Pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Satu Dul Arif. Ada juga pasukan dari Brigif 1 Kodam Jaya yang dipimpin Kolonel Latief.
Artinya, dari total 3.000 anggota Pasukan Cakrabirawa, hanya dua persen saja yang terlibat G30S. Bahkan, ada yang tidak tahu misi apa yang sebenarnya akan dijalankan. Mereka hanya mendapat perintah untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal.
“Saya dapat perintah dari komandan batalyon untuk memberikan briefing. Misi kita adalah menggagalkan kudeta Dewan Jenderal,” kata Dul Arif seperti ditirukan Mayor Bungkus, dan menyampaikannya kepada Ben Anderson dalam sebuah wawancara, yang dimuat dalam Jurnal Indonesia (Oktober 2004).
Sersan Mayor Bungkus yang ikut dalam pasukan itu menceritakan, Dul Arif telah ditugaskan oleh Letkol Untung untuk bergerak ke kawasan Lubang Buaya. “Ada kelompok jenderal yang disebut Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Presiden Sukarno,” kata Dul Arif seperti ditirukan Bungkus.
Pada malam 30 September 1965, Letkol Untung ikut mengawal Presiden Sukarno dalam sebuah acara di Senayan hingga pukul 23.00 malam. Setelah itu, Untung pergi ke Lubang Buaya untuk melihat pasukan. Dini hari 1 Oktober 1965, pasukan itu berangkat menculik para jenderal hingga berakhir di sumur tua Lubang Buaya.
Tujuh perwira itu adalah Jenderal TNI Ahmad Yani, Mayor Jenderal Siwondo Parman, Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan, Mayjen M.T Haryono, Mayjen R. Suprapto, Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean.
Seperti dikutip Kompas.com, (29/9/2021), salah satu saksi hidup, Sersan Mayor Ishak Bahar ingat ketika Letkol Untung memerintah untuk ikut bersamanya, padahal hari itu dia bertugas untuk mengawal presiden ke Senayan.
Ishak adalah Komandan Regu Pengawal Istana Batalion Cakrabirawa. Waktu itu, Ishak mengatakan, Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief mampir ke rumah sakit angkatan darat untuk bertemu Soeharto yang sedang menjaga anaknya Hutomo Mandala Putra. Ishak mengaku tidak ikut masuk ke ruangan.
Di perjalanan, dia menguping pembicaraan Untung dan Latief yang mengaku sudah mendapat izin dari Soeharto untuk “nyulik jenderal”. Ishak yang awalnya tidak tahu rencananya merasa terjebak dan akhirnya terlibat dalam pusaran politik itu.
Setelah kejadian penculikan itu, atau tepat pada pukul 14:00 siang, 1 Oktober 1965, Letkol Untung mengumumkan “pemerintahan baru” lewat radio setelah berhasil menguasai Jakarta melalui “Gerakan 30 September” yang dipimpinnya, demikian dikutip dari Gerakan 30 September 1965: Tragedi Bertirai Kabut oleh Pusat Data dan Analisa Tempo.
Setelah melakukan kudeta, Untung memproklamasikan pembentukan Dewan Revolusi Indonesia. Dia menyebut dirinya sebagai ketua dewan dan menyatakan letnan kolonel sebagai pangkat tertinggi dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Tapi pemerintah baru itu hanya berumur berapa jam saja.
Dalam memoarnya, Soeharto menduga PKI mendalangi G30S ketika mendengar pengumuman radio pada 1 Oktober itu. Soeharto bilang, Letkol Untung adalah orang yang dekat dengan PKI dan pernah menjadi anak didik Alimin, tokoh PKI. Letkol Untung adalah Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno.
Di sisi lain, Yoga Sugama, dalam memoarnya, mengaku yakin G30S dipimpin oleh PKI bahkan sebelum Soeharto berpikiran demikian. Yoga Sugama adalah asisten Soeharto untuk urusan intelijen di Kostrad.
Yoga Sugama juga menjadi orang pertama di Kostrad yang memastikan penculikan para Jenderal Angkatan Darat di akhir bulan September 1965 itu dilakukan oleh anasir PKI.
Akan tetapi, sejarawan Jhon Roosa dalam Dalil Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto menuliskan, beberapa perwira tampak ragu-ragu dengan pernyataan itu karena pada pagi hari 1 Oktober, mereka belum mendapat bukti-buktinya. Tapi Yoga Sugama ngotot dengan argumentasinya sembari mengatakan tinggal mencari bukti-buktinya.
Jenazah yang menjadi korban penculikan ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 3 Oktober 1965. Mereka dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 5 Oktober 1965 bertepatan dengan peringatan hari lahir TNI.
Pada 5 Oktober 1965 itu, Angkatan Darat tidak menggelar parade militer seperti yang dijadwalkan. Mereka mengadakan pemakaman tujuh perwira secara besar-besaran. Di hari itu, mereka juga menyiarkan buku setebal 130 halaman yang disusun cepat. Isinya adalah rangkaian kejadian pada 1 Oktober dan menuduh PKI sebagai dalangnya.
Menurut warta CIA yang dikirim dari Jakarta, jenderal-jenderal tertinggi Angkatan Darat mengerahkan massa sipil untuk menyebarkan propaganda anti-PKI melalui pers, di bawah arahan Soeharto. Mereka menggambarkan bagaimana anggota PKI menyiksa para jenderal yang menjadi tawanan.
Ketika koran-koran dan radio memuat cerita-cerita mengerikan tentang PKI, massa yang digalang tentara pun mengamuk dan membakar habis gedung CC-PKI di Jakarta, menyerang kantor-kantor organisasi yang dianggap terkait PKI dan rumah para pimpinan partai.
Masih mengutip Jhon Rossa, waktu itu masyarakat belum memperoleh bukti kalau PKI mendalangi G30S. Bahkan masyarakat tidak punya alasan mendesak untuk tidak percaya pada Letkol Untung yang mengatakan, “Gerakan 30 September adalah gerakan semata-mata dalam tubuh Angkatan Darat”, atau pernyataan Politbiro CC-PKI pada 6 Oktober yang menegaskan bahwa “PKI tidak tahu menahu tentang G30S dan peristiwa itu adalah intern AS.”
Berdasarkan editorial Harian Rakjat pada 2 Oktober, PKI memang mendukung G30S dan memuji tindakan itu sebagai patriotik dan revolusioner, tetapi editorial tidak memberikan bukti bahwa PKI yang memimpin G30S. Jhon Rossa menuliskan, editorial menyatakan peristiwa itu adalah “persoalan intern Angkatan Darat.”
“Benedict Anderson dan Ruth McVey benar dengan penjelasannya dalam ‘analisis awal’ Januari 1966 bahwa PKI bukanlah dalang. Sampai saat ini tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk tuduhan yang muncul, baik di dalam berita-berita pers maupun pernyataan-pernyataan Angkatan Darat. Maka masuk akal ialah menjelaskan G30 S sebagai putsch intern Angkatan Darat,” tulis Jhon Rossa di halaman 95.
Pemerintah Orde Baru menarasikan kisah pembunuhan para jenderal selama bertahun-tahun melalui film Pengkhianatan G30S/PKI yang tayang di TVRI. Namun, setelah beberapa bulan Soeharto turun dari kekuasaan, film itu tidak lagi ditayangkan pemerintah mulai tahun 1998.
Kepada Tempo, 27 September 2012, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warwan Adam, mengatakan penayangan film itu dihentikan karena ada permintaan dari Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI).
Waktu itu, Marsekal Udara Saleh Basarah menelepon Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono dan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah dan meminta agar film itu tidak diputar lagi.
Seperti dikutip Tempo dari Kompas edisi 24 September 1998, Menteri Penerangan, Yunus Yosfiah mengatakan pemutaran film dengan pengkultusan tokoh seperti Pengkhianatan G30S/PKI, Serangan Fajar dan Janur Kuning tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.
Jumlah Korban Pembataian Massal usai G30S 1965
Hampir setengah juta (versi Orde Baru) sampai dua juta orang (versi lain) penduduk di Indonesia terbunuh dalam upaya pembasmian anggota PKI, baik yang dituduh sebagai anggota maupun simpatisan, demikian dikutip dari bukuGerakan 30 September 1965: Tragedi Bertirai Kabut oleh Pusat Data dan Analisa Tempo.
Bahkan sebuah studi menyebut pembantaian 1965-1966 sebagai “salah satu pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20 ini.”
Korban pasca kejadian itu masih belum terang betul dan terdapat banyak versi. Menurut Komnas HAM pada 23 Juli 2012, jumlah korban tewas bisa mencapai 500 ribu hingga 3 juta jiwa.
Mengutip laporan Tempo, 18 April 2016, mantan Komandan Kopassus TNI Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Pandjaitan sempat menyangkal korban tewas setelah G30S itu mencapai ratusan ribu orang.
Di sisi lain, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP 1965/1966) menyatakan korbannya mencapai jutaan. Sedangkan menurut Komisi Pencari Fakta yang dibentuk Presiden Sukarno pada Desember 1965 yang dipimpin Menteri Dalam Negeri Mayjen Soemarno, korbannya sebanyak 80 ribu orang.
Akan tetapi, sebagaimana dikutip Tempo dari buku Gerakan 30 September karya Julius Pour, Sukarno tidak yakin dengan jumlah itu. Dia pun bertanya kepada anggota tim Oei Tjoe Tat, akhirnya Tjoe Tat pun menjawab, jumlahnya bisa lima sampai enam kali lipat yang disampaikan Komisi Pencari Fakta.
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Addi M Idhom