tirto.id - Setelah 50 tahun, negara hadir untuk menyelesaikan persoalan laten tragedi 1965 melalui Simposium Nasional 1965: Membedah 1965, Melalui Pendekatan Sejarah. Simposium ini sangat penting karena diharapkan bisa memutus rantai dendam yang selama ini masih membelenggu bangsa Indonesia.
Ketua Lemhanas Agus Widjodjo sebelumnya, mengatakan, Simposium Tragedi 1965 berawal dari kegelisahan dan pertanyaannya mengenai peristiwa 1965. Agus Widjodjo bersama dan para korban tragedi 1965 kemudian mengangkat masalah ini ke permukaan yang lebih luas. Gayung bersambut, Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan memberikan dukungannya untuk pelaksanaan acara.
Bagaimana proses pelaksanaan simposium tersebut? Romo Baskara T Wardaya, anggota tim perumus rekonsiliasi memberikan penjelasan gamblang dalam wawancara khusus dengan tim Tirto.id, Aleksander Haryanto dan Riva Rais di Yogyakarta, Jumat (13/5/2016). Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana pandangan Anda sebagai sejarawan yang terlibat dalam Simposium tersebut?
Simposium ini sendiri menurut saya merupakan sebuah peristiwa yang besar dan bersejarah, karena untuk pertama kali dalam 50 tahun Indonesia melibatkan (simposium) dengan berbagai pihak, baik dari unsur negara, unsur masyarakat sipil, militer, kelompok agama, korban, mahasiswa, dan sebagainya.
Layaknya peristiwa besar lain, saya kira sumber atau latar belakangnya tidak satu, ada beberapa hal yang mendorong, ada penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung misalnya adanya inisiatif dari pihak pemerintah yang berusaha menyikapi laporan Komnas HAM tahun 2012.
Salah satu kemungkinan bentuk yang dipikirkan waktu itu adalah simposium. Oleh Agus Widjodjo hal itu disampaikan ke Luhut sebagai Menkopolhukam dan ternyata beliau setuju. Lalu dibentuklah sebuah tim untuk menyusun kerangka acuan, kerangka berpikir, TOR (Term Of reference) untuk terbentuknya simposium ini, siapa yang harus dilibatkan, temanya apa, dan sebagainya. Akhirnya disepakati bersama bahwa bentuknya Simposium dengan tema “Membedah tragedi 65 melalui pendekatan sejarah”.
Tetapi sebab-sebab tidak langsung saya kira juga banyak, misalnya seperti berbagai tekanan dari dalam negeri maupun di luar negeri supaya itu ditinjau dari kalangan akademis dan dari kalangan survivor, dan sebagainya.
Jadi bisa dikatakan ini bukan sesuatu yang mendadak, tetapi sesuatu yang sudah ada latar belakang sebelumnya.
Apakah Romo sendiri pernah diundang dalam Forum Silahturami Anak Bangsa yang diselenggarakan oleh Agus Widjodjo dan rekan-rekannya?
Terlibat dalam anggota tidak, tetapi beberapa orang di situ adalah teman saya juga, lalu saya memang pernah diundang untuk launching buku mereka (FSAB) yang berjudul The Children of War. Itu merupakan kumpulan karangan dari para anggota FSAB, waktu itu launching-nya di gedung MPR, dan pembicaranya ada banyak waktu itu, ada Pak Salim Said, waktu itu keynote speaker-nya malah dari Menteri Agama yang sekarang Pak Lukman Hakim, ada juga Pak Luhut Pandjaitan, Pak Sidarto, saya lupa apakah Pak Agus Widjojo ada atau tidak, Harry Tjan Silalahi sebagai peserta dan masih banyak lagi waktu itu.
Seperti yang dikatakan Agus Widjojo, simposium ini hanya memberikan pencerahan kepada publik soal rekonsiliasi dan kedalaman soal 65?
Ada dua tambahan saya. Pertama, sebagai bangsa kita itu ingin secara jujur melihat kembali sejarah kita sendiri. Kedua, sebenarnya upaya itu sudah ada sebelum-sebelumnya, seperti di universitas, di kalangan aktivis, dalam negeri maupun di luar negeri. Yang istimewa dari simposium ini adalah negara ikut terlibat. Misalnya dalam penyelenggaraan itu kementerian, Watimpres ikut. Kemudian dari pembukaan (Simposium) banyak pejabat negara juga datang, menteri-menteri, selain Pak Luhut sendiri, ada Mendagri, menteri hukum dan HAM datang, Kapolri, ada tokoh masyarakat seperti Buya Syafi Maarif, ada Pak Sintong Pandjaitan, ada Romo Frans Magnis.
Saya kira ini yang penting, negara hadir di situ, meskipun Presiden Jokowi tidak bisa hadir karena beliau sedang di luar negeri waktu itu.
Simposium belum pernah terjadi pada pemerintahan presiden sebelumnya, walaupun Presiden Gus Dur pernah meminta maaf kepada korban 1965 pada tahun 2003. Bagaimana pendapat Romo?
Waktu itu Gus Dur menjadi pelopor, perintis untuk pernyataan maaf ini. Tetapi waktu itu kan bahasa Jawanya ujuk-ujuk tiba-tiba begitu saja itu Presiden (Gus Dur) ingin tampak pengatasnamaannya. Gus Dur itu baik, memang, menjadi pelopor, cuman waktu itu kan story telling-nya belum, tiba-tiba sudah ada urusan maaf, orang enggak siap menurut saya. Sekarang ini pendekatannya beda, sebelum minta maaf, ada upaya yang lain dalam bentuk simposium, terus upaya nanti mungkin ada forum-forum lain serupa. Kali ini mau dilakukan pendahuluan dulu.
Apakah Indonesia mendapat desakan dari negara luar terkait dengan hal ini, setelah berlangsungnya International Peoples Tribunal di Den Haag?
Desakan dari luar itu mungkin ada, tetapi itu bukan faktor utama. Faktornya lebih internal. Seandainya pun iya, saya kira menjadi faktor tidak langsung.
Dalam acara diskusi Simposium Tragedi 1965 Sintong Pandjaitan mengatakan jumlah korban tidak mencapai ratusan ribu?
Saya kira itu masih harus kita perdebatkan. Pertama, sebaiknya kita tidak bicara jumlah dulu. Meski jumlahnya hanya dua orang atau tiga orang, kalau itu warga negara yang dihilangkan, dibunuh atau dilukai secara tidak sah itu sudah masalah. Apalagi kalau sampai puluhan ribu seperti yang beliau (Sintong). Kita tidak menghargai manusia hanya berdasarkan jumlah, manusia itu bukan barang, bahkan kalau satu pun, itu sudah manusia itu. Kita tidak bisa bilang “oh cuma satu orang”, apalagi kalau sampai puluhan ribu seperti yang beliau katakan itu.
Kedua, kalau mau mencari jumlah korban sebesar itu, gimana wong banyak yang sudah dimasukkan ke sungai, ke laut, mau menghitungnya gimana? Jadi saya kira nanti kalau kita ke situ (jumlah), nanti nggak selesai. Jumlah itu nanti hanya sebagai pendukung, dan kita tidak bisa mengatakan “hanya” 80 ribu, hanya 90 ribu, ya kan?
Berapa jumlah korban menurut Romo?
Begini, seperti yang sudah saya sampaikan, hendaknya kita jangan mudah terjebak kepada jumlah, soalnya nanti kalau kita mengiranya itu sekian juta tetapi nanti ternyata hanya sekian ratus ribu, oh ya lalu nanti “gak pa pa”, ternyata hanya sedikit, lo... lo... lo... padahal, seratus ribu itu pun, seratus ribu nyawa orang. Jadi nanti kalau kita debatnya soal jumlah orang, ini sulit mengatakan.
Sekarang ini kan disepakati 500 ribu sampai 1 juta, itu jumlah yang mati ya, belum lagi jumlah yang dipopor bedil, belum jumlah yang 14 tahun hidupnya hilang, itu gimana? Kalau menyebut soal korban bukan hanya korban mati, belum lagi yang anaknya sampai tak bisa sekolah, itu kan korban juga, seperti Kalimantan dan Papua yang dikuasai asing untuk kelapa sawit sejak tahun 1967 itu gimana? Itu kan korban juga. Jadi susah kalau kita ngomong angka, belum saya katakan tadi, sebagian korban yang dibunuh itu dibuang di sungai Berantas, dibuang di sungai Bengawan Solo, dibuang ke Luweng di Gunung Kidul, itu menghitungnya bagaimana? Jadi kalau kita terjebak ke situ nanti, lalu penghargaan kita kepada nilai kemanusiaan nanti susah, meskipun hanya dua orang.
Kalau kita ikut pak Sintong (ratusan ribu), atasannya dia yang namanya Letnan (Letkol) Sarwo Edi, dia mengatakan 3 juta, kita percaya pada komandan RPKAD atau kepada komandan peleton? Pak Sintong kan mengatakan kalau dia komandan peleton, mana yang harus kita percaya, komandan peleton atau komandan RPKAD? Kalau komandan RPKAD (Sarwo Edi) bilang 3 juta, terus gimana? Susah kan kita? Kalau saya sih biasanya lebih percaya kepada komandan tertinggi, bukan kepada yang di bawah.
Sebagai bagian dari negara, Menteri Luhut tidak ingin meminta maaf. Hal tersebut dilontarkannya saat hari pertama diskusi Simposium, apa pendapat Romo?
Dalam pembukaan itu kan ditegaskan bahwa menteri tidak akan minta maaf dan lain sebagainya, lalu orang-orang pada protes “lho kok tidak mau minta maaf ”. Sejauh saya tahu dalam proses rekonsiliasi yang namanya forgiveness itu, memang bukan langkah yang pertama. Masalahnya bagaimana kita bisa memaafkan dan tidak memaafkan kalau ceritanya saja kita belum tahu, kalau mau minta maaf itu, minta maaf tentang apa? Kepada siapa? Karena apa? Harus jelas dulu. Sekarang ini tiba-tiba debat soal minta maaf dan memberi maaf ini bagaimana ini?
Menurut saya yang pertama adalah story telling dulu, oh ini yang terjadi, yang terjadi itu A, lalu pemahaman kelompok X terhadap A bagaimana? Kelompok Y terhadap A bagaimana? Nah itu kan, harus dibicarakan dulu, setelah itu baru diusahakan proses meminta maaf atau memberi maaf. Ada proses dulu. Jadi di dalam rekonsiliasi permintaan maaf itu tidak di depan, tetapi dalam perjalanan gitu.
Apa kelanjutan dari simposium ini?
Ada beberapa hal yang kami harap bisa terpenuhi, tetapi saya kira intinya adalah apa yang disampaikan oleh bapak Sidarto Danusubroto pada akhir Simposium waktu itu. Pertama, upaya rekonsiliasi nasional. Kedua, rehabilitasi umum terhadap mereka yang selama ini terkena stigmatisasi, menjadi korban diskriminasi, dan lain sebagainya.
Ketiga, harapan akan bisa diadakan simposium-simposium serupa di luar Jakarta atau pun di tingkat yang lebih rendah, tidak hanya pemerintah pusat tetapi pemerintah lokal, di mana negara hadir untuk melindungi seperti yang dilakukan di Jakarta itu. Tetapi mungkin ada yang lainnya, mungkin akan menyusul.
Romo mengatakan simposium ini sebagai langkah besar, ada korban yang mendapat stigma, sesakit apa penderitaan yang dialami para korban sehingga simposium ini dianggap sebagai langkah yang cukup besar?
Anda bayangkan, Anda pernah naik sebuah kendaraan, naik mobil misalnya, lalu kecelakaan. Anda hidup, tetapi teman-teman di sebelah anda terluka dan meninggal, ini kan peristiwa traumatik yang besar. Nah, setelah peristiwa itu anda tidak boleh cerita sama sekali, tidak boleh cerita tentang itu, bagaimana perasaan Anda? Padahal ini hanya kecelakaan lalu lintas biasa. Nah, orang-orang ini (korban 65) mengalami peristiwa seperti itu, dalam jumlah yang sekian ratus kali lebih besar, dan bahkan mereka sendiri hidupnya juga terancam, dan tidak boleh cerita selama 50 tahun.
Dalam simposium itu, untuk pertama kalinya mereka (korban) boleh ngomong hal itu kepada publik, di hadapan perlindungan negara, dan di hadapan 200 peserta lebih dan lebih dari 140 wartawan. Ini sebuah pembebasan yang luar biasa, seandainya tidak tercapai apa pun, kesempatan itu sendiri sudah merupakan sesuatu hal yang besar, boleh ngomong di publik dan tidak diancam, setelah 50 tahun mereka mengalami itu.
Ancaman seperti apa?
Yang kita lihat langsung kan misalnya, setiap kali ada forum seperti itu diancam oleh ormas, kadang-kadang polisi juga tidak membela mereka (korban).
Kedua, mereka (korban) juga tidak ingin cerita itu kepada keluarganya, soalnya nanti kalau keluarganya tahu akan mendapat kesulitan, seperti tidak bisa menjadi pegawai negeri, tidak bisa sekolah di tempat-tempat tertentu, kemudian disingkirkan tetangga, karena ada cap yang diindoktrinasikan dulu begitu kuat. Orang menjadi ketakutan untuk ngomong soal itu, bahkan terhadap anggota keluarganya. Beberapa kasus yang saya temui itu, banyak cucu atau orang yang tahu bahwa kakeknya atau ayahnya dulu mengalami itu setelah mereka meninggal, artinya selama hidup mereka (korban) enggak pernah cerita hal itu, jadi tekanannya begitu kuat.
Simposium 1965 ini secara tidak langsung akan mengingatkan kita kepada peristiwa kelam itu, bagaimana jika peristiwa itu tetap tertutup?
Diingatkan atau tidak, itu tetap akan membayangi kita sebagai bangsa. Karena bangsa kita ini pernah membunuh penduduknya yang sekian banyak. Enggak bisa kita move on begitu saja, tetap akan dibayang-bayangi oleh itu, orang akan tetap bertanya, kok bisa, dulu ada apa sih. Buktinya apa? Buktinya anak-anak muda sekarang ini yang dulunya tidak ada kaitan dengan itu pun pada banyak yang bertanya, misalnya kelompok “Ingat 65” yang sekarang ada dan kemarin presentasi di TIM (Taman Ismail Marzuki), itu kan tidak semuanya korban, itu juga mulai bertanya.
Kedua, menjadi masalah juga bahwa, kita kan negara hukum, tidak boleh menghukum orang lain tanpa ada pengadilan, negara hukum kan begitu, banyak orang ini [korban] dihukum, hukumannya hukuman mati, tapi tidak ada pengadilan, belum terbukti benar atau salah. Ini tidak bisa kita lompati begitu saja sebagai bangsa. Kalau yang melakukan itu penjajah asing, okelah mungkin masalah lain, itu pun kita tuntut, seperti kasus Rawa Gede, itu penjajah, itu di luar hukum. Nah, kita ini setelah merdeka kok seperti itu, jadi ini bukan masalah move on atau tidak move on-nya personal, tetapi masalah move on atau tidak move on sebagai bangsa. Negara punya tanggung jawab soal itu.
Bagaimana bentuk tindakan nyata yang dilakukan pemerintah untuk rekonsiliasi ini?
Salah satu langkahnya adalah pemerintah mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat, pada periode 1965, 1966. 1967 mungkin sampai 1968, harus diakui bahwa itu terjadi. Dasarnya apa? Ya itu, hasil penelitian Komnas HAM, 2008 sampai 2011, sampai 2012, itu aja diakui dulu, itu kan lembaga negara, Komnas HAM itu kan bukan milik swasta, itu lembaga negara sendiri. Nah setelah itu, kita sebagai bangsa move on-nya setelah adanya story telling ini. Belum nanti buku-buku yang berisi pengakuan, testimoni para korban, mungkin (pengakuan) para pelaku juga boleh, tidak hanya para korban, para pelaku juga boleh bercerita, biar masyarakat tahu dulu itu. Nah, baru nanti ada proses rekonsiliasi setelah kita saling tahu ceritanya bagaimana?
Bagaimana dengan rehabilitasi terhadap korban seperti yang didengungkan beberapa tokoh itu?
Saya kan tidak tahu karena konsep ini masih berjalan, dan mungkin ada banyak expert yang lebih tahu. Tetapi menurut saya, misalnya perlu diselidiki betul, siapa waktu itu yang benar-benar anggota partai PKI yang ingin mengganti ideologi negara dengan ideologi lain, itu kan memang enggak boleh. Tetapi kan ada orang-orang lain yang gak ada kaitannya dengan itu, misalnya mereka yang memberantas buta huruf, melawan poligami, kemudian membangun kesadaran bernegara, itu kan tidak melawan negara, kok jadi ikut dihukum?
Seperti bu Nani Nurani itu kan dia hanya ikut nyanyi di sebuah perayaan tertentu, kok dia ikut dipenjara sampai sekian belas tahun, atau bu Sumilah yang dipenjara 14 tahun gara-gara namanya sama dengan orang yang dicari, 14 tahun hilang itu bagaimana? Kan sampai sekarang dia masih di cap bahwa dia itu PKI, padahal hanya kebetulan namanya sama.
Menurut saya orang-orang seperti ini perlu direhabilitasi, bahwa mereka bukan pengkhianat negara, mereka korban salah tangkap. Mereka korban histeria massa. Mereka (korban) ini dulu dipenjara karena istrinya mau diambil oleh orang lain, itu kan harus jelas. Sekarang ini semua itu mau disamakan bahwa ini mereka anggota partai terlarang, padahal waktu itu PKI juga bukan organisasi terlarang. Gerwani juga bukan anggota terlarang, BTI juga bukan terlarang juga. Jadi bukan salah mereka kalau bergabung, wong tidak dilarang kok, kalau dilarang kan setelahnya (1965). Nah, ini harus dijelaskan. Untuk itu menurut saya sebelum adanya rehabilitasi juga harus ada story telling itu tadi.
Indoktrinisasi Pemerintah Orde Baru seperti apa?
Yang jelas itu justru dimulai dari hari-hari pertama bulan Oktober, di mana sekelompok orang waktu itu membredel koran, yang boleh terbit hanya koran harian Angkatan Bersenjata. Semua berita waktu itu sudah dimanipulasi oleh mereka. Misalnya berita mengenai hasil visum terhadap para jenderal yang dibunuh dan dibuang di sebuah sumur di daerah lubang buaya itu. Itu sudah dilaporkan bahwa alat vital sudah disayat-sayat sebelum tim visum itu melakukan tugasnya, jadi sudah ada laporan di koran sebelum timnya (visum) itu bekerja. Ini kan sudah merupakan upaya indoktrinisasian itu.
Kemudian penulisan sejarah oleh Nugroho Notosusanto yang hanya melayani versi Orde Baru. Kemudian pembuatan film tertentu yang hanya bersifat mendukung Orde Baru, inikan bagian dari indoktrinisasi itu. Belum lagi kebijakan-kebijakan seperti, bersih lingkungan, kemudian menaruh tanda ET (eks Tapol) di KTP para bekas tahanan politik, kemudian spanduk-spanduk, kemudian pelarangan lagu-lagu tertentu, kemudian ada istilah “bahaya laten”, itu bagian dari indoktrinisasi itu. Tidak mudah mengubah itu, karena selama 30 tahun itu terus dihembuskan.
Akhir-akhir ini marak pelarangan acara diskusi dan buku yang berbau kiri, banyak pihak yang mempertanyakan sebenarnya negara bersungguh-sungguh atau tidak terkait dengan rekonsiliasi ini?
Maraknya histeria seperti sekarang ini menunjukkan bahwa negara mau bersungguh-sungguh. Justru karena negara mau bersungguh-sungguh, beberapa orang di luar negara ingin mendekonstruksi itu, ingin menjegal itu, kan yang ini (pelarangan) bukan dari pemerintah, yang bikin rumor itu kan di luar negara.
Tetapi ada pernyataan dari anggota atau mantan anggota TNI dan Polri terkait kebangkitan komunisme?
TNI dan Polri itu kan tidak semua. Buktinya Kapolri juga ikut simposium ini, menteri-menterinya juga ikut, kalau sekadar pencitraan mungkin tidak akan ada histeria itu. Histeria itu menunjukkan ternyata setelah 50 tahun hal tersebut ingin diseriusi oleh negara, karena itu, reaksi ini justru menunjukkan negara itu mau serius.
Hanya sekarang ini, bagaimana nanti melangkahnya. Itu ada kampanye anti-anti, katakanlah spirit anti simposium, cuma kan masyarakat sudah semakin cerdas sekarang ini.
Setara Institute mengatakan maraknya Propaganda Kebangkitan Komunis itu merupakan upaya penjegalan simposium?
Saya setuju dengan gagasan seperti itu, karena sebelum simposium sudah ada ancaman mau diserang (dibubarkan). Ternyata negara melindungi betul, dengan mengirim ratusan polisi, ada panser, sehingga akhirnya mereka tidak jadi menggagalkan simposium ini. Jadi, menurut saya negara serius, tetapi justru karena serius itu, tantangannya besar.
Apakah Romo sebagai akademisi pernah mendapatkan ancaman setelah simposium?
Saya kira ini, seperti penarikan buku-buku itu kan semacam intimidasi umum, seperti pelarangan pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” itu bagian dari ancaman itu, secara umum itu ada.
Terkait dengan rekonsiliasi mungkinkah Indonesia menjadi seperti Jerman?
Kalau Jerman itu sebenarnya dua kali mengalami pelanggaran HAM besar. Pertama, Holocaust, selama perang dunia kedua dan sebelumnya itu. Kedua, ketika Jerman Timur berada di bawah pemerintahan komunis Republik Demokratik Jerman. Yang menarik adalah Jerman itu dengan gagah berani mengakui semua yang terjadi, ada rehabilitasi ada kompensasi.
Dengan rendah hati Jerman mengakui dua periode buruk dalam sejarahnya. Lihat apa yang terjadi pada Jerman setelah itu? Jerman menjadi negara paling kuat di Eropa. Ketika semua negara di Eropa mengalami krisis ekonomi larinya ke mana? Jerman kan yang membantu, termasuk Portugal, Yunani, Irlandia. Justru setelah mengakui kesalahan di masa lalu Jerman menjadi negara yang kuat, tidak hanya kuat, bahkan paling kuat di Eropa.
Mengapa saya mendukung rekonsiliasi? Karena saya ingin Indonesia juga menjadi negara yang kuat, kalau bisa paling kuat di ASEAN. Kita ini penduduknya nomor 4 terbesar di dunia, kita harus ke depan dan Jerman sudah menunjukkan kepada kita, bahwa kalau kita mengakui kesalahan di masa lalu, kita tidak menjadi lemah, justru menjadi kuat.
Karena kita move on-nya itu tadi sebagai bangsa, tidak ada ganjalan-ganjalan psikologis atau beban masa lalu yang berat, itu pentingnya bagi saya. Salah satu contoh bagi kita. Afrika Selatan juga mengakui kan justru tidak jadi bangsa yang terpuruk, tetapi justru menjadi bangsa yang maju.
Bagaimana menurut Romo terkait dengan pelarangan buku berbau kiri dan pelarangan pemutaran film di AJI Yogya yang dibubarkan oleh aparat karena dituduh berbau komunis?
Kalau kita lihat koran Tempo hari ini (13/5/2016) halaman 1, Presiden Jokowi mengatakan, jangan terlalu represif karena ini sudah menyangkut kebebasan warga negara untuk berekspresi. Jadi Presiden keberatan, lalu Menkopolhukam beberapa hari lalu mengatakan juga jangan kebablasan.
Di Kompas hari ini (13/5/2016) beberapa tokoh seperti Romo Magnis juga mengkhawatirkan ini, menentang inilah, katakanlah begitu, bahwa ini sudah keterlaluan.
Jadi negara dan masyarakat sipil juga saya kira menyesalkan tindakan seperti ini, dan kalau tidak salah, beberapa hari setelah kejadian peristiwa di Yogya itu, Kapolri mengirim dua orang penyelidik ke Yogya untuk melakukan penyidikan mengenai kasus (pembubaran Film Aji Yogya) itu. Jadi menurut saya negara sudah cukup serius untuk menangani hal itu. Saya kira ini hanya kelompok kecil di tingkat daerah yang mungkin punya ide berbeda, tapi saya kira di pusat konsisten.
Kembali ke Simposium, bagaimana target simposium untuk jangka pendek ini?
Sekarang ini kami tim perumus Simposium sedang merumuskan laporan simposium dan rekomendasi untuk Presiden Jokowi. Rapat yang terkini adalah kemarin sore (12/5/2016). Jadi sekarang sedang dirapikan bahasanya, mungkin akan ketemu sekali lagi, kemudian akan diserahkan kepada Presiden dan Menkopolhukam.
Rumusannya sedang digodok saat ini oleh tim perumus, saya salah seorang anggota tim yang selama ini mengikuti itu terus dan mengerjakan itu. Intinya sama seperti yang saya sebutkan tadi, sama seperti pidato terakhir Pak Darto Danusubroto dari Wantimpres itu tadi, itu dulu, nanti baru langkah-langkah berikut.
Apa harapan Romo terhadap Simposium ke depan?
Sebelum menyampaikan soal harapan ada 3 catatan. Pertama, saya dan beberapa teman yang bekerja ini sebenarnya tidak ada kaitan dengan PKI. Kita ini tidak sedang mengurus partai. Konsentrasi kami lebih kepada kemanusiaan. Saya sebagai warga negara merasa prihatin karena pernah terjadi ketidakadilan kepada sesama warga negara Indonesia di masa lalu dan itu tidak bisa kita lupakan begitu saja.
Kedua, terkait dengan para korban, saya gak punya anggota keluarga, tetangga atau teman yang menjadi korban 1965 secara langsung, terutama korban kekerasan, itu gak ada.
Ketiga, kontribusi yang ingin saya sumbangkan adalah kombinasi antara dunia akademik dan keterlibatan saya untuk mendampingi para korban selama ini. Berdasarkan tiga itu, saya mengharapkan, pertama, adanya rekonsiliasi nasional seperti di Jerman dan di Afrika Selatan dan banyak negara lain juga. Kedua, adanya rehabilitasi terhadap mereka yang telah menjadi korban tanpa adanya proses pengadilan. Ketiga, negara hadir dalam forum-forum yang membicarakan itu. Mungkin ada yang pro, ada yang kontra, tetapi negara harus menjamin kebebasan untuk membicarakan masa lalu ini.
Tujuannya apa? Untuk story telling sekaligus untuk healing. Kalau kita sudah sembuh, kita healed, ya kita maju, dan harapan terakhir adalah Indonesia menjadi negara yang paling kuat di antara negara lain, setidaknya di kalangan ASEAN, seperti Jerman yang paling kuat di Eropa Barat.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Agung DH